19 Desember 2014

Blora 2



Selepas isya aku akhirnya sampai di kota Blora. Berjalan kaki melewati pasar kota. Masih ada beberapa toko yang buka. Banyak juga penjual makanan di trotoar jalan. Menuju alun-alun kota, letaknya tak jauh dari pasar. Saat itu jalanan sangat ramai dan padat karena sedang ada Haul Sunan Pojok yang makamnya berada di selatan alun-alun. Banyak peziarah dari dalam ataupun luar kota yang datang. Sunan Pojok yang nama aslinya adalah Surobahu Abdul Rohim,beliau adalah perwira perang dari Mataram-Yogyakarta yang ditugaskan ke Tuban untuk melawan VOC. Dalam tugasnya beliau juga menyebarkan agama islam. Dalam perjalanan sekembalinya dari Tuban, beliau sakit dan akhirnya meninggal di Blora.

Suasana alun-alun kota ramai. Keasrian tempat ini mungkin membuat masyarakat senang berkunjung. Pedagang-pedagang juga tertata rapi, jadi tidak ada kesan semrawut. Aku menuju masjid raya kota Blora yang berada tepat di sebelah barat alun-alun. Bangunan luar masjid terlihat moderen. Tapi ketika kita masuk ke dalam, menapak ubinnya, melihat kusen pintu, dan menatap pilar-pilar beserta atap masjid, kita akan tau bahwa masjid ini benar-benar masjid yang sangat tua. Mungkin sudah mengalami berkali-kali renovasi, tetapi ada beberapa bagian yang tetap sengaja dibiarkan terlihat kuno.

Ada beberapa orang yang tidur di teras masjid. Dari barang bawaan yang mereka bawa, mungkin mereka adalah tunawisma. Bagi mereka masjid adalah pilihan teraman yang bisa mereka jadikan ‘rumah’ dikala malam. Mereka perlu tempat yang aman untuk mengistirahatkan raga dan pikiran setelah sehari yang berulang-ulang ke hari lain mereka bergelut dengan kehidupan di jalan.

Blora, bumi manusia. Di kota mana pun, di daerah manapun, permasalahan hidup pasti ada. Setelah melakukan kewajiban aku keluar masjid menuju alun-alun membaur di tengah hiruk pikuk masyarakat yang menikmati malam. Langit cerah tak ada mendung. Aku mampir ke sebuah warung tenda, semacam angkringan. Sudah ada beberapa pemuda dan seoarng bapak yang duduk di kursi panjang depan gerobak angkringan itu. Aku memesan segelas kopi pada ibu penjual.
“Kopi klothok satu Bu.” Pesanku.
“Iya mas.” Jawab ibu setengah baya itu.

Bapak tua di sebelahku juga sedang menikmati kopinya sambil sesekali menghisap rokok kreteknya. Penampilannya terlihat rapi, berkopyah putih dengan baju koko cokelat muda dan celana hitam bahan halus yang tersetrika. Sendal kulit yang dipakinya juga terlihat mewah, aku memperhatikannya. Kemudian Bapak itu menoleh padaku.
“Sendirian Nak?” tanya bapak itu,sambil membenarkan kopyahnya.
“Iya pak, Bapak juga sendirian?” aku balik bertanya sambil memberi senyum.
“Gak Nak, Bapak sama rombongan dari Semarang, sedang ikut acara Haul Sunan Pojok. Tapi Bapak lagi pengen istirahat nikmati suasana Blora,ngopi di angkringan ini.” Bapak itu menyeruput kopinya pelan.
“Ini mas kopinya.” Ibu penjual menyuguhkan segelas kopi panas.
“Matur suwun Bu.” Jawabku sambil menerima gelas kopi itu.
 
