24 November 2014

Pelajaran Dari Kecelakaan



Kemarin aku terjatuh saat berkendara dengan sepeda motor. Kecelakaan itu terjadi dalam hitungan detik. Dan tiba-tiba aku tersungkur. Tangan dan kakiku luka-luka lecet, berdarah. Motorku rusak di beberapa bagian. Aku segera bangun, setelah istirahat sebentar aku ke sebuah masjid untuk membasuh luka-lukaku dengan air. Hanya dengan air, tanpa betadine. Lalu aku melanjutkan perjalananku.

Kecelakaan itu terjadi saat aku dalam perjalanan menuju lapak penjual buku-buku bekas. Setelah kejadian itu aku masih melanjutkan tujuanku untuk membeli buku, dengan keadaan luka-luka dan celanaku robek.Setelah membeli buku baru aku pulang ke rumah.

Malam ini aku merenungkan kejadian itu. Kecelakaan kemarin mungkin adalah sebuah pelajaran untukku. Bahwa dalam hidup, kadang atau pasti kita akan mengalami terjatuh. Tapi setelah jatuh itu kita harus tetap bangkit. Mungkin separah apa luka yang kita alami, itu yang akan mempengaruhi seberapa lama kita membutuhkan waktu untuk kembali bangkit. Entah sebentar atau pun lama waktu yang akan kita perlukan untuk bangkit, yang pasti kita harus tetap bangkit. Kita harus tetap melanjutkan hidup, walaupun dengan luka-luka yang mungkin akan lama membekas dalam diri kita.

Ya, hidup harus terus berjalan. Setiap hari memiliki keindahannya sendiri. Dan yang tak akan pernah kulupakan adalah batas antara kebahagiaan dan kesedihan itu sangatlah tipis. Malam sebelum aku kecelakaan, aku dalam keadaan bahagia menonton konser Dialog Dini Hari.
Jadi, jangan pernah berlebihan ketika kita sedang mengalami salah satu hal itu. Dan mungkin juga kebahagiaan dan kesedihan bisa datang atau tiba dalam waktu yang bersamaan.

Salam.

24/11/2014
cuma luka-luka sedikit

23 November 2014

Blora (part 1)

“Filsuf Tiongkok menggambarkan kehidupan laksana sungai panjang yang mengalir tanpa henti. Kita, manusia adalah sosok-sosok penumpang yang naik kapal di satu titik, turut berlayar, lalu turun di tempat lain. Beberapa penumpang turun, beberapa penumpang naik. Sungai terus mengalir, kapal terus berlayar, penumpang datang dan pergi. Demikianlah manusia-manusia di tepian sungai abadi Amu Darya ini, datang dan pergi, dalam berbagai wujud rupa, bangsa, agama, dan kebanggaan, dan semuanya, tanpa kecuali, adalah makhluk fana”
Agustinus Wibowo, Garis Batas: 



Hari ini tiba-tiba saja aku ingin pergi, ya pergi saja. Ingin kembali merasakan atmosfer jalanan.  Mungkin Karena pengaruh dari banyaknya masalah yang sedang ada. Langsung ku packing ransel kecilku, sleeping bag yang paling penting kubawa. Entah akan tidur dimana, tak jadi soal.  aku merindukan sebuah perjalanan, itu saja.

Aku menuju ke jalan raya, tujuanku kali ini adalah kota Blora. Kota kecil di jalur pantura Jawa Tengah. Mungkin bagi kebanyakan orang kota ini tak istimewa. Tapi bagi sebagian orang lain, Blora adalah kota yang istimewa. Kota kelahiran sang penulis ternama, yang membuat Indonesia dikenal bangsa-bangsa lain lewat dunia sastra. Pramoedya Ananta Toer terlahir di kota kecil ini. Karya-karyanya tak lekang oleh waktu. Dibaca dari masa ke masa, oleh generasi ke generasi.

Satu lagi keistimewaan kota Blora. Budaya ngopi di pedalaman desanya. Dan kopi santan khasnya, itu yang membuatku ingin menjejakkan kaki ke Blora.

