29 September 2015

Nama

Barusan ngopi sama teman sambil ngobrol-ngobrol. Ada sebuah obrolan yang menarik bagiku.
Dia bercerita tentang kakaknya yang baru saja melahirkan. Ketika aku tanya nama keponakannya yang baru lahir itu, dia lupa namanya karena namanya lumayan panjang, lalu dia mlah bertanya padaku.

 - "Kang, kenapa orang zaman dulu memberi nama anak-anaknya pendek misal kaya aku cuma Purwanto gitu ? Beda sama orang-orang zaman sekarang, memberi nama anak-anaknya panjang-panjang."
Aku terdiam, ngopi dulu sambil mikir. Hal itu memang benar, orang zaman dulu memberi nama anaknya pendek-pendek, orang zaman sekarang panjang. Aku yakin semua memberi nama anaknya dengan arti yang baik. Tak mungkin orang tua memberi nama anaknya dengan arti yang jelek. Akhirnya aku punya sebuah jawaban.

+ "Memang sekarang banyak hal semacam itu, kalau kita mau memikirkan hal itu lebih jauh,mungkin itu sebuah cerminan kehidupan zaman dulu dengan zaman sekarang, orang zaman dulu memberi nama anaknya pendek, itu cerminan kehidupan mereka yang sederhana. Orang zaman sekarang memberi nama anaknya panjang, itu mungkin cerminan kehidupan orang zaman sekarang yang suka berlebihan. Tapi mau nama panjang atau pendek, yang penting arti dan maksudnya bagus. Toh nanti kita akan memanggil anak kita paling dengan satu kata/nama juga kan. Jadi menurutku lebih baik memberi nama anak kita tidak usah panjang-panjang. Pikir lebih jauh lah, itu akan merepotkan anak kita sendiri kelak, mungkin."

Ya, itu hanya sebuah pendapat menurut pemikiran sederhanaku. Kita semua bebas memilih mau memberi nama anak dengan pendek atau panjang. Yang penting adalah bagaimana kita mendidik anak kita kelak.

Lanjut ngopi....

22 September 2015

Kaum Buruh



 Kehidupanku tak bisa lepas dari profesi buruh. Suka atau tidak, inilah hidup yang harus aku lewati. Tulisan ini aku dedikasikan untuk semua kawan-kawan kaum buruh yang pernah aku kenal dalam hidupku dan juga yang tidak pernah aku kenal.
Semangat baik....

Kaum Buruh

Hei kaum buruh...
Pagi kau kepalkan tekad
Untuk memutar roda hidup


Hei kaum buruh…
Terkadang siang kau jadikan malam
Untuk tetap membanting tulang


Hei kaum buruh…
Kau pekerja keras
Dalam kehidupan yang semakin memanas


Hei kaum buruh…
Kau disanjung
Sebagai penyangga ekonomi negeri
Tapi kesejahteraanmu terlupakan
Dilupakan…


Hei kaum buruh…
Teruslah bekerja untuk kehidupan
Tak usah pedulikan janji-janji
Tak usah harapkan pemerintah negeri ini


14/09/2015
 
"Semangat kerja adalah daya hidup. Dan jika orang tidak suka bekerja, sebenarnya dia sedang berjabatan tangan dengan maut." (Pramoedya Ananta Toer)

15 September 2015

Suara Angin



Matahari mulai condong ke barat. Tapi teriknya masih terasa menyengat. Para pekerja mulai berantrian keluar dari gerbang pabriknya. Terlihat wajah-wajah lelah setelah berpeluh keringat. Tapi dibalik wajah-wajah lelah itu terselip keceriaan. Rasa ceria atas sebuah kerinduan pada rumah. Merindukan anak, istri, atau suami. Setiap hari rutinitas itu berjalan. Setiap hari lelah demi lelah dilalui. Setiap hari kerinduan demi kerinduan ditambal sulam. Kaum pekerja yang selalu berusaha bersemangat menjalani kehidupannya. Walau tak bisa dipungkiri hari-harinya dibalut dengan keluhan-keluhan, entah tentang permasalahan hidup yang mana. Sudah menjadi kodrat manusia tak bisa lepas dari mengeluh. Tapi mereka juga selalu berusaha tak lepas dari rasa syukur.