Aku mengambil dua bungkus nasi kucing dan setusuk sate telur puyuh. Makanan sederhana setiap kali dalam perjalanan, karena aku harus berhemat. Dan bagiku makan adalah sekedar memenuhi kebutuhan tubuh. Sederhana saja sudah cukup. Jika aku tidak bisa mengendalikan keinginan soal makan, mungkin kebutuhan makan itu akan berubah menjadi kebutuhan nafsu.
“Makan Pak?” Tawarku pada Bapak di sebelahku. Ya, itu memang sekedar basa-basi,adat menghormati orang di sekitar kita.
“Silahkan Nak.” Bapak itu masih menikmati rokok kretek dan kopinya, sambil sesekali terlibat obrolan dengan Ibu penjual.
Pemuda-pemuda yang di kursi kini turun menggelar tikar di trotoar, main kartu sekedar hiburan.
Makanan sederhana sudah cukup membuat perutku kenyang. Walau kadang ada keinginan untuk makan di sebuah resto atau pun kafe,tapi aku selalu merasa tidak nyaman berada di tempat seperti itu. Tempat-tempat seperti itu seolah menjual kepalsuan. Pelayan resto yang ramah di depan pengunjung, mungkin mengumpat-ngumpat soal pekerjaannya ketika di ruang loker. Koki-koki yang masakannya enak itu, mungkin juga memasak sambil berteriak marah  ke asistennya. Penjaga kasir yang selalu tersenyum ramah ketika kita membayar, mungkin saat tak ada pembeli dia mengomel tentang uang hilang atau kurang yang harus mereka ganti. Ya begitulah, aku pernah menjadi bagian dari kehidupan itu. Memang tak semua tempat seperti itu. Ada pelayan yang benar-benar mengantarkan makanan dengan ikhlas, koki-koki yang memasak dengan kecintaannya pada kuliner, penjaga kasir yang tetap tersenyum walau harus menanggung uang yang hilang. Mereka adalah orang-orang yang sadar akan tugasnya dalam hidup dan mensyukuri kehidupannya.

Tapi aku tetap lebih suka berada di tempat seperti ini. Berhadapan langsung dengan penjual, mendengarkan langsung obrolannya. Entah saat mereka suka ketika calon presiden jagoannya terpilih. Entah saat mereka marah ketika harga BBM naik. Entah ketika mereka menggerutu karena harga cabai kian mencekik. Setidaknya mereka tidak menutup-nutupi apa yang mereka rasakan. Mereka tidak memberikan senyum palsu. Mereka berani jujur walau dengan senyum getir dan gerutuan. Dan di tempat seperti ini aku juga merasakan tak ada batas diantara pembeli, semua berbaur, satu kursi, mungkin juga satu tikar. Bebas datang dengan pembawaan dirinya masing-masing. Bebas saling menyapa tanpa pandangan curiga.
“Rumahnya dimana Nak?” Bapak itu bertanya padaku.
“Solo Pak.” Jawabku singkat.
“Oh, disini bekerja?”
“Gak Pak, sedang main ke tempat kerja kakak.”
“Di Solo masih kuliah atau bekerja?”
  Kenapa selalu pertanyaan seperti ini yang kudapat? pikirku.
“Saya gak kuliah Pak, saya kerja dan main-main seperti ini menikmati hidup. Mencari pengalaman-pengalaman hidup di perjalanan pak.” Jawabku sambil bergurau.
“Pilihan yang tepat Nak.” Bapak itu tegas menatapku.
Aku terkejut mendengar kalimatnya, dan hanya diam sambil menyeruput kopi untuk menenangkan diriku.
Bapak itu melanjutkan, “Pengalaman hidup itu adalah pelajaran yang lebih berharga daripada pelajaran-pelajaran di bangku sekolah atau kuliah. Bapak hampir menghabiskan banyak waktu hidup bapak di bangku universitas, belajar dan kini mengajar. Banyak kepalsuan di tempat itu Nak.”
Aku hampir tak percaya, kalau memang Bapak ini seorang akademisi harusnya dia bangga dengan apa yang diraihnya.
“Tapi bukankah ilmu yang Bapak dapat dan ajarkan itu sangat berguna Pak?” tanyaku penasaran.
“Iya memang, tapi kau tak tau Nak?” tanyanya,
“Apa pak?” aku sama sekali tidak tau maksudya.
“Di dunia universitas sekarang, lebih banyak orang yang mengejar gelar daripada mengejar ilmu. Bahkan banyak yang menjadi plagiat dalam karya-karya ilmiah atau skripsinya Nak. Memang banyak juga yang benar-benar niat menuntut ilmu dengan cara yang semestinya. Dan hal lain, Guru-guru di sekolah atau dosen seperti bapak juga tidak sedikit yang mengajar dengan ogah-ogahan. Gaji sudah lebih dari cukup,tapi masih pada merasa kurang,beralasan biaya hidup dan menguliahkan anak semakin tinggi. Apa mereka tidak pernah melihat ke bawah, petani-petani atau buruh-buruh pabrik untuk menyekolahkan anaknya sampai tingkat SMA saja harus gali lubang tutup lubang. Kecuali guru-guru sekolah yang masih WB itu Nak, kasihan mereka. Hal-hal itulah yang membuat Bapak sedih. Mungkin memang harus seperti itulah keadaannya. Keseimbangan, baik-buruk, benar-salah akan selalu ada. Dan pendidikan memang sangat penting Nak, tapi tidak penting formal atau non formal, yang paling penting adalah pendidikan moral.” Bapak itu menghabiskan kopinya.
“Saya gak paham hal-hal seperti itu Pak.” Tukasku sambil tersenyum. Aku tak mau terlibat lebih jauh dalam obrolan yang tak kupahami.
Lalu Bapak itu membayar jajannya dan pamit padaku untuk kembali ke tempat Haul Sunan Pojok. Setelah Bapak itu pergi aku baru sadar, aku lupa tidak berkenalan ataupun sekedar bertanya dimana bapak itu mengajar. Itulah kebiasaan burukku, selalu asyik menikmati obrolan tanpa berkenalan.

Dari angkringan aku menghubungi kakakku. Saat kutelpon, ternyata malam ini dia sedang pulang ke Solo. Memang aku tidak memberi kabar sebelum berangkat kesini. Ini adalah kesalahanku. Aku tak punya teman di kota ini. Aku ingat beberapa tunawisma yang tertidur di masjid. Dan saat ini aku sama seperti mereka, tunawisma. Aku juga membutuhkan tempat untuk istirahat. Dan Dia adalah sebaik-baiknya peneduh bagi hambaNYA yang kesusahan.


(dari pengalaman ke Blora bulan lalu)

18 Desember 2014

Kisah Anjing Jalanan




Di suatu siang yang panas di sebuah alun-alun kota. Seekor anjing jalanan jantan duduk di bawah pohon beringin yang rindang. Bulunya yang berwarna hitam terlihat kusam. Dia berteduh dari panasnya matahari yang menyengat. Sesekali dia menyalak ketika ada orang yang lewat di depannya. Kehidupan jalanan membuat dia menjadi anjing yang kuat. Setiap hari dia mengais makanan di bak sampah yang berada di seberang alun-alun. Bahkan kadang dia harus rela keluar dari daerah teritorialnya untuk mencari makan di tempat pembuangan sampah pinggiran kota. Dia harus selalu berjuang untuk menyambung hidupnya. Ketika malam tiba dia terbiasa tidur di emperan toko. Anjing jalanan yang kesepian.

Dia tak tau dimana dia dilahirkan. Dia hanya ingat di masa kecilnya ada seekor anjing betina yang seumuran dengannya. Berbulu putih kecokelatan karena debu jalanan. Mereka adalah karib yang selalu bersama. Sampai pada suatu pagi, dia terbangun lebih dulu dan langsung menuju bak sampah mengais makanan. Si anjing betina masih tertidur. Lewatlah sepasang saudagar kaya penjual kain yang kebetulan singgah di kota itu. Sang wanita yang cantik dan anggun dengan gaun putih itu melihat si anjing betina tertidur di emperan toko. Lalu dia berkata pada sang suami,
“Suamiku, bolehkah aku bawa dan rawat anjing ini?” sambil jongkok dan mengelus bulu kusam anjing betina itu.
Suaminya yang memang sangat mencintai istrinya itu dengan senang hati menjawab,
“Istriku,kalau kau suka dengan anjing itu,bawalah pulang. Kita dirumah mempunyai Wego, tentu dia akan senang kau bawakan teman”. Mereka memang memelihara seekor anjing jantan dirumahnya yang megah.
Pagi itu garis tangan Tuhan memisahkan mereka. Si anjing betina dibawa pasangan saudagar itu pulang ke rumahnya.Sedangkan si anjing jantan kaget mendapati kawannya sudah tidak ada di emperan toko. Makanan yang dibawanya dijatuhkannya begitu saja. Dia menggonggong, menyalak, berlari, mencari kawan hidup satu-satunya. Dia berlari jauh sampai ke pinggiran kota, mencari ke tempat-tempat mereka biasa bermain dan mencari makan. Bahkan sampai masuk ke teritorial kawanan anjing lain. Tapi dia tetap tak menemukannya. Dia terlunta-lunta. Kini hari-harinya dia jalani sendirian. Dia tak pernah mau bergabung ke kawanan anjing jalanan lain yang ada di kota itu.
Si anjing betina hidupnya dirubah oleh nasib. Dia merasa terlahir kembali di dunia baru. Di tempat yang penuh kemewahan. Setiap hari dia dimandikan oleh pembantu saudagar yang telah membawanya itu. Kini bulunya berubah menjadi putih bersih. Setiap hari mendapat makanan dan minuman yang terbaik dengan waktu yang teratur. Tempat tidurnya berupa karpet tebal yang berada di dalam ruangan 2 x 2 meter. Yang tak lain adalah kandangnya, ruang yang membatasi dirinya, dan sebenarnya adalah penjaranya. Bersebelahan dengan kandang Wego si anjing jantan kesayangan sang saudagar. Istri sang saudagar terlihat gembira. Dia memberi nama anjing betinanya itu dengan nama Princess. Dia begitu memanjakannya. Begitu pun dengan Princess, dia mulai belajar untuk menyenangkan majikannya. Selalu menjilat dan menciumi majikannya ketika bulunya dibelai. Sang saudagar bahagia dengan kehadiran anjing betina dirumahnya itu. Dan berniat akan mengawinkannya dengan Wego nantinya.