Kulangkahkan kakiku menuju jalan raya. Ternyata bis jurusan Blora sedang mogok beroperasi karena BBM naik. Hanya ada bis kecil sampai daerah Gemolong, terpaksa aku naik. Bis berhenti dan aku langsung masuk ke dalam. Dan ternyata di dalam berdiri seseorang yang aku kenal. Seseorang yang pernah menjadi bagian dari kisah hidupku. Aku tak pernah menyangka kami bakal dipertemukan di dalam bis ini. Di antara desak-desakan para penumpang, diantara bau keringat ibu-ibu yang pulang dari pasar. Diantara bau parfum ibu-ibu pekerja pabrik, diantara tawa pelajar-pelajar pulang sekolah yang saling berebut tempat di dalam bis. Pertemuan yang tanpa terencana, tidak ada yang kebetulan, maktub. Entah apa maksud Tuhan, yang pasti setiap pertemuan akan memberikan pelajaran. Kami pun saling menyapa, walaupun dalam keadaan berdiri di dalam bis yang sesak,
“eh,gimana kabar ? baru pulang kerja ?” aku memulai percakapan.
“Iya, kamu sendiri mau kemana ? kuk gak kerja.” Dia masih seperti dulu, akrab.
“Aku bolos kerja, mau ke Blora. Gimana kabar suami dan anakmu ?” pertanyaan basa-basi yang sebenarnya tak ingin kutanyakan.
“oh,mau gak masuk kerja berapa hari? Ngapain ke Blora? Alhamdulillah keluargaku sehat. Kamu kapan mau nikah ?” dia mengakhiri pertanyaannya dengan senyuman,yang masih tetap sama seperti dulu.
“Cuma sehari, mau ke tempat kakakku, soal itu entahlah.” Aku menjawab sekenanya, lalu kami sama-sama terdiam.
Pikiranku masih bertanya-tanya,”apa maksud dari pertemuan ini?” Ah,mungkin hanya kebetulan belaka. Mungkin dia juga tidak terlalu memikirkan hal ini. Bis melaju dengan cepat, kenek dan beberapa pelajar bergelantungan di pintu bis. Lalu dia meminta pada kenek untuk berhenti di sebuah perempatan.
“aku turun duluan ya, kamu hati-hati.” Pamitnya padaku.
“iya, terimakasih.” Aku memandanginya turun bis, entah kapan kami bertemu lagi. Mungkin juga kami tidak akan bertemu lagi. Setiap kisah dalam hidup kita, pasti ada hikmahnya. Tergantung bagaimana kita menyikapinya.

Aku behenti di perempatan Gemolong, sebuah daerah yang tak terlalu besar. Dari sini sudah tidak ada bis, Blora masih sekitar 80km. Langit sore terlihat mulai gelap. Satu-satunya solusi adalah menumpang truk. Aku mencoba dengan mengacungkan jempol pada truk-truk yang lewat. Beberapa truk tidak merespon sama sekali dan tetap melaju kencang. Beberapa memberi tanda menolak karena bak terisi muatan. Tapi akhirnya sebuah truk mau berhenti.
“numpang ke Blora boleh pak?” teriakku pada sopir truk.
“ayo naik saja, tapi Cuma sampai Purwodadi.”
“oke,gapapa pak.” Aku langsung naek ke dalam bak truk.
Truk ini mngkin habis mengantar genting, bekas pecahan-pecahannya masih tersisa. Aku bersyukur masih ada sopir truk yang baik hati dan peduli pada orang yang tak dia kenal di jalanan. Satu pelajaran aku dapatkan walau perjalanan baru dimulai.