Motor-motor mulai dinyalakan. Suara bisingnya masuk ke semua telinga. Debu-debu dari lantai parkiran pun terangkat menyatu dengan udara. Terhirup masuk oleh hidung sampai ke paru-paru. Masker digunakan untuk sedikit mengurangi polusi udara yang terhirup. Hanya ada satu sepeda yang bersandar di tembok parkiran. Ya, itu sepedaku. Hanya aku sendiri yang bersepeda di pabrik ini. Semua memilih menggunakan sepeda motor. Aku tak peduli orang berpikir apa tentangku. Sepeda bukan hanya sekedar hobi atau gaya hidup bagiku. Aku berusaha menjadikan sepeda sebagai bagian dari hidupku. Jalan hidup.

Aku mulai mengayuh sepedaku. Keluar gerbang pabrik, naik ke aspal jalanan, diantara sepeda motor yang saling berebut untuk duluan. Kendaraan lain seperti bus, truk, mobil pribadi juga ikut dalam kompetisi jalan raya ini. Semua seolah ingin saling mendahului. Seolah-olah mereka berlari mengejar waktu. Melihat kendaraan-kendaraan di jalan raya dari atas sepeda, aku berpikir “manusia ingin menjalani waktu  secepatnya dan terburu-buru”. Kadang ketika bekerja aku juga merasa ingin waktu kerja segera selesai. Itu pun bagian dari pikiran manusia yang ingin menjalani waktu secepatnya. Menginginkan waktu segera berlalu. Bukankah dengan berpikir seperti itu berarti aku sama saja menginginkan segera mendekat pada waktu kematian ? Karena semakin cepat waktu berlalu, semakin cepat kehidupan dijalani, berarti kita semakin dekat pada kematian. Apa yang sudah aku siapkan untuk menyambut kematian ? Ah, bekalku masih sangat kurang. Baiklah, aku harus mulai belajar menjalani waktu dengan sebaik-baiknya. Sekarang tak perlu lagi menginginkan waktu segera cepat berlalu. Tak perlu terburu-buru seolah-olah kita bisa mengejar waktu.

Aku kayuh pedal sepedaku pelan-pelan. Melewati jalan aspal yang bergelombang. Melewati padatnya jalan di depan pabrik rokok yang seperti pasar tumpah. Penjual-penjual sayuran dan kebutuhan pokok lainnya berjualan tepat di tepi jalan. Aku berhenti sejenak memberi kesempatan pada ibu-ibu pekerja pabrik rokok untuk menyebrang. Colt elf dan bus yang mangkal membuat jalanan macet. Mereka menunggu rezeki yang datang dengan perantara para pekerja pabrik yang akan menggunakan jasanya. Semua dalam hidup ini memang saling berkaitan. Seperti ada benang merah tak kasat mata yang mengaitkan kehidupan satu sama lain. Setelah sekitar lima belas menit bersepada, aku sampai di rumah.

Setiap hari sepulang kerja. Setiap sore selepas menjalankan ritual ketaatan. Kegiatanku adalah bersih-bersih rumah orang tuaku. Menyapu luar dan dalam. Sekarang musim kemarau masih berjalan. Hampir setiap siang sampai sore angin berhembus menerbangkan debu-debu dan daun-daun kering. Setiap hari aku harus berhadapan dengan angin saat menyapu halaman rumah. Kadang amarahku muncul ketika harus menyapu melawan arah angin. Atau ketika menyapu tiba-tiba angin berhembus, kembali membuat halaman berantakan.
 
