23 Januari 2014

14-01-14


“Yang bisa dilakukan seorang makhluk bernama manusia terhadap mimpi-mimpi dan keyakinannya adalah mereka hanya tinggal mempercayainya”  (Dhonny Dirgantara-5 CM)
                                                                    
Aku adalah orang kecil yang selalu mempunyai impian-impian yang bisa dikatakan terlalu muluk. Di tengah kehidupanku yang masih belum menentu dan pekerjaan yang masih saja belum jelas, otakku terus saja mengangankan hal yang terlalu tinggi untuk diwujudkan. Tapi bukankah di dunia ini semua hal bisa terjadi? Aku percaya aku bisa mewujudkan mimpi. Bukankah aku  pun pernah mewujudkan sebuah impian yang bagiku sulit (bagi kebanyakan orang mungkin itu hal yang mudah), yaitu pergi ke Rinjani? Aku berhasil membuat hal itu menjadi nyata, walau konsekuensi yang aku dapat adalah kehilangan pekerjaan.

Dan kali ini aku mempunyai sebuah impian, yaitu merintis sebuah rumah baca di kampungku. Ya, selain naik gunung, salah satu kesukaanku yang lain adalah membaca buku. Walaupun buku-buku yang kubaca adalah buku yang dianggap kurang penting bagi sebagian orang, tapi bagiku pribadi itu adalah hal yang menyenangkan. Ketika aku punya banyak waktu luang dan aku gunakan untuk membaca, aku merasa waktuku tidak terbuang percuma dalam hidup. Pasti ada suatu hal, walau sekecil apapun, yang bisa didapat dari membaca. 

Di kampungku memang belum terdapat sarana seperti perpustakaan atau rumah baca. Selama ini aku bisa mendapatkan buku dengan meminjam secara gratis dari sebuah perpustakaan umum di kota yang letaknya jauh dari kampungku. Memang di sekolah-sekolah atau kampus pasti ada sebuah perpustakaan. Tapi aku berpikir, bagaimana dengan masyarakat umum yang ingin membaca tapi tidak mampu membeli buku sepertiku? Itulah salah satu alasan kenapa aku ingin ada sebuah rumah baca di kampungku.

Terus terang dari dulu aku terinspirasi oleh Gola Gong dengan Rumah Dunia-nya. Tapi aku sadar akan kemampuanku yang terbatas. Jadi aku hanya ingin melakukan suatu hal yang sesuai kadar kemampuanku, merintis rumah baca yang sederhana tapi bisa bermanfaat. Sebagian temanku bilang aku akan sulit mewujudkannya, karena minat baca masyarakat di kampungku cukup rendah. Bahkan ada juga teman yang malah mencibirku. Tetapi menurutku, justru karena rendahnya minat baca itulah yang membuatku bersemangat untuk mewujudkan rumah baca. Aku berharap rumah baca tersebut akan menjadi tempat bagi orang-orang di kampungku mengakses buku-buku bacaan. Walaupun dengan kemampuan terbatas dan dengan dukungan dari sedikit teman, aku yakin akan tetap bisa mewujudkan impian ini. Entah kapan pun itu.




Aku teringat Dhonny Dirgantara, bahwa yang perlu dilakukan manusia terhadap mimpi hanyalah tinggal mempercayainya. Maka aku akan tetap mempercayai mimpi-mimpiku dan terus berusaha untuk membuatnya menjadi nyata. Aku hanya ingin membuat hidupku sedikit lebih bermakna. Seperti kata-kata Albert Einstein, “bekerja keraslah, bukan untuk menjadi sukses, tapi untuk menjadi bermakna”

9 Januari 2014

Stasiun Kereta

  Lihat berita di tv hari ini :
"pedagang-pedagang asongan di stasiun kereta api Jombang dilarang masuk ke dalam stasiun dan dilarang berjualan di dalam gerbong kereta api. 'penertiban' ini menyebabkan bentrok antara pedagang dan petugas keamanan. Para pedagang yang didorong mundur oleh petugas keamanan stasiun tersulut emosinya dan melemparkan barang-barang dagangan mereka ke arah petugas".

Aku adalah salah satu orang yang menyukai transportasi kereta api. Beberapa waktu lalu aku sempat ngobrol dengan seorang pedagang angkringan di depan stasiun Jebres-Solo. Saat itu aku sedang menikmati secangkir kopi susu sambil menunggu hujan reda. Bapak paruh baya itu memulai obrolannya dengan bertanya basa-basi padaku,mau kemana? Mungkin untuk sekedar mengusir sunyi di warungnya yang sepi. Lalu Bapak itu mulai bercerita soal peraturan-peraturan baru tentang kereta api. Pembelian tiket dengan sistem online dan boking. Harga tiket yang naik. Pedagang-pedagang asongan yang dilarang berjualan. Menurut Bapak itu orang kecil seperti mereka lah(sepertiku juga) yang menjadi korban dari peraturan-peraturan baru itu.
"Kita ini sebenarnya di adu domba mas" kata Bapak itu,lalu dia menjelaskan maksudnya padaku yang kelihatan bingung dengan peryataannya tadi.
Maksud Bapak itu adalah pedagang-padagang asongan dan petugas keamanan stasiun yang sama-sama rakyat kecil itu bentrok karena mempertaruhkan nasibnya masing-masing. Para pedagang asongan itu ingin tetap berjualan di kereta untuk menyambung hidup,sedangkan petugas-petugas keamanan itu harus menuruti perintah atasan mereka yang berdalih 'penertiban' itu agar mereka tetap mempunyai pekerjaan.

Sambil sesekali menyeruput kopiku,aku masih mendengarkan keluhan-keluhan Bapak itu. Memang sebagian kalangan(terutama menengah ke atas) menilai peraturan-peraturan baru itu adalah sebuah kemajuan. Tapi bagi sebagian pihak lain(terutama pedagang asongan) menganggapnya sebagai penindasan. Bagiku pro dan kontra adalah sebuah hal yang wajar. Tapi pastilah ada cara yang lebih bijak untuk menyelesaikan masalah itu. Toh selama ini para penumpang bisa berdampingan dengan para pedagang asongan,walau pun pasti ada sebagian penumpang yang tidak suka dengan kehadiran mereka. Misalnya,selama ini banyak para penumpang yang lebih  memilih membeli kopi pada para pedagang asongan yang harganya lebih murah daripada membeli di restoran dalam gerbong kereta.

Kereta ekonomi adalah transportasi rakyat kecil di negara ini yang murah meriah,dulu. Gerbong kereta adalah denyut nadi kehidupan bagi mereka para pedagang asongan. Kalau harga tiket kereta semakin mahal,apalagi yang bisa dinikmati rakyat kecil di negara ini jika transportasi murah kini tak ada. Dan kalau para pedagang asongan dilarang berjualan,apalagi harapan hidup mereka jika gerbong kereta tempat mereka menyambung hidup tak boleh mereka injak lagi.

Gerimis sore itu tak kunjung reda. Sampai segelas kopiku habis. Dan aku pun pergi dari warung itu setelah mendapatkan senyuman tulus yang menyimpan harapan dari Bapak pedagang angkringan di depan stasiun itu.