26 Juli 2013

Sahur di Warung Tertinggi Pulau Jawa


 Gunung Lawu terletak di perbatasan propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Merupakan gunung yang dikeramatkan oleh penduduk sekitarnya. Karena di gunung ini banyak terdapat petilasan-petilasan dari kerajaan Majapahit. Jadi selain para pendaki, gunung ini juga kerap dikunjungi oleh para peziarah. Mereka mendaki ke puncak gunung lawu untuk menziarahi petilasan dari Prabu Brawijaya. Beliau adalah bekas raja Majapahit. Konon Prabu Brawijaya melarikan diri ke puncak gunung lawu dari kejaran pasukan Raden Patah(Raja Demak) yang merupakan anaknya sendiri. Prabu Brawijaya dikejar pasukan anaknya itu karena beliau menolak untuk masuk agama islam pada saat itu. Selain dikejar pasukan Raden Patah,beliau juga lari dari kejaran Adipati Cepu. Bahkan saking kesalnya Prabu Brawijaya sampai mengucap sumpah,kalau orang-orang Cepu naik ke gunung lawu maka mereka akan celaka atau mati. Sumpahnya itu masih dianggap sakral sampai sekarang.

  Petilasan Prabu Brawijaya ini dibuktikan dengan adanya cungkup di Hargo Dalem. Letaknya dibawah puncak gunung lawu. Tempat inilah yang menjadi tujuan utama para peziarah. Di dekat Hargo Dalem ini warung Mbok Yem sudah berdiri dari hampir 20 tahun yang lalu. Warungnya selalu siap memenuhi kebutuhan makanan para peziarah dan pendaki. Di warung ini mereka juga bisa menginap untuk menghindari udara dingin puncak gunung lawu. Mungkin warung Mbok Yem ini adalah warung tertinggi di Pulau Jawa. Warung ini berada di ketinggian -+ 3000 Mdpl.

   23 Juli 2013 jam 17.45 kami istirahat di pos 2 jalur cemorosewu. untuk menikmati buka puasa sederhana bersama. Disini hanya ada aku,Danu dan Kang Wiro. Air putih,biskuit, dan arbei yang kami petik di jalur pendakian adalah menu buka puasa kami sore ini.
Langit sudah mulai gelap,udara pun semakin dingin ditambah angin yang terus bertiup membuat tubuh kami kedinginan. Melanjutkan perjalanan ditemani cahaya bulan purnama yang sangat terang. Kabut tipis yang bergerak tertiup angin menjadi pemandangan indah di malam hari.
Jam 21.00 kami sampai di warung Mbok Yem. Keramahan Mbok Yem langsung menyambut kami. Perapian langsung disiapkan. Teh hangat segera dituangkan ke gelas. Nasi sayur dan telur dadar yang sudah dingin adalah buka puasa kami yang sebenarnya. Malam itu kami habiskan dengan bercengkrama bersama Mbok Yem dan anaknya. Bercerita tentang rutinitas mereka di gunung, mengambil air ke sendang(mata air) dan mencari kayu bakar. Seolah hidup mereka didedikasikan untuk Gunung Lawu dan para pendakinya. Hidup mereka mungkin adalah contoh kesederhanaan. Terasing di puncak gunung, jauh dari hiruk pikuk kehidupan kota. Gunung sudah menjadi rumah mereka. Warungnya selalu terbuka setiap saat untuk para pendaki yang datang untuk makan dan minum,atau bahkan hanya sekedar singgah menumpang istirahat dan berlindung dari dinginnya gunung.