Sore ini saat aku harus kembali menghadapi hal itu, aku mencoba menggunakan kegilaanku untuk berbicara dengan angin. Karena kadang kita perlu kegilaan untuk menemukan sebuah kewarasan.
“Hei angin, kenapa kau selalu datang menggangu pekerjaanku ?” tanyaku sambil berkacak pinggang dan sapu teracung ke atas.
Tenang. Tenang beberapa saat. Lalu terasa angin berhembus. Dan terdengar sebuah suara.
“Kau merasa terganggu dengan kehadiranku ?” angin bersuara menjawab pertanyaanku.
Aku kaget, ternganga. Sapuku akhirnya terjatuh. Aku diam. Diam. Aku mengumpulkan keberanian untuk menjawab.
“Iya, kau selalu menggangguku setiap hari.” aku menjawab dengan ucapan yang sedikit gugup.
Angin kembali berhembus. Daun-daun yang kusapu kembali berserakan.
“Aku selalu hadir bukan bermaksud mengganggumu, tapi aku bermaksud memberimu pelajaran. Kenapa kau tidak mengerti ? Apa rasa irimu terhadapku membuatmu luput memahami kehadiranku ?” hardik angin padaku.
Aku tertegun mendapat pertanyaan yang menohok itu. Aku akui selama ini aku iri pada angin. Ternyata angin tahu hal itu.
“Ya, aku memang iri padamu. Kau bebas terbang kemanapun, ke segala penjuru arah sesukamu.” aku tertunduk mengakui hal itu.
“Aku memang diberi kebebasan oleh Maha Pencipta untuk terbang kemanapun aku suka. Aku juga diberi kesempatan untuk memberi kesegaran kepada manusisa di saat mereka kegerahan. Bahkan aku diberi kepercayaan untuk berperan dalam terciptanya hujan. Dan aku terkadang juga diberi amanat untuk menyampaikan teguranNYA. Aku berperan dalam terciptanya musibah. Tak perlu kau iri padaku atas semua hal itu. Kita mempunyai peran masing-masing di dalam kehidupan.” Angin mulai berbicara panjang lebar. Semilir hembusannya yang lembut kini terasa menyejukkan. Aku merasa tidak terganggu lagi oleh kehadirannya. Pikiranku bertanya-tanya, ”Lalu apa peranku dalam kehidupan ini ?”. Aku ingin menanyakannya kepada angin, tapi kuurungkan niat itu. Akan aku cari sendiri jawabannya.
“Lalu apa yang bisa aku pelajari darimu wahai angin ?” tanyaku penasaran.
Angin kembali berhembus lembut.
“Kau ingat setiap kali menyapu melawan arah angin ? Debu-debu dan daun kering yang susah payah kau sapu akan kembali berantakan ke belakang. Tapi meskipun demikian kau tetap menyapu, pelan-pelan sampai selesai dan halaman rumahmu bersih. Dari situ sebenarnya kau sedang belajar tentang kesabaran dan tekad.”
Suasana tenang, hening tak ada angin. Aku mengangguk pelan. Aku baru menyadari hal itu. “Hal sepele seperti itu ternyata menyimpan pelajaran berharga tentang kesabaran dan tekad.” pikirku.
Lalu kembali terasa angin berhembus dari belakangku. Kembali terdengar sebuah suara.
“Setiap kau selesai menyapu, rumah dan halamanmu sudah bersih. Sesaat kemudian aku akan datang berhembus dan mengotorinya lagi dengan debu-debu dan kotoran yang aku terbangkan. Ambillah hikmah dari hal itu. Dalam hidup, sebagai manusia kau tidak bisa luput dari berbuat salah dan dosa. Kau akan berusaha untuk memperbaikinya, tapi suatu kali kau akan kembali melakukan sebuah kesalahan atau dosa lagi. Itu sudah kodratmu sebagai manusia. Kau jangan lantas berhenti menyapu halaman rumahmu setiap hari. Dan membiarkan debu-debu, daun-daun kering, dan kotoran lainnya menumpuk. Begitupun dengan hidupmu, kau jangan pernah berhenti memperbaiki diri, walau pun kesalahan dan dosa akan kembali kau perbuat. Yang paling penting adalah terus memperbaiki diri. Jangan biarkan kesalahan dan dosa menumpuk di dirimu. Jika kau kembali kotor, bersihkan lagi. Perbaiki diri lagi dan lagi. Seperti itu terus sampai kau tiba pada waktu kematianmu.” suara itu perlahan menjauh. Angin berhembus kencang, debu-debu terangkat. Lalu hembusannya hilang terbang ke langit.