Sudah lama aku tidak melakukan perjalanan seperti ini. Menumpang truk. Sampai di Purwodadi aku turun. Disini aku bertemu beberapa pemuda yang pulang sekolah dan akan mencari tumpangan truk juga ke Blora. Setelah beberapa saat menunggu dan bertanya ke beberapa truk yang berhenti saat lampu merah. Akhirnya selepas maghrib kami mendapat tumpangan truk, lalu beberapa orang bapak-bapak berlarian ingin ikut menumpang. Di dalam bak truk aku mengobrol dengan salah satu dari bapak-bapak itu.
“Dari mana pak ?” tanyaku basa-basi untuk memulai, karena dalam perjalanan berusahalah menjadi orang yang terbuka.
“Pulang kerja mas. Lha sampean dari mana?” jawab bapak itu sambil menawarkan rokok.
Aku menolak rokoknya,karena memang aku tidak merokok.
“Kerja dimana pak? Saya dari Solo mau ke Blora pak.”
“Kerja bangunan di Solo mas.” Bapak itu menyulut rokoknya.
“Oh,lagi ada proyek di daerah mana Pak?” aku terus bertanya.
“Di kampus Sebelas Maret mas.” Hembusan asap rokok bapak itu menguap ke udara.
“Lha ini tadi sampai Purwodadi naik apa pak? Kan bis lagi pada mogok.” Tanyaku penasaran.
“Naik taksi dari terminal Solo mas.”
“Wah,berapa ongkosnya pak ?” aku tambah penasaran.
“270rb mas, enam orang, tadi bareng orang Semarang juga, ya mau gimana lagi mas, pengen pulang kangen rumah sama keluarga.” Bapak itu menghembuskan asap rokoknya lagi.
“iya pak,untung naik berenam ya pak.”  
Truk terus melaju dalam jalanan yang gelap. Melewati perkebunan-perkebunan jati. Banyak jalan yang rusak, terasa dari guncangan truk. Obrolan kami terhenti, bapak itu asyik dengan rokoknya. Aku melamun dengan bermacam pikiran.
Bapak itu,hidupnya mungkin keras setiap hari. Bekerja dari satu proyek ke proyek bangunan lain. Kulitnya hitam terbakar matahari. Entah keluhan terucap atau tidak. Entah ucapan syukur keluar atau tidak dari mulutnya. Mungkin bagi bapak itu, dengan tetap menjalani kehidupannya yang seperti itu adalah sebuah ungkapan rasa syukur. Rasa syukur yang tak perlu terucap, tapi benar-benar dihayati. Aku teringat kakak laki-lakiku, aku teringat bapakku. Mereka pekerja keras yang mengungkapkan rasa syukur dengan perbuatan nyata, tetap menjalani hidupnya. Di dalam bak truk, mataku terasa sembab. Aku merasa menjadi manusia yang kurang bersyukur.

17 November 2014

Pak Kamto

“Apabila engkau melihat seorang yg menyia-nyiakan shalatnya, maka demi Allah, orang tersebut akan menyia-nyiakan perbuatan yg lainnya.” (Umar bin Khattab)


Saat itu aku sedang berkunjung ke tempat seorang teman yang menjadi guru di sebuah sekolah di daerah Garut . Aku istirahat di ruang osis sekolah itu, sambil ngopi bersama teman dan guru-guru lain di sekolah itu. Lalu datang seorang guru laki-laki yang sudah kelihatan tua, rambutnya beruban. Matanya teduh, menenangkan, tapi selera humornya tinggi. Beliau guru sejarah di sekolah itu.
Namanya Pak Kamto, dia memperkenalkan diri padaku lalu bertanya,
“Rumahnya dimna jang?” dengan logat sunda yang kental.
“Solo pak.” Jawabku singkat sambil tersenyum.
“Wah,jauh, dalam rangka apa ini ke Garut?”
“Mau ke papandayan Pak.”
“Bapak sebenarnya juga orang Jawa jang, Purworejo.” Lalu beliau sedikit membuktikannya dengan menyebut beberapa bahasa Jawa yang bagiku terdengar sedikit aneh. Mungkin karena Pak Kamto sudah lama tidak berbahasa Jawa.
“Ooh, dekat Wates-Jogja ya Pak?” aku mencoba mengakrabkan diri.
“Iya sebelah barat Jogja, kamu mau ‘menjajah’ juga disini gak jang?” tanyanya padaku sambil tertawa.
Aku bingung, dan balik bertanya, ”Maksudnya pak?”.
“hehe,ya nyari istri mojang Garut.” Jelasnya, membuat teman-teman yang lain tertawa.
Aku pun sontak iku tertawa,dan menjawab “belum kepikiran pak.” (tapi dalam hati berkata,”pernah mikir gitu juga sih pak”)
Lalu tanpa di komando Pak Kamto berceramah dengan sendirinya, petuah-petuah tentang pernikahan, tentang berkeluarga, beragama mengalir deras diarahkan ke kami (kebetulan aku dan teman di ruangan itu masih bujang semua).
Pak Kamto bertutur seperti seorang bapak kepada anaknya. Aku hanya terdiam mendengarkan, sesekali mengangguk sambil berucap “ya”,mencoba mencerna setiap nasihatnya.