  Udara yang dingin membuat kami segera bergelung ke dalam sleeping bag masing-masing. Jam 03.00 dini hari alarm hpku berdering. Aku dan kang Wiro segera bangun,lalu membuat api di perapian. Menyiapkan makanan untuk sahur. Mbok Yem menyuruh kami memasak sendiri. Sebuah pelajaran aku dapat, betapa repot dan capeknya searang ibu yang dalam keadaan ngantuk harus bangun dini hari untuk masak menyiapkan makanan sahur untuk keluarga. Setelah mie rebus + telur yang kami masak matang,aku segera membangunkan Danu untuk sahur bersama. Pagi ini kami sahur di sebuah warung tertinggi di Pulau Jawa dengan suhu 4 derajat celcius. Kami melahap makanan sembari menahan dinginnya udara. Di luar kabut masih menyelimuti. Kami menghabiskan minuman sambil duduk di dekat perapian. Mbok Yem kembali tidur di tempatnya yang tertutup tirai untuk menahan angin. Setelah fajar subuh, kami pun kembali bergelung ke dalam sleeping bag. Di luar angin kencang masih berhembus meyambut pagi. Mungkin matahari terbit tidak akan terlihat karena tertutup kabut. Tapi pagi itu hati kami tetap merasakan kecerahan hidup

.

14 Juli 2013

Bersepeda dan Mendaki Gunung Ungaran



1 Juli 2013, pagi-pagi aku dan Danu sudah sibuk mengecek sepeda butut kami. Memperbaiki rem, menyiapkan kunci-kunci dan alat camping yang akan kami bawa. Siangnya kami masih punya urusan masing-masing  yang harus diselesaikan, jadi kami putuskan untuk berangkat sore. Siang itu hujan turun sangat deras. Kami sempat berunding jadi berangkat atau tidak. Lalu kami putuskan tetap berangkat setelah hujan reda. Ketika menunggu hujan tiba-tiba ada sms masuk, dari Fahri, pemuda sekampungku yang juga suka bersepeda dan naik gunung. Dia pengen ikut. Sore itu kami bertiga kumpul di rumahku dan selepas ashar kami berangkat bersepeda menuju Gunung Ungaran.

Kami start dari titik 0 KM yaitu rumahku di desa Tuban Kidul, Gondangrejo, Karanganyar. Jarak sampai ke basecamp Gunung Ungaran entah berapa kilometer. Kami sengaja tidak mencari tahu tentang hal itu. Kami ingin menikmati petualangan ini dengan bebas, tanpa memikirkan berapa jauh jarak yang mesti kami tempuh. Dari bersepeda di jalanan kampung, jalan raya, tengah kota sampai ke pegunungan, terus hiking merambah hutan sampai puncak gunung.

Kami awali kayuhan melewati desa-desa dari Klayutan menuju Keden sampai daerah Kacangan. Kurang lebih 1 jam kami bersepeda di bawah langit mendung dan disuguhi pula tanjakan-tanjakan. Kami akan mengambil jalur alternatif dari Kacangan menuju Salatiga. Setelah break kami melanjutkan perjalanan ke arah barat melewati Pasar Kacangan. Jalan semakin menanjak ke arah Klego. Kami hanya sanggup mengayuh sepeda pelan-pelan. Magrib kami sampai di perempatan Karanggede. Di sini kami mencari masjid untuk solat.

Selepas magrib kami melanjutkan perjalanan ke arah Tingkir. Langit sudah mulai gelap. Kami pun segera memasang lampu di sepeda. Kami memilih bersepeda di malam hari untuk menghindari sengatan matahari. Jalan raya menuju Tingkir lumayan gelap karena di kanan-kiri jalan banyak pepohonan yang rimbun. Keluar masuk daerah pemukiman lalu persawahan. Tanjakan silih berganti menyambut kami. Di malam hari yang dingin keringat kami tetap mengucur deras. Jika tak mampu mengayuh di tanjakan, kami terpaksa menuntun sepeda. Begitulah cara kami menikmati perjalanan.

