27 Oktober 2015

Malam Pasar



Hening malam menjadi awal
Saat mimpi seharusnya merajai
Saat tubuh seharusnya direbahkan
Sebagian manusia memulai kehidupan

Jalan sunyi  remang cahaya
Di bawah naungan gelap langit
Di antara kantuk tak tertahan
Sebagian manusia memutar roda ekonomi

Sepeda ku kayuh pelan
Bau busuk sampah di pojokan
Tingkah polah tikus berlarian
Aroma jajanan pasar mulai diolah

Kios berdinding seng
Menghidupi sepasang manusia
Mata kuyu bibir mengulas senyum
Melayani manusia-manusia malam yang lapar

Daun jati bersandar di punggung
Seorang renta berjalan perlahan
Dari desa kecil meniti malam
Telanjang kaki menapaki aspal

Sayur-sayur hijau di atas bangku
Buah-buah segar di dalam kotak kayu
Seorang ibu bersandar meja
Keriput wajah pertanda tua

Sepi malam baginya awal
Melawan kantuk merambati mata
Menjalani hidup di tengah pasar
Menyambung hidup di tengah kelelahan

Di dalam malam ada kehidupan
Di dalam pasar mempertahankan kehidupan

SB
27/10/2015

25 Oktober 2015

Sajak Kemarahan Alam





Kau pilih binasa
Daripada terus teraniaya
Membara apimu
Merenggut nyawa

Telan kesombongan manusia
Yang menapakimu seolah kuasa
Kau bakar kotor dirimu
Yang teracuni rakus manusia

Semburkan kemarahanmu
Hanguskan keangkuhan mereka
Beri tanda kalau kau bernyawa
Alam raya ingin terjaga

Daun-daun mengorbankan diri
Ranting-ranting rela mati
Batang-batang sudi menghitam
Batu-batu cadas memanas

Binasalah…
Telanlah…
Semburlah…
Lalaplah…
Terjanglah…
 
Tunjukkan pada semesta
Manusia tak punya kuasa
Atas alam raya

Malam,25/10/2015

17 Oktober 2015

Tanah




Terinjak tak pernah berontak
Terkeruk tak sudi mengeluh
Tersakiti tak juga mati
Terkotori tetap memberi
Teracuni masih berharga tinggi

Aku basah dinikmati
Aku kering di caci maki
Aku subur terus menghidupi
Aku tandus ditinggal tanpa balas budi

Mereka berdiri menginjakku
Mencakarku dengan beton-beton
Tak peduli aku merindu akar
Mereka lupa kuingin minum air hujan

Jangan salahkanku jika aku mengeluh
Jangan salahkanku jika aku berontak
Jangan salahkanku jika aku menguburmu
Aku pun perlu bertahan hidup
Aku pun perlu bertahan hidup
Aku pun perlu bertahan hidup

SB
Malam,06/10/2015

16 Oktober 2015

Lirik Lagu Telan Cakrawalanya-FSTVLST

                                                               Telan Cakrawalanya



Berjalan berputar-putar di kota yang ku tak tahu apa sebutannya
Tiada aroma selain panik ancam khawatir dan tergesa-gesa
Raung sirine meraung, debu dan asap bergulung
Tak terhitung sampah menggunung menelan cakrawalanya

Pepohonan kehilangan teduhnya, pun teduh kehilangan ramahnya
Ramah tamah terbaca agenda di baliknya
Raung sirine meraung, debu dan asap bergulung
Tak terhitung sampah menggunung menelan cakrawalanya

Wangi nafas hujan menghilang terlupakan
Riangnya nyanyi angin tertelan deru mesinnya manusia yang menggila putarnya
Gerus rakusnya manusia tak berujung nafsunya

Sumpal sungainya
Pangkas gunung-gunungnya
Bedil satwanya
Beton sawah-sawahnya
Keruk tanahnya
Babat pohon-pohonnya
Sampahi langitnya
Asapi udaranya

FSTVLST

Sumpah, keren sangat lirik lagunya itu. Berharap bisa membuat sajak sekeren itu. Salut untuk Mas Farid dan FSTVLST.

15 Oktober 2015

Peta Hidup



Kadang aku berpikir ada manusia yang terlahir dan peta hidupnya sudah disiapkan atau diarahkan. Mungkin oleh Tuhan secara langsung, atau mungkin juga oleh keluarga/lingkungan hidup mereka. Manusia-manusia seperti itu menjalani hidup mereka dengan arahan-arahan yang perlahan-lahan membentuk garis peta hidupnya. Ada yang diarahkan memang sesuai dengan passion dan impiannya. Ada juga yang diarahkan sesuai keinginan si pengarah. Hidup mereka teratur. Mungkin mereka juga memiliki pertarungan-pertarungan yang melelahkan. Tapi keputusan-keputusan mereka biasanya dipengaruhi oleh para pengarah peta hidupnya. Keberanian mereka untuk mengambil keputusan perlahan-lahan luntur. Tapi mereka mempunyai sebuah pembenaran bahwa hidup yang mereka jalani adalah hidup yang benar. Adalah peta hidup yang sesuai dengan mereka.