Langit mulai terlihat jingga. Cahaya matahari terbenam yang tertutup awan memancarkan keindahan. Aku hanya duduk termangu, termenung oleh kegilaanku sore ini.

Senja,15/09/2015

10 September 2015

Pelajaran Di Tengah Malam



Berawal dari ketidakmampuanku menahan diri. Aku menanyakan suatu hal yang dianggap sepele ke seorang teman di tengah malam melalui sms. Dan jawaban yang aku dapat seolah menusuk ke sendi-sendi tulangku sampai terasa ngilu. “Hah, tengah malam bangunin orang tidur hanya untuk membahas hal sesepele ini ! Tolong, aku sekarang sudah kerja, kalau malam itu waktunya istirahat tidur. Jangan sms2 lagi tengah malam, kecuali urusan nyawa. Suara dering smsmu sangat mengganggu…..”
Ya, memang apa yang aku tanyakan hanya hal sepele. Aku sadar itu adalah 100% kesalahanku sampai temanku marah dengan nada yang sedikit membentak. Aku hanya bisa berkata meminta maaf, maaf, dan maaf.

Dari hal itu aku belajar mengenal diriku sendiri. Aku menyadari bahwa ternyata aku belum bisa bersabar. Kenapa tidak menunggu sampai pagi untuk bertanya atau mengirim sms ke seseorang. Tengah malam saatnya orang beristirahat aku memaksa bertanya dengan mengrim sms. Saat itu yang aku rasa hanya ketidaksabaran untuk segera tahu jawaban dari hal yang aku pertanyakan.  Ketidaksabaran menyebabkan ketidaktenangan. Dan ketidaktenangan menimbulkan kegelisahan. Sedangkan kegelisahan adalah pengejawantahan dari ketidakbahagiaan. Dari situ aku menyimpulkan, ternyata aku belum bisa menciptakan kebahagiaan di dalam diri.
“Dini hari, saat keheningan di luar menyatu dengan gemuruh di kepala.” Kata Eko Wustuk di buku Dua Senja Pohon Tua. Di saat dini hari memang kegelisahan-kegelisahan sering muncul di pikiranku.

Kejadian kemarin malam memberikanku pelajaran berharga. Seperti ungkapan “Setiap tempat adalah sekolah dan setiap orang adalah guru.”  Malam kemarin temanku menjadi guruku dalam belajar mengenali diri. Belajar mengerti bagaimana seharusnya aku menahan dan mengendalikan diri. Belajar bersabar. Aku masih harus terus belajar.
Dan dari diri temanku aku juga menemukan sebuah pelajaran. Dari caranya menanggapi smsku, nada kemarahan yang terbaca. Bahkan ada satu sms yang ditulis dengan huruf kapital semua. Itu menandakan emosi yang sedang meninggi. Padahal dia baru terbangun dari tidurnya karena suara dering pesan yang masuk di HPnya. Mungkin karena aku membangunkannya di tengah malam dan pertanyaanku yang dia anggap sepele itu membuat api amarah langsung tercipta di dalam dirinya. Mungkin juga ditambah dia dalam kondisi lelah karena seharian bekerja dan dia membutuhkan waktu istirahat.

Ketika menerima kemarahan dari temanku itu, aku langsung teringat dengan seorang kawan lama. Namanya Pak Agung, dia tinggal di Jogja. Dia banyak menjalani hidupnya di jalanan. Menggeluti kehidupan malam sebagai tukang parkir di sebuah warnet 24 jam. Tapi kini kabarnya dia menjadi petugas keamanan di sebuah hotel mewah di dekat Tugu Jogja. Tapi walaupun sering menjalani hidupnya di jalan, itu malah membentuk karakternya yang selalu tenang dan selalu ramah pada semua orang. Bagiku itu membenarkan ungkapan “Setiap tempat adalah sekolah dan setiap orang adalah guru.” Pak Agung pasti banyak belajar dari orang-orang dalam kehidupannya di jalanan. Aku pun banyak belajar darinya. Sewaktu aku mengais rezeki di Jogja, aku sering bertemu dan bercengkerama dengannya. AKu melihat sendiri bagaimana tindak tanduknya, sopan santunnya, dan ketenangannya dalam menghadapi segala macam keadaan. Pernah aku melihatnya dimarahi oleh seorang pemilik motor yang diparkirkannya, tetapi dia tetap meladeni kemarahan orang itu dengan tenang bahkan sopan menjawab orang itu dengan bahasa Jawa halus. Aku belajar darinya bahwa “Mudah marah dan emosi itu adalah akibat dari kurangnya pengendalian diri. Dan juga ketidaktenangan dalam diri. Ketidaktenangan itu juga sebuah manifestasi dari ketidakbahagiaan.”  katanya. Aku berpikir, mungkin temanku juga belum mampu menciptakan kebahagiaan di dalam dirinya. 

Seperti kata orang bijak bahwa kebahagiaan itu tidak bisa dicari, tapi bisa diciptakan. Entahlah, mungkin kami memang masih harus terus belajar untuk bisa menciptakan kebahagiaan di dalam diri masing-masing. Karena orang yang bahagia pastilah juga adalah orang yang tenang dan mampu mengendalikan diri. Pak Agung yang murah senyum, yang selalu terlihat bahagia. Dia juga adalah salah satu guruku dalam memperoleh ilmu kehidupan. Walaupun aku belum mampu menjalankan ilmu yang aku dapat darinya itu.

Dini hari, 10/09/2015
bersama Pak Agung

8 September 2015

My Life My Adventure (wae lah)



Hal yang sedang ngetrend sekarang adalah traveling dan backpacking. Pergi ke tempat-tempat wisata yang indah. Berfoto narsis sambil memperlihatkan tulisan “Indonesia itu indah” dan bermacam-macam lagi tulisan lainnya. Di zaman sekarang memang segala kemudahan sudah mendukung untuk berpergian. Segala macam informasi mudah di dapat. Koneksi pertemanan juga sangat mudah diperoleh, terutama dari media sosial. Sehingga memudahkan orang-orang yang ingin melakukan perjalanan traveling atau pun backpacking. Sampai muncullah kata-kata “My Trip My Adventure”. Awalnya dimulai dari sebuah acara travelling yang populer di telivisi. Dan kini banyak orang yang meniru acara televisi itu. Setiap kali berpergian selalu menyebut “My Trip My Adventure”. Televisi adalah salah satu media yang sangat mudah untuk menyebarkan trend. Bahkan sekarang menjamur ke masalah mode, dari kaos, topi, sampai bermacam-macam barang bertuliskan “My Trip My Adventure”. Apakah itu sebuah gegar budaya ? Entahlah.