Kami sempat istirahat di sebuah masjid untuk solat isya dan juga mengisi bekal air minumdari galon yang disediakan di masjid. Sekitar pukul 21.00 kami sampai di pertigaan Tingkir. Kami ambil arah kanan ke jalan raya Salatiga-Semarang. Kami kegirangan tiba di sini, sebab menuju kota Salatiga jalanan nyaris menurun terus. kami tidak perlu mengayuh pedal sama sekali untuk sampai ke kota. Melihat kanan kiri mencari warung makan yang sekiranya cocok dengan kantong kami. Akhirnya di Jalan Sukowati kami menjumpai warung tenda yang masih menjual sepiring nasi sayur hanya dengan harga lima ribu rupiah. Harga murah tapi cukup membuat kami kenyang dan bisa mengganti energi kami yang sudah banyak terkuras. Selesai makan kami mengayuh sepeda ke alun-alun kota Salatiga yang asri. Kami sempat menonton pagelaran wayang kulit yang diadakan Polres Salatiga dalam rangka memperingati hari Bhayangkara.

Malam itu kami berencana untuk mencari tempat menginap, tapi bukan hotel tentunya. Kami kembali menyusuri jalan raya Salatiga-Semarang, bersaing dengan truk dan bis malam antar kota. Kami diuntungkan oleh jalanan yang menurun. Sampai akhirnya di daerah Tuntang kami menemukan masjid untuk tempat bermalam. 

2 Juli 2013 usai solat subuh kami berkemas untuk melanjutkan perjalanan. Langit masih gelap, kami kembali menyusuri jalan raya arah Semarang. Selepas Tuntang kami melewati perkebunan coklat sampai masuk daerah Bawen, lalu melewati kawasan industri dengan hiruk pikuk para karyawan pabrik. Kami terus berpacu di antara kendaraan-kendaraan besar di jalan raya. Di sebuah pertigaan kami belok kiri dengan jalan menanjak terus ke arah Pasar Jimbaran. Pagi itu kami hanya sarapan beberapa potong roti dan sarapan tambahannya adalah tanjakan-tanjakan yang ‘gila’. Kami kebanyakan hanya mampu menuntun sepeda. Sampai di Pasar Jimbaran penderitaan belum usai. Untuk sampai di basecamp Gunung Ungaran kami masih harus melalui jalan naik terus ke atas dari Pasar Jimbaran ke Sidomukti. Di jalan ini kami tak sanggup lagi mengayuh. Air minum menjadi kebutuhan pokok yang harus selalu ada.

Melewati perkampungan, kebun sayuran dan juga kawasan wisata Umbul Sidomukti yang merupakan sebuah kolam pemandian. Kami masih terus menuntun sepeda. Sampai akhirnya sekitar pukul 10.00 kami tiba di basecamp gunung Ungaran. Kami bisa kembali tertawa setelah tadi dibuat pucat oleh tanjakan-tanjakan. Dari basecamp pemandangan sangat indah. Di kejauhan terlihat Rawapening yang begitu luas dan hamparan kota Ungaran, Bawen, Ambarawa. Di camping ground terlihat beberapa tenda pramuka. Kami langsung menuju ke satu-satunya warung yang ada di basecamp. Penjualnya sepasang kakek-nenek. Teh panas hangat yang disuguhkan langsung menyegarkan kami, ditambah tempe mendoan hangat. Begitu nikmat dimakan saat perut benar-benar merasakan lapar. Dilanjut nasi sayur dan telor dadar, ini baru sarapan yang nyata bagi kami.

Cuaca berkabut sedikit gerimis, lalu hujan turun. Di basecamp kami menyempatkan mandi  dan menyiapkan logistik untuk mendaki ke puncak Ungaran. Untuk mendaki kita harus melapor ke petugas basecamp dengan biaya administrasi 3 ribu per orang. Kita juga akan diberi peta jalur pendakian. Menunggu hujan reda kami tidur-tiduran di dalam basecamp. Setelah cuaca terlihat membaik walaupun masih berkabut. Pukul 13.30 kami mulai mendaki. Sepeda kami titipkan di basecamp. Jalur pendakian terlihat cukup jelas dan banyak petunjuk arah. Treknya pun bervariasi, kadang landai, menurun, medan batuan menanjak. Menyebrang sungai sampai tiba di pos Mawar. Lalu melewati perkebunan kopi kemudian perkebunan teh, setelah itu masuk hutan yang rindang. Medan pendakian gunung Ungaran tidak membosankan. Setelah 2,5 jam mendaki kami akhirnya sampai di puncak.