Yang paling aku ingat dari nasihat beliau adalah,
“kelak jika kalian menikah dan berkeluarga, jangan pernah lupa mengajak istri dan anak-anak kalian untuk sholat berjamaah. Setiap mendengar adzan ingatkan mereka segera sholat. Lebih baik lagi jika kalian ajak mereka ke masjid. Ya memang wanita itu baiknya di rumah, tapi kalau bisa ke masjid dan didampingi muhrimnya,itu kan lebih baik. Jangan lupa, sholat itu adalah ibadah yang paling istimewa dan juga yang paling berat melaksanakannya. Banyak orang yang sering menyepelekan, bahkan menunda-nunda waktunya. Kalian puasa, bekerja keras menafkahi keluarga, kuliah tinggi-tinggi (Pak Kamto tidak tahu kalau aku tidak kuliah), atau naik haji, itu semua akan percuma kalau kalian masih sering lalai sholat atau menunda-nunda sholat. Dan jika istri dan anak-anak kalian sampai tidak sholat, nanti kalian sebagai kepala keluarga yang akan dimintai pertanggungjawaban. Ingat baik-baik ya ucapan bapak tadi jang.”
Aku sampai terbengong, bahkan melamun demi melihat ke dalam diriku sendiri. Aku masih sering menunda-nunda waktu sholat. Bahkan kadang masih meninggalkan. Kedatanganku ke tempat ini mungkin memang sudah garis takdir. Bertemu dengan Pak Kamto dan mendapat nasihat-nasihat itu.

Cerita ini adalah bagian dari sebuah perjalanan.
Terima kasih Pak Kamto.


(Terima kasih untuk Mitra, guru-guru lain, dan pak kepala sekolah atas keramahannya dan tempat istirahatnya – SMK 1 Maret Garut)

Arti Penting Sebuah Gelar (Paulo Coelho)



 Arti Penting Sebuah Gelar

Penggilingan tua milik saya terletak di sebuah desa kecil di Perancis, dijejeri pepohonan yang memisahkannya dengan pertanian di sebelah. Kemarin tetangga saya datang berkunjung. Umurnya pasti sudah sekitar tujuh puluh tahun. Kadang-kadang saya melihat dia dan istrinya bekerja di ladang, dan menurut pendapat saya sudah waktunya mereka pensiun.

Tetangga saya itu orang yang sangat menyenangkan, tetapi dia berkata kepada saya bahwa daun-daun dari pepohonan saya berguguran di atapnya dan saya sebaiknya menebang saja pohon-pohon itu.
Saya terkejut sekali. Bagaimana bisa orang yang sudah seumur hidupnya bekerja begitu dekat dengan Alam, meminta saya menebang pohon-pohon yang memerlukan waktu begitu lama untuk tumbuh, hanya karena sepuluh tahun mendatang pohon-pohon itu mungkin akan menimbulkan masalah pada atap rumahnya.

Saya undang dia minum kopi. Saya katakan bahwa saya akan bertanggung jawab sepenuhnya, dan seandainya suatu hari nanti daun-daun itu(yang tentunya akan hilang tertiup angin dan musim panas) benar-benar menimbulkan kerusakan, saya akan membayar ganti rugi kepadanya supaya dia bisa memasang atap baru. Tetangga saya berkata usulan itu tidak menarik minatnya, dia ingin saya menebang saja pohon-pohon itu. Saya menjadi agak marah, dan saya katakan bahwa lebih baik saya beli saja pertaniannya itu.
“Tanah saya tidak dijual,” sahutnya.
“Tapi dengan uang hasil penjualan itu, anda bisa membeli rumah bagus di kota dan menghabiskan masa tua anda disana bersama istri anda, anda tidak perlu lagi mengalami musim-musim dingin yang berat ataupun gagal panen.”
“Pertanian saya tidak untuk dijual. Saya lahir dan dibesarkan disini, dan saya sudah terlalu tua untuk pindah.”