Ada juga manusia yang terlahir buta akan peta hidupnya. Mereka harus membuat sendiri peta                hidup mereka. Mereka mencari-cari, berjatuh-jatuh, bahkan sampai berluka-luka untuk membuat garis-garis hidup. Garis yang akan terus bertautan menjadi peta hidup. Manusia-manusia seperti itu merasa dirinya tercebur ke dalam arus kehidupan yang seperti labirin. Berputar-putar, berbelok-belok, bercabang-cabang jalan yang harus mereka lalui. Ada yang dengan waktu singkat bisa menemukan arah yang tepat. Arah yang menjadi panduan dalam melanjutkan pembuatan peta hidup. Mereka adalah orang-orang yang menyadari passion hidupnya sedini mungkin. Tidak cukup hanya dengan menyadarinya saja. Mereka orang-orang yang berani menantang diri mereka sendiri untuk menjalani hidup sesuai passionnya. Walaupun Tuhan sudah menggariskan hidup manusia. Ada hal-hal yang masih bisa dirubah oleh jiwa-jiwa pemberani seperti mereka. Dan pastinya atas ijinNYA juga semua bisa dirubah. Tetapi ada juga sebagian manusia yang membutuhkan waktu lama. Bahkan mungkin seumur hidupnya akan menjadi pencarian yang sangat melelahkan. Ada yang akan terus bergelut dengan pencarian itu. Ada juga yang akan menyerah atau mengalah, untuk sebuah pembenaran. Mereka akan menerima hidup yang ada dengan berpikir “Ya inilah hidup yang diberikan Tuhan untukku, maka aku mensyukurinya.” Rasa syukur memang beda tipis dengan pasrah. Sebagian dari orang-orang ini mungkin sudah ada yang mengetahui dan menyadari passionnya. Tapi mereka hanya sekedar mengetahui dan menyadari, yang kurang dari mereka adalah keberanian. Mungkin rasa nyaman oleh hidup yang dijalani perlahan-lahan melunturkan keberanian mereka. Mereka tak berani menceburkan diri dalam sebuah pertarungan. Mereka takut kehilangan kenyamanan yang sudah diperoleh. Mungkin juga mereka takut akan perubahan-perubahan yang terjadi jika mereka mengejar passion hidupnya atau impiannya. Maka mereka memilih hanya memimpikan passionnya. Impian mereka seolah-olah membuat mereka bertahan hidup. Mereka tahu apa impian mereka. Mereka tahu jika mereka mengejar impiannya, kemungkinan berhasil itu sama dengan kemungkinan gagal. Di masa muda mungkin keinginan untuk mengejar impian itu masih menggebu-gebu. Tapi seiring berjalannya waktu, bertambahnya usia, banyak faktor yang membuat orang mulai melupakan impiannya. Dan impian itu juga perlahan-lahan akan meninggalkan mereka. Dan mereka mencari pembenaran dengan rasa syukur atas hidup yang mereka jalani.

Aku masih saja gelisah tentang peta hidupku. Entah aku sebagai manusia yang mana.
Pemikiran-pemikiran tadi hanyalah sebuah cermin untukku memahami kehidupanku.
Hanya Tuhan yang tahu tentang peta hidupku.

Dini hari,15/10/2015                                     

10 Oktober 2015

Rintih Desa



Rintih Desa

Tanahku dulu adalah ladang pertanian
Sekarang menjadi lahan perindustrian

Udaraku dulu adalah kesegaran
Sekarang sesak terpolusikan

Sungaiku dulu adalah tempat bermain
Sekarang menumpuk pembuangan sampah

Air tanahku dulu bersih menyegarkan
Sekarang licin dan mulai berkeruh

Jalananku dulu penuh tegur sapa kring-kring sepeda
Sekarang melesat motor saling mendahului

Anak-anakku dulu bermain bola di lapangan
Sekarang lebih banyak bermain tombol ajaib di depan layar

Pemuda-pemudaku dulu suka bertani
Sekarang lebih suka merantau entah kemana

Aku hanyalah sebuah desa
Aku hanya bisa merintih
Aku tak kuasa menolak perubahan
Semoga aku tetap menjadi desa

Banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi di desaku. Perubahan positif maupun negatif. Lapangan kerja tersedia dengan dibangunnya pabrik-pabrik. Tapi lahan persawahan dan kebun berkurang. Dengan itu berarti daerah resapan air juga berkurang. Kehidupan ekonomi semakin menggeliat. Tapi  efeknya masyarakat semakin konsumtif. Banyak lagi dampak-dampak dari masa transisi desa yang akan menuju perubahan menjadi kota. Kebun-kebun tempat bermainku dulu sudah tak ada. Sungai tempat teman-temanku berenang dulu sudah kotor.  Kalau pun desa ini harus menjadi kota, jadilah kota yang berjiwa desa. Tetap teguh dengan jati dirinya sebagai desa walaupun dari segi infrastuktur terus bergerak menjadi (hampir)kota. Ah,aku sadar mungkin itu terlalu naïf.

Senja, 16/09/2015