Selama perjalanan ke puncak kami diguyur hujan sampai badan basah kuyup. Di puncak keadaan berkabut ditambah angin yang membuat kami menggigil. Kami segera mencari tempat untuk mendirikan tenda. Malam itu kami habiskan waktu untuk tidur sepuasnya di puncak gunung Ungaran.

3 Juli 2013, subuh kami bangun. Di luar keadaan tak berubah, berkabut dan berangin. Setelah sarapan kami beranikan diri keluar tenda untuk berkemas. Pukul 06.00 kami meninggalkan puncak Gunung Ungaran untuk turun, masih ditemani kabut yang setia pada kami. Kami harus berhati-hati karna trek masih licin bekas guyuran hujan kemarin. Di sungai kami sempatkan untuk sekedar membasuh muka dengan airnya yang segar. Sungai di tengah hutan tak ubahnya surga bagi kami. Sekitar pukul 08.30 kami sampai di basecamp. Kami mandi kemudian packing dan mengecek sepeda, terutama rem untuk menuruni jalanan dari basecamp ke pasar Jimbaran yang banyak tikungan tajam.

Pukul 10.00 kami mulai duduk kembali di sadel, siap mengayuh. Turunan dan tikungan yang tajam membuat adrenalin terpacu disertai rasa takut. Jalan sempit yang mulai ramai oleh kendaraan para wisatawan membuat kami tambah deg-degan saat berpapasan. Turunan tajam berakhir di Pasar Jimbaran. Lalu kami ambil arah kanan ke Bandungan, berbeda dari jalur berangkat. Pasar Jimbaran-Bandungan kurang lebih 6 KM naik-turun. Di kanan kiri banyak terdapat penginapan dan hotel. Yang paling membuat kami ngos-ngosan adalah saat harus menuntun sepeda di tanjakan panjang sebelum Pasar Bandungan. Di daerah ini kami mampir di rumah keluarga Mas Widya (teman lamaku waktu naek Gunung Slamet dulu). Di sana kami dijamu makan sampai kenyang, tambah dibekali 3 botol minuman oleh Mas Widya.

Pukul 13.00 kami melanjutkan perjalanan. Kurang lebih 10 Km turunan ke arah Pasar Ambarawa. Sepanjang menuruni jalanan berkelok itu kami diguyur hujan. Tanpa kacamata dan masker, air hujan langsung mencucuk wajah. Tapi ini justru menambah seru perjalanan. Sampai di Pasar Ambarawa kami ke arah kiri menuju Bawen. Dari terminal Bawen belok kanan ke arah Salatiga. Sampai di Tuntang sebelum masuk kota Salatiga kami mengambil arah kanan lewat jalan By Pass yang langsung menuju Tingkir. Di By Pass ini jalan naik-turun, sangat menguras tenaga. Sampai akhirnya mentok di pertigaan selatan Tingkir. Kami belok kanan menuju Boyolali. Di jalan raya arah Boyolali ini kami sangat menikmati perjalanan karna banyak turunan. Bahkan selepas kota Boyolali jalan masih terus menurun sampai Kartasura.

Kami sampai di Kartasura sekitar pukul 19.30 mampir di sebuah warung soto yang ternyata harganya terlalu mahal untuk kami. Semoga pengalaman ini cukup satu kali kami alami. Pukul 20.00 kami lanjut menuju pertigaan Kartasura belok kiri menuju Kalioso. Pukul 21.00 akhirnya kami sampai di titik 0 Km lagi, desa Tuban Kidul.

Terwujud juga keinginan kami melakukan perjalanan bersepeda sekaligus mendaki gunung. Sepeda kami memang murah, tapi tekad dan semangat kami untuk mengayuhnya tidak murahan.