Dia menyarankan saya memanggil seorang ahli dari kota, untuk menaksir situasinya dan mengambil keputusan, dengan demikian kami sama-sama tidak usah saling mendongkol. Bagaimanapun kami bertetangga.

Setelah dia pergi, reaksi spontan saya adalah mengecapnya sebagai orang yang tidak sensitif dan tidak mempunyai rasa hormat terhadap Bumi. Tetapi kemudian saya penasaran, Kenapa dia tidak mau menjual tanahnya ? Dan menjelang penghujung hari itu, saya sadari penyebabnya : seluruh hidupnya hanya berisi satu cerita, dan tetangga saya tidak mau mengubah cerita itu. Pindah ke kota berarti terjun ke dalam dunia yang masih asing baginya, dunia yang memiliki nilai-nilai berbeda, dan barangkali dia menganggap dirinya sudah terlalu tua untuk itu.

Apakah hanya tetangga saya yang mengalami hal seperti itu ?Tidak, saya pikir hal ini dialami setiap orang. Kadang-kadang kita begitu terikat pada cara hidup kita, sehingga kita menolak sebuah kesempatan yang sangat bagus, hanya karena kita tidak tahu mesti diapakan kesempatan itu. Dalam kasus tetangga saya, pertanian miliknya dan desa tempat tinggalnya adalah satu-satunya tempat yang dia kenal, dan dia tidak mau mengambil risiko-risiko apapun. Sedangkan mengenai orang-orang yang tinggal di kota, mereka semua meyakini bahwa mereka harus mengantongi gelar akademis, menikah, mempunyai anak-anak, menyekolahkan anak-anak mereka sampai menyandang gelar juga, dan seterusnya, dan seterusnya.Tidak ada yang bertanya pada diri sendiri, “Bisakah aku melakukan sesuatu yang beda?”.

Saya ingat, tukang cukur saya bekerja siang malam supaya anak perempuannya bisa lulus universitas dan memperoleh gelar. Akhirnya anak itu lulus, lalu mencari lowongan kerja kemana-mana, dan akhirnya mendapatkan pekerjaan sebagai sekretaris di sebuah pabrik semen. Tetap saja tukang cukur saya berkata dengan sangat bangga, “Anak perempuan saya punya gelar.”

Sebagian besar teman saya, dan sebagian besar anak-anak mereka, juga mempunyai gelar. Tetapi belum tentu mereka berhasil mendapatkan pekerjaan yang mereka inginkan. Sama sekali tidak. Mereka masuk universitas karena seseorang berkata,”pada masa-masa masuk universitas sangatlah penting, bahwa supaya mendapatkan tempat yang mapan di dunia, orang mesti mempunyai gelar.” Dengan demikian, dunia kehilangan kesempatan untuk memiliki orang-orang yang sebenarnya adalah tukang-tukang kebun yang hebat, tukang-tukang roti, pedagang-pedagang barang antik, pematung-pematung, dan penulis-penulis. Barangkali inilah saatnya untuk merenungkan kembali keadaan tersebut. Para dokter, insinyur, ilmuwan, dan pengacara memang perlu belajar di universitas, tetapi apakah setiap orang juga perlu berbuat demikian? Biarlah bait-bait puisi Robert Frost ini memberikan jawabannya:

Dua jalan bercabang di dalam hutan, dan aku....
Kupilih jalan yang jarang ditempuh,
Dan perbedaannya besar sungguh.

Itu sekedar penutup untuk cerita tentang tetangga saya. Juru taksir itu datang dan saya tercengang ketika dia memberitahukan bahwa menurut aturan hukum Prancis, sebatang pohon harus berjarak setidaknya tiga meter dari properti lain. Pohon-pohon saya jaraknya hanya dua meter, jadi semuanya harus ditebang.


