28 November 2015

Pilihan, Pilihan, dan Pilihan

Dalam hidup
Kita akan selalu dihadapkan dengan banyak pilihan
Pilihan, pilihan, pilihan, pilihan dan pilihan
Kita akan selalu dihadapkan dengan perasaan dilematis dalam menentukan pilihan
Dalam setiap pengambilan keputusan
Apalagi menyangkut kehidupan dan impian
Apalagi jika usia ikut berperan menjadi faktor yang harus diperhitungkan
Apalagi jika soal cinta dan kepastian status juga dipertimbangkan
Kecemasan dan ketakutan itu hanya fatamorgana, kawan
Yang perlahan-lahan menggerogoti keberanian
Kenyamanan dan kemapanan hanyalah oase yang suatu saat mengering
Sedang impian adalah satu-satunya api, kawan
Kita sendiri yang akan menentukan
Apakah akan kita biarkan api itu tetap menyala atau akan kita padamkan ?
Aku dan kau sama-sama menyalakan api yang sama
Tapi kita tak akan pernah tahu api siapa yang akan tetap menyala
Sedang angin masih terus menyambar-nyambar
Membisikkan godaan-godaan agar kita padam
Aku sendiri pun masih menyimpan kecemasan dan ketakutan
Keberanian terkadang bersembunyi entah dimana tak kutemukan
Aku hanya berharap kita terus berani mengejar impian
Karena kini kita tahu apa yang kita inginkan
Kenyamanan dan kemapanan akan dipertaruhkan
Ilusi kehidupan yang terkadang membuai kita
Kita tetap bebas menentukan jalan dan pilihan
Kita bebas menentukan keputusan
Tapi kita tidak pernah tahu akan datang berapa kali kesempatan
Kita tak akan pernah tahu seberapa dekat jarak impian dari kita
Atau mungkin impian malah menjauh karena kita tak merespon kesempatan
Aku hanya berharap kita bisa lebih mendengar kata hati
Aku hanya berharap kita bisa lebih memahami jiwa
Semoga impian tidak pergi menjauhi kita
Semoga keberanian tidak lari meninggalkan kita

"Panjang umur keberanian...mati kau, kecemasan dan ketakutan" (Sisir Tanah)

(catatan untukku dan seorang kawan)
Dini hari,28/11/2015

20 November 2015

Edelweis Folk, Semoga...

Selamat dini hari...

Karena pikiran lagi sedikit ruwet, bikin catatan yang nyantai saja lah. Sekedar dokumentasi kehidupan. Daripada malam-malam gak ada kerjaan. Biasa kuli pabrik yang kerja shift pulang malam, susah tidur pula. Lebih baik bermain aksara saja.

Kali ini lagi pengen nulis tentang kegiatan teman-teman beberapa bulan terakhir ini. Yang lagi pada sok sibuk belajar bikin lagu.
"Mau jadi penyanyi ?" "Mau jadi anak band ?" "Mimpimu keduwuren bro !". Kalau ada yang ngomong seperti itu, kita jawab aja "Karepeehh !"

Semua berawal dari karya-karya Mas Danto, sang kreator dari proyek musik Sisir Tanah dari Jogja itu. Hampir tiap malam saat nongkrong di Rumah Baca Edelweis(tempat nongkrong sederhana kami) selalu muter lagu-lagu Sisir Tanah. Nyanyi-nyanyi sekenanya bareng menghias malam. Tapi lama-lama bosan juga cuma nyanyi tanpa musik. Mulailah inisiatif salah satu teman yang ternyata bisa main gitar membawa gitar ke Rumah Baca Edelweis. Darimana dapat gitar ? Pinjam dari seorang teman yang baik hati membebaskan kami memakai gitarnya,hehe. Alhasil setiap malam kami mulai nyanyi-nyanyi lagu Sisir Tanah diiringi petikan gitar yang dimainkan Mas Luthfi. Kopi hanya kadang-kadang ada(kalo lagi punya duit dan gula) :-). Cemilan juga kadang-kadang saja beli kue kukis di pasar kalau sudah tengah malam penjualnya sudah mulai produksi. Beli Rp 5.000,- sudah dapat seplastik kresek penuh, cukup buat ganjel perut di malam yang lapar. Mainkan gitar lagi, nyanyi lagi. Mainkan lagi, nyanyi lagi. Paling suka lagu Bebal, Obituari Air Mata, Perahu Kertas, terus akhir-akhir suka berceloteh menirukan lagu Konservasi Konflik. Sok-sokan berpuisi,hehe. Yang bisa main gitar cuma mas Luthfi, jadi kasihan dia sering kebagian kue kukis sedikit karena tangannya harus main gitar terus. Sementara yang lain bebas nyanyi sambil tangan megang kue, makan ! Hehe...Mainkan lagi, nyanyi lagi. "Alon-alon bro,tengah wengi!". "Yo ben. Awake dewe malah etuk ganjaran gawe wong tangi tengah wengi, ben do sholat tahajud...haha." "Kareepmuuh, lanjutttt."
Tiba-tiba Pak Haji Hudi lewat.(oh sebentar lagi subuh bro) :)

Lama-kelamaan Mas Danto menginspirasi Mas Luthfi. Dia berpikir "Mas Danto saja bisa, masa aku gak bisa!" (dengan jiwa yang penuh semangat baik,semangat baik,semangat baik,hehe). Dengan gitar pinjaman itu tiap malam dia mencoba mencari nada(semua nada sudah digunakan di bumi ini mas,mumet) maklum masih amatir. Tapi dia tak patah semangat, coba, coba dan coba terus sampai akhirnya dia nemu nada yang dia suka(semoga gak sama dengan lagu orang,doanya). Tapi ketika sudah ada nada, tanpa lirik lagu, terus kudu piye? Minta lirik lagu ke Ahmad Dhani ? Ngapain, karya sendiri saja lah. Mulailah dia berinisiatif buka-buka blog Catatan Kaum Kusam, karena dia tahu selama ini aku kadang nulis puisi yang diposting di blog itu. Hmm, gak ada yang cocok. Di Rumah Baca Edelweis dia cerita-cerita soal itu, lalu aku usulin "Yaudah aku tak coba nulis-nulis terus, nanti juga ketemu yang cocok."
Untuk menyingkat cerita biar gak terlalu panjang(karena mungkin kalian juga mulai malas bacanya :-) ).
Nongkrong setiap malam. Aku nulis, Luthfi nyari nada. Ngopi, ngemil, ngopi, ngemil, habis kopi dan cemilan. Lagu, gak ada hasil. "Mentok mas !" kata dia. "Yawis,tidur dulu. Lanjut besok." Seperti itu sampai beberapa hari.
Akhirnya, berhasil lah tercipta sebuah karya sederhana dari otak-otak kami yang sederhana juga. Dari sajak Manusia Anjing, puisi Tentang Bumi dan Tanah jadi sebuah lagu. Ditambah lagi lagu Mengulang Tradisi. Ya, walau aransemen dan permainannya masih berantakan, gapapa lah. Semua dimulai dari nol.
Karena sepertinya monoton kalau hanya diiringi gitar, kami berinisiatif mengajak teman lainnya Azis untuk ikut. Dia beli alat musik yang murah saja, harmonika. Lumayan buat nambah instrumen.

Dari hasil nongkrong tiap malam itu kami sok-sokan bikin band akustik yang diberi nama Edelweis Folk. Kenapa nama itu ? Sederhana saja, karena semua itu terlahir di Rumah Baca Edelweis. Rumah tempat kami sering berkumpul bersama. Rumah(milik orang tuaku) yang berada di sebuah desa yang sedang dalam masa transisi. Disebut desa, sepertinya sudah mengarah menjadi kota industri. Disebut kota, belum bisa karena fasilitas yang menjadi syarat perkotaan belum semua ada. Tangguh lah pokoke. Tapi desa ini banyak memberi inspirasi. Nice village...
Sepertinya di Edelweis Folk ini kami menemukan kebahagiaan yang sederhana. Kami yang sehari-harinya hanya seorang buruh bisa berkarya(walau entah ada yang mau mendengarkan atau tidak nanti,hehe). Bagi kami sekarang kami punya wadah untuk berkarya. Soal didengar orang atau tidak nantinya kami saat ini tidak peduli(gak tau nanti,mungkin peduli,mbuh). Yang penting saat ini kami cuma ingin menyalurkan hal yang kami suka, aku suka nulis, Luthfi dan Azis suka main musik(walau baru bisa main sekadarnya saja). Dari kombinