28 Maret 2015

Balada Kampung Halaman



Lelaki muda di bawah hujan tengah malam
Selepas kerja, badan penuh peluh
Bercampur air hujan,
Mata merah menahan perih
Jiwanya ingin berontak dari rutinitas
Tapi dia masih tak berdaya untuk keluar menantang garis takdirnya
Mungkin saat ini memang takdirnya menjadi robot bernyawa 
Buruh pabrik, pekerja siang malam
Menjadi kaum yang terabaikan

Kampungnya kini telah berubah
Sawah-sawah hijau menjadi lahan industri
Entah benar atau salah yang dilakukan
Kakek nenek atau para orang tua
Menjual sawah tanah warisan
Pada penguasa pabrik-pabrik
Kini, pemuda-pemudi tak tau lagi cara bertani
Salah siapa semua ini?
Ibu-ibu muda menjadi buruh seperti dia
Meninggalkan bayi-bayi di rumahnya
Sementara suaminya pun juga bekerja
Siang dan malam mereka mencari uang
Mungkin bayinya rindu pelukan orang tuanya
Air susu ibunya digantikan susu-susu pabrikan
Entah ini sebuah kemajuan atau kemunduran zaman
Entah salah atau benar semua ini ?

Lelaki muda sampai di rumahnya
Basah kuyub menggigil tubuhnya
Sepi kampungnya
Keluarganya pun sudah terlelap
Hanya suara air hujan yang merintik
Dan suara generator pabrik yang tak pernah mati

Sementara,suara-suara di kepalanya membuat gelisah
Dia merasa sendiri
jiwanya kembali ingin berontak
Apa yang bisa dia lakukan untuk kampungnya
Dia hanya seorang buruh
Yang tak memiliki apa-apa
Hanya,dia merasa jiwanya berbeda
Di jiwanya masih ada semangat
Untuk sedikit membuat perubahan

Entah ini suatu kemajuan atau kemunduran zaman

00.05
25/03/2015

24 Maret 2015

Kamar dan Buku



sepi...
ketika gelap merajai langit
ketika pintu-pintu rumah terkunci
hanya ada lampu-lampu jalan yang sepi
lelaki pulang seorang diri

sunyi...
saat tak ada seorang pun kawan
saat yang terdengar hanya suara serangga malam
dan suara ribut tikus-tikus yang berlarian di ruang gelap
lelaki merasa sunyi

kamar gelap...
tempat dimana lelaki itu menyendiri
diselimuti pikiran-pikiran yang tak pasti
entah bagaimana hidupnya nanti


perempuan-perempuan pergi
tanpa alasan pasti, lelaki itu dilukai

tak ada kawan
hanya tumpukan buku-buku yang menemani
kepada buku dia berbagi
kepada buku dia bercerita
tentang dirinya
tentang hidupnya

kamar gelap...
hanya cahaya lentera
menerangi lembar demi lembar yang dia baca
berharap bisa melupakan masalah-masalahnya
berharap menemukan pencerahan
berharap tak ada lagi kegundahan

hanya lembar demi lembar buku-buku
yang menemani lelaki itu
di sepinya kamar
di sunyinya kamar


00:52
24/03/2015
SB




3 Maret 2015

Copy Paste Catatan Seorang Teman

Aku teringat,
pernah ada seorang teman karib berkata padaku, “mbak, tapi kakakku gak sekolah (kuliah) lho.. dia Cuma mondok. Apa mbak Weni mau kenal ma dia?”.
Minder berkenalan (mengenalkan) karena “gak sekolah” ???!!!
Hahahaha… ada ada aja. Sepertinya ada yang masih kurang “pas” dalam cara berfikir (pandang) masyarakat kita yang mempengaruhi “kepercayaan diri” seseorang.

Apa si artinya DERAJAT sekolah? Gak sekolah, sekolah tapi gak lulus, lulusan  TK, SD, SMP, SMP, SMA, S1, S2,S3…. Begitu pentingkah tingkatan-tingkatan itu dipertanyakan dalam suatu hubungan pertemanan (atau hubungan personal apa pun)? Heuleh..heuleh.. kayak mau “ngelamar” kerja aja.
Mari kita telusuri lebih dalam.
Memang sekolah itu penting bagi orang-orang yang mau berpikir untuk mengembangkan dan menyalurkan pemikiran-pemikirannya.
Berpikir itu suatu keharusan.
Tapi untuk menjadi orang-orang yang berpikir gak harus di sekolah juga (lebih tepatnya: gak harus berkriteria memenuhi jenjang tertentu dengan bukti selembar ijazah).
Sekolah itu cuma salah satu cara. Orang yang kuliah pun belum tentu dia termasuk orang-orang yang berpikir.
Tinggal diri kita masing-masing memaknai sekolah itu sebagai apa, mau mengembangkan dan menyalurkan pemikiran-pemikiran kita melalui apa, sekolah kah? nyantri kah? atau langsung terjun ke masyarakat untuk belajar kehidupan (tanpa antara) ?
Dalam sudut pandangku, yang mengutamakan DERAJAT seseorang (lebih tepatnya KUALITAS diri) hanya dari ijazah (semata), mereka itulah manusia-manusia yang kurang berpikir (hehe.. maaf, pikiran kritis mulai kambuh).
Itu Cuma ideologi kelas “ebi” eh kelas “teri” yang ditanamkan (entah siapa yang menanam) melalui pemahaman yang salah mengenai pembeda tingkatan status sekolah (pada akhirnya tingkat status sosial).

Bagiku, esensi lebih penting dari sekedar cashing ;-) tidak memungkiri, cashing turut mendukung tapi bukan suatu “keutamaan”.
Cara berpikir dan pemikiran-pemikirannya, proses pendewasaan yang dilalui, kemauan untuk terus belajar memperbaiki diri (perbaikan dalam hal esensi hati dan pikir), kemauan untuk terus menggali dan mengusung makna dan manfaat kehidupan ini, bagiku itu semua yang lebih penting.. itulah sebuah esensi dari suatu “eksistensi kedirian” yang membedakan "kualitas diri" seseorang.
Sekali lagi, tingkatan sekolah hanya salah satu alat untuk mempermudah/membantu dalam pencapaian jenjang "keilmuan" sebagai sebuah proses yang bertahap.

Terakhir, aku tidak melirik tingkatan sekolah, tingkatan intelegensia, tingkatan kecantikan, tingkatan ketampanan, tingkatan kebaikan/keburukan sebagai sebuah "patokan" dalam memilih teman karena aku inigin memperbaiki diri dengan berteman dengan bermacam-macam orang agar ku semakin paham sekat-sekat "perbedaan" yang membelenggu kemuliaan sifat seseorang. semua yang ada di sekelilingku adalah "guru" bagiku (aku tidak berkata "pembimbing").

                                                                                                             --Untuk Para Pencari Kualitas Diri--
                                                                                                                         "suara" 25 May 2011