Sebelum hal itu, dulu pernah muncul sebuah iklan rokok di telivisi dengan kata “My Life My Adventure”. Hal itu juga sempat menjadi trend untuk kalangan petualang.
Memang semua itu bukan sebuah masalah. Kita bebas mengikuti trend atau mode apa saja. Kita bebas melakukan hal apa saja asal bertanggung jawab dengan apa yang kita lakukan dan tidak merugikan orang lain. Yang aku lihat sekarang, masalahnya adalah timbul saling mengolok antara orang-orang yang dianggap kekinian dan orang-orang yang merasa senior dalam dunia traveling, backpacking, atau pun petualangan lainnya. Kenapa kita harus saling mengolok-olok ? Aku yakin pasti semua merasa dan ingin dianggap benar. Bukankah lebih baik kita semua instrospeksi diri masing-masing saja ?

Aku pribadi kalau harus memilih dua kata itu,aku akan memilih “My Life My Adventure”. Bukan karena  alasan macam-macam, tapi karena memang hidup ini adalah sebuah petualangan. Dimulai sejak kita membuka mata ketika bangun tidur. Membuka pintu kamar, belum pasti hal apa yang akan kita dapati. Bisa saja kita dengar kabar, “Kakak baru saja melahirkan, kita punya ponakan lagi!”. Atau mungkin malah ada kabar, “Kerabat kita meninggal.” Kita tak kan pernah tahu, hidup penuh ketidakpastian.
Mandi merasakan kesegaran air dari dalam bumi, bukankah itu hal yang sangat menyenangkan ? Berangkat atau pulang kerja, entah dengan sepeda, motor, mobil, bis, atau pun kereta. Kita tak akan pernah tahu apa yang akan kita alami atau temui dalam perjalanan. Menghadapi suka duka dan masalah-masalah pekerjaan. Berpanas-panas di jalanan untuk makan siang atau berhujan-hujan tatkala pulang ke rumah. Menyelesaikan problem-problem dalam keluarga. Membaur dalam kehidupan masyarakat, belajar hidup bersosial. Bukankah semua itu sebuah petualangan hidup yang sesungguhnya ?

Untuk yang lebih suka “My Trip My Adventure”, ya itu bebas-bebas saja. Dengan segala pendapat dan argumennya masing-masing. Kita bebas memilih jalan. Kita bebas mempunyai pemikiran. Asal kita bisa tetap menjaga kelestarian bumi tempat tinggal kita ini. Tak perlu kita saling mengolok-olok. Kita bisa saling mengingatkan dengan cara yang lebih santun.

Selamat berpetualang dalam hidup masing-masing !



6 September 2015

Mengayuh




Kita…
Kawan…
Bukan siapa-siapa
Kita hanya manusia yang diberi anugerah kaki yang sehat


Kita…
Kawan…
Tak mempunyai apa-apa
Kita hanya punya sepeda sederhana


Kita…
Kawan…
Tak mampu berbuat apa-apa untuk dunia
Kita hanya mampu mengayuh untuk sedikit mengurangi polusi udara


Mengayuh ke tempat kerja
Mengayuh ke angkringan
Mengayuh ke tempat ibadah
Mengayuh untuk desa
Mengayuh untuk udara
Mengayuh untuk jiwa
Mengayuh untuk raga


Walau kadang dorongan angin melambatkan kayuhanmu
Gelap malam membatasi jarak pandangmu
Jalan menanjak memaksamu menuntun sepedamu
Turunan tajam kadang malah menakutkanmu
Terik mentari tak segan membakar kulitmu
Klakson truk dan bis bagai anjing yang menyalak mengagetkanmu


Walau peluh membasahi seluruh tubuhmu
Teruslah mengayuh kawan
Karena setiap kayuhanmu adalah kata-kata yang meronta
“Tolong selamatkan udara”


Mungkin semua itu tak berarti untuk semesta
Tapi kita tahu semua itu tentang  jiwa
Tak perlu berusaha menjadi berguna
Terus mengayuh saja untuk bahagia



Senja, 06/09/2015

Foto-foto : Mengayuh ke Curug Gedangsari-Gunung Kidul





Terima kasih Maha Pencipta atas kaki sehat yang Engkau cipta.