Beberapa tahun kemudian, di siang yang panas itu. Ketika dia sedang berteduh di bawah pohon beringin yang rindang di tepi alun-alun kota. Lewatlah sepasang saudagar dengan membawa sepasang anjing yang setia berjalan di depannya. Si anjing jalanan kaget, terpana, lalu mendongakkan kepalanya memandangi si anjing betina putih yang sepertinya tidak asing baginya. Dia mulai menggonggong dan menyalak ke arah si anjing betina. Princess pun menghentikan langkahnya dan memandangi si anjing jantan yang hitam kusam itu. Mereka terlibat percakapan,
“Kau masih ingat aku ? Kemana saja kau ? Aku terus mencarimu setelah kau menghilang di pagi itu”. Si anjing jantan bertanya dengan penuh semangat.
“Sepertinya aku tidak mengenalmu”. Princess menjawab dengan keangkuhannya.
“Kau tak ingat,dulu setiap hari kita mengais makanan di bak sampah itu?” terang si anjing jantan mencoba mengingatkan sambil menunjuk bak sampah di seberang alun-alun.
“Aku setiap hari mendapat jatah makanan yang enak,tidak mungkin aku mengais makakan di tempat sampah”. Si anjing betina kini menjadi sombong.
“Kau tega meninggalkan kawanmu satu-satunya ini hidup sendirian di jalanan?”
“Kawanku memang cuma satu”. Princess memandang ke arah Wego yang sedang membusungkan dadanya.
“Baiklah,mungkin kehidupan mewah telah membuatmu berubah. Kau lupa asalmu. Kau melupakan akarmu. Dan yang paling buruk, kehidupan enak telah membuatmu melupakan kawanmu yang setia ini”. Si anjing jantan mundur, dan berlari ke pinggiran kota. Dia menghabiskan sisa hari itu di puncak bukit batas kota. Menggonggong melampiaskan kemarahan dan kesedihannya. Dia kembali pada kesepiannya. Kembali menjadi anjing jalanan yang keras menghadapi kehidupannya.


09/11/14 (SB)

9 Desember 2014

Ruang Perpustakaan



"Dunia itu seperti buku. Jika tidak bepergian, kau hanya membaca satu halaman saja." (Gola Gong)

Sebuah truk menepi di depan terminal kota kecil. Rizki turun dari belakang bak truk pasir berwarna kuning itu. Dia mengarah ke kaca sopir lalu melambaikan tangan kanannya sambil berteriak,
“Terima kasih banyak Pak.” Teriakan pemuda itu membangunkan kenek truk yang tidur di kursi sebelah sopir.
Pak Sopir truk itu pun menurunkan sedikit kaca pintu truknya. Pak sopir dan kenek mambalas lambaian tangan Rizki sambil berucap,
“Sama-sama Nak, lembo ade.” Lalu jendela ditutup dan truk itu melanjutkan perjalanan.
Rizki hanya tersenyum memandangi truk yang kembali melaju itu.


Ini adalah perjalanan petualangan Rizki. Dia berangkat dari rumahnya di pulau seberang sekitar dua minggu yang lalu. Melakukan perjalanan darat, dengan kereta api, bis, angkot, bahkan truk. Dia singgah di beberapa kota yang dia lewati. Menikmati kota-kota yang baru pertama kali dia lihat. Rizki adalah pemuda yang tak lulus sekolah tingkat SMA, dia tak punya ijazah. Umurnya kini 20an tahun. Di tempat asalnya dia bekerja serabutan. Dari kuli pabrik, kerja di catering, cleaning service di mall, menjadi pelayan di toko kue, berjualan pakaian pernah dia jalani. Dan sekarang pekerjaan terakhirnya adalah sebagai tukang parkir di pasar dekat rumahnya.Dia masih terus mencari apa sebenarnya perannya di bumi ini. Terus mencari jalannya, berharap menemukan takdir sejatinya. Dengan pendidikannya yang pas-pasan, sejak tak lulus sekolah dia mulai suka membaca buku. Dia sering mendatangi perpustakaan umum di kotanya untuk meminjam buku secara gratis. Dia paling suka buku-buku tentang perjalanan atau petualangan, entah fiksi atau pun non fiksi. Tapi dia juga tak segan membaca buku-buku bertema lain. Di tempat asalnya, ketika libur bekerja dia suka bepergian bersama temannya atau kadang sendirian. Naik gunung, camping di pantai, atau sekedar bermain-main ke kota tetangga, nongkrong di alun-alun kota menikmati malam. Membaur bersama masyarakatnya. Itulah kegemarannya. Dan perjalanan ini sudah lama dia impikan. Ini adalah kali pertama perjalanannya keluar pulau. Bahkan dia sempat muntah-muntah di dalam kapal very penyeberangan. Pengalaman pertamanya naik kapal membuatnya mabuk laut. Kini dia berada di sebuah pulau yang baru pertama kali dia pijak. Melihat pemandangan alam yang berbeda. Mendengarkan bahasa daerah yang berbeda pula.


Rizki naik delman menuju alun-alun kota bersama beberapa penumpang. Dia merasakan hatinya berisi bermacam rasa, senang, semangat, kesepian, sedih, semua bercampur. Melihat-lihat suasana kota dan mendengarkan percakapan ibu-ibu yang sepertinya pulang dari belanja.
“Ini alun-alun Nak, turun disini ?” pak kusir memberi tahu Rizki.
“oh, iya pak disini saja.” Jawab Rizki sambil mengambil ransel hijaunya.
“Permisi Bu.” Sapa Rizki melewati penumpang lain untuk turun.
“Silahkan Nak.” Jawab salah satu ibu dengan ramah.
 
Rizki memandang alun-alun yang tidak terlalu luas itu. Lapangan hijau kecokelatan di tengahnya di kelilingi pohon-pohon yang sedikit kering karena musim kemarau. Pedagang-pedagang menjajakan makanan atau pun minuman di tepi jalan dengan gerobak dagangan dan kursi-kursi plastik.
Siang menjelang sore itu alun-alun belum begitu ramai. Hanya terlihat beberapa pasangan remaja dan kelompok orang yang jajan atau pun sekedar duduk-duduk. Rizki berjalan-jalan memutari alun-alun yang tak besar itu. Matanya tertuju pada sebuah gedung perpustakaan kota. Kakinya dengan pasti dia langkahkan kesana.


Rizki masuk ke gedung itu. Seorang petugas berada di belakang meja kerjanya yang berada di sebelah pintu masuk. Bapak tua berkaca mata dengan rambut yang mulai memutih. Berbaju batik dengan corak yang baru pertama kali Rizki lihat. Gambarnya seperti rumah panggung dengan atap kubah. “Mungkin itu batik khas daerah ini” pikir Rizki. Bapak itu sedang membaca koran. Rizki mendatanginya dan menyapanya.
“Selamat siang Pak.”
“Siang.” Bapak itu menjawab, sambil meletakkan koran ke meja. Dipandanginya Rizki lekat-lekat. Orang di depannya itu terlihat asing baginya. Pemuda dengan wajah hitam kemerahan tersengat matahari, jenggot yang sedikit mulai tumbuh, rambut panjang sebahu. Dengan baju motif kotak-kotak warna cokelat, celana panjang jeans kusam yang memiliki tambalan di bagian lutut kanannya, memakai sepatu yang kelihatan kotor, sambil menggendong ransel hijau berdebu.
“Ada yang bisa saya bantu ?” tanya bapak itu ke Rizki dengan tatapan menyelidik.
“Saya ingin melihat buku-bku disini pak, boleh kah ?” tanya Rizki berusaha menyembunyikan rasa tidak enaknya karena dipandangi dengan tatapan seperti itu.
“Tentu saja boleh, tapi isi buku tamu dulu. Dan tasnya ditaruh saja di dekat pintu.” Kata bapak itu sambil menunjuk sebelah pintu.
“Iya Pak, terima kasih.” Rizki mengambil buku tamu dan mengisinya, lalu menyerahkannya kembali ke Bapak penjaga perpustakaan.
Bapak itu terlihat kaget membaca buku tamunya. “Kamu berasal dari...” bapak itu menyebut sebuah kota yang berada jauh di seberang pulau.
“Iya Pak.” Jawab Rizki sambil tersenyum.
“Sedang apa di kota ini ?” Bapak itu mulai ramah.
“Sedang bepergian saja pak. Main, saya ingin melihat-lihat kota lain.” Rizki menjelaskan sekenanya.
“Dasar anak muda, masih kuliah atau sudah bekerja?” Bapak itu ingin tau lebih banyak.
Pertanyaan itu selalu membuat Rizki minder. Dalam perjalanannya ini dia sudah sering mengalami penilaiain jelek dari orang yang dia temui setelah mereka tau kalau Rizki tidak tamat SMA dan hanya bekerja sebagai tukang parkir. Tapi dia sudah mulai terbiasa dengan hal itu dan tidak ingin terlalu memikirkannya.
“Saya tidak kuliah Pak, bahkan tidak lulus SMA, saya bekerja.” Jawab Rizki sedikit acuh.
Bapak itu pun diam. Tiba-tiba Rizki punya sebuah pertanyaan, dia pun langsung bertanya ke bapak itu karena dia yakin bapak itu pasti bisa menjawabnya.
“Oia pak, boleh saya bertanya ?”
“Tentu saja boleh. Mau nanya apa ?” jawabnya sambil membenarkan kacamatanya.
“Kata lembo ade itu artinya apa pak ? selama perjalanan kesini saya sering mendengar kata itu diucapkan oleh orang-orang, bahkan pernah ditujukan ke saya juga.” Rizki meletakkan tas ranselnya.
“oohh...” bapak itu tersenyum,”begini, kata lembo ade itu seperti istilah atau bisa disebut kata bijak di daerah sini. Kata itu memiliki banyak makna yang sangat penting dan berharga bagi masyarakat disini. Lembo itu artinya luas, lapang, besar, tinggi, atau pun sabar. Sedangkan ade itu berarti hati atau bisa juga wibawa. Jika kata itu digabung, masyarakat disini memaknainya bisa berarti sabar, atau untuk memberi semangat, bahkan bisa juga diartikan sebagai doa atau harapan. Kata itu memiliki makna yang sangat dalam, mungkin sudah sejak nenek moyang dulu. Makanya kata itu sering diucapkan oleh masyarakat disini, mungkin sebagai bentuk kearifan lokal.” Jelas bapak itu.
“ooohhh, begitu pak.” Rizki mengangguk, mencoba memahami penjelasan itu. Lalu pamit untuk melihat-lihat buku.


Ruang perpustakaan itu hanya satu lantai. Sepi, tidak ada pengunjung yang datang.  Rak-rak berjajar rapi terisi buku-buku yang berdebu, kelihatan jarang dibersihkan. Di pojok-pojok ruangan terlihat sedikit jaring laba-laba yang menggantung. Cat dinding perpustakaan itu juga sudah mulai kusam. Ada beberapa kursi dan meja kosong yang juga berdebu. Rizki berjalan diantara rak-rak itu melihat-lihat buku disitu. Dia mengambil sebuah buku, judul buku itu aneh baginya, The Alchemist. Sampulnya juga menarik, gambarnya beberapa ekor domba dan seorang bersorban memegang burung elang yang mengepakkan sayapnya. Rizki duduk di sebuah kursi, dia terus memandangi buku itu, lalu membukanya. Debu yang berada dibuku itu menyatu dengan udara di depan wajahnya. Rizki membuka halaman demi halamannya, mambacanya secara acak. Rizki hanyut dalam bacaannya.


Dua jam kemudian.
Bapak penjaga perpustakaan menghampiri Rizki, duduk di kursi seberang mejanya. Bapak itu membuka percakapan.
“Apa kau merasakan buku-buku disini merasa kesepian ?” Tanya bapak itu dengan wajah muram.
“Saya tidak mengerti Pak, memang kenapa buku-buku disini merasa kesepian ?” tanya Rizki ke Bapak itu.
“Disini jarang ada yang menyentuh mereka, apalagi yang membuka halaman-halamannya untuk membaca.” Bapak itu mulai menjelaskan.
“Oh,kenapa itu menjadi hal yang menyedihkan buat mereka ?” Rizki mulai menanggapi percakapan dengan serius.
“Aku tau kau suka membaca, tapi apa kau tidak tau kalau buku juga memiliki tugas di dunia ini?” Bapak itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Memang apa tugas buku-buku itu ?” Rizki penasaran.
“Buku juga memiliki dharma, setiap buku akan merasa dia melakukan dharmanya dengan baik jika dibaca oleh manusia. Dan semakin banyak tangan yang membuka halaman demi halamannya, buku itu akan lebih bahagia. Sudah hampir setahun tidak ada yang membaca buku yang kau pegang itu Nak.” Bapak itu terlihat sedih.
“Oh begitu, kini aku mengerti kesedihan buku-buku ini, dan mungkin juga menjadi kesedihan Bapak.” Rizki mulai memahami.
“Minat baca di daerah masih sangat kecil Nak. Orang-orang kota memberi buku kesini sekedar memberi, tidak disertai dengan aksi yang berkelanjutan untuk meningkatkan minat baca di daerah. Memang di sekolah-sekolah kini juga banyak perpustakaan-perpustakaan, tapi anak-anak lebih menyukai permaianan-permainan online di warnet. Hanya sedikit yang menyukai buku. Apa yang salah dengan negara kita ini Nak?” Nada suara Bapak itu seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Rizki hanya terdiam mendengarkan.
“Di kota-kota besar, bahkan sekarang sudah merambah ke daerah-daerah kecil, setiap kali diselenggarakan pesta demokrasi yang mereka sebut pemilu selalu banyak kampanye-kampanye yang menghabiskan biaya berjuta-juta bahkan bermilyar-milyar. Demi untuk meraih jabatan-jabatan yang mereka inginkan. Bukankah mereka para intelek yang berpendidikan tinggi, dimana jiwa-jiwa mulia mereka ? Hilang ditelan zaman ? Negara ini pun mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk melancarkan pemilu itu. Bukankah lebih baik jika dana-dana itu digunakan untuk kampanye-kampanye meningkatkan minat baca ? Terutama di daerah-daerah kecil seperti disini ? Tidakkah mereka berpikir, ribuan buku-buku di negara mereka merana kesepian ?” keluhan Bapak itu kian bertambah.
 
Rizki masih tetap terdiam, bingung, melamun membayangkan nasib beribu-ribu buku yang kesepian.

Lalu Bapak itu berdiri.
“Nak, perpustakaan mau tutup, sudah jam setengah empat.” Bapak penjaga perpustakaan mengingatkan Rizki. Lalu meninggalkannya ke meja kerja di dekat pintu perpustakaan.
Rizki kaget oleh panggilan itu, buku di tangannya jatuh ke lantai. Dan dia pun tersadar dari lamunannya. Rizki masih memikirkan keluhan Bapak itu. Dia ambil buku itu dari lantai lalu menaruhnya ke rak.

Rizki berjalan ke depan ruang perpustakaan itu. Mengambil tas ranselnya, lalu menemui bapak penjaga perpustakaan.
“Pak, saya pamit dulu.” Rizki mencoba tersenyum.
“Melanjutkan perjalanan kemana Nak ?” tanya bapak itu sambil mengemasi tas kerjanya.
“Ingin ke desa Pancasila Pak.” Jawab Rizki sambil mengulurkan tangan.
“Lembo ade Nak.” Bapak itu menjabat tangan Rizki dengan senyuman ramah.
"Lembo ade Pak." Rizki membalas senyuman itu, lalu keluar perpustakaan. Melangkahkan kaki melanjutkan perjalanannya.

(SB-09/12/14)