(Seperti Sungai Yang Mengalir-Paulo Coelho)

5 November 2014

Kembang Perjalanan



  Siang yang terik di sebuah kota di bumi Pasundan. Aku berada di dalam bis antar kota yang masih berhenti menunggu penumpang datang. Beberapa hari ini pikiran dan perasaanku benar-benar terkuras oleh hal yang harus kuhadapi. Tubuh seakan remuk redam oleh perjalanan ini. Sinar matahari masuk dari kaca jendela bis membuat udara semakin panas. Kubasahi tenggorokanku yang kering dengan air mineral. Air adalah bagian dari surga dunia. Setiap makhluk hidup membutuhkan air. Tapi air di bumi semakin terkuras dan tercemari. Ah, beruntunglah aku masih bisa merasakan segarnya air bersih. Nikmat Tuhan.

   Di sebelahku duduk seorang perempuan muda, dengan jaket biru laut dan berkerudung hitam memangku tas ranselnya. Wajahnya bersih dan terlihat kalem. Mungkin tipikal perempuan sunda, batinku. Kami hanya sama-sama terdiam. Aku termangu tak berani menciptakan sebuah obrolan. Aku hanya bermain-main dengan pikiranku sendiri. Mungkin pengalaman yang kurang mengenakkan yang baru saja aku alami kemarin membuatku minder.
    Lalu seorang bapak tua berkemeja abu-abu dengan gitar yang terlihat sama tuanya masuk ke dalam bis. Rambutnya rata beruban, wajahnya hitam kemerahan tanda terlalu sering tersengat terik matahari. Aku memandanginya dengan seksama, tapi beliau tidak tau. Pikiranku bertanya-tanya, lagu apa gerangan yang akan dimainkannya ? Setelah mengucap salam dan memohon ijin pada penumpang untuk sedikit mengganggu, jari jemari yang mulai keriput itu mulai memetik senar gitarnya. Aku tercenung, tertawa dalam hati,senang demi mendengarkan alunan lagu Manusia Setengah Dewa yang dilantunkan bapak itu. Rasanya petikan gitar itu menjadi penyegar udara di dalam bis yang panas ini. Selesai satu lagu bapak itu melanjutkan dengan tembang Pohon Kehidupan, aku masih mendengarkan dengan antusias.
     Kini aku tak peduli lagi di sebelahku sedang duduk perempuan sunda yang cantik. Aku hanya terfokus mendengarkan harapan dan doa-doa yang didendangkan oleh seorang bapak tua yang hidupnya pasti sudah ditempa oleh kehidupan itu sendiri. Beliau melanjutkan dengan lagu Cemburu,
Setiap orang berharap hidupnya lebih baik
Dari hari ke hari
Dari waktu ke waktu
Setiap orang tak ingin hidupnya menderita
Tentu saja ingin bahagia, tak ingin terhina
........
Ingin bersyukur tapi tak semudah tutur
Ku jalani hidup, yang terasa hanya kewajiban saja
Cemburu pada samudera yang menampung segala
Cemburu pada sang ombak yang selalu bergerak

Aku merasa bis ini berubah menjadi ruang kelas
. Bapak pengamen itu adalah guru
 yang sedang memberi pelajaran pada sang murid. Aku adalah murid
 yang dipertemukan dengannya oleh garis kehidupan. Pelajarannya adalah tentang harapan, kita harus tetap mampu menjaga harapan-harapan walau bagaimanapun keadaan kita. Tentang kehidupan yang harus selalu bergerak, kita tak boleh diam dalam sebuah titik. Atau kita tak boleh terlena oleh keadaan yang kadang membuat kita lupa akan impian-impian kita. Dan tentang doa-doa yang harus selalu kita ucap,jangan pernah bosan. Karena Tuhan juga tidak akan pernah bosan mendengarnya.
Beliau menutup siang yang panas itu dengan lagu Doa. Kemudian mengucap salam dan terima kasih, sambil mengeluarkan bungkus permen bekas. Disodorkannya kepada para penumpang, senyum ramahnya tetap terkembang pada setiap penumpang yang memberi atau pun yang tidak.

   Siang yang panas ini sedikit terisi oleh kesegaran. Petikan gitar, lantunan lagu, harapan dan doa-doa tentang kehidupan. Bis mulai berjalan meninggalkan tempat mangkalnya. Membelah jalanan jalur lintas selatan bumi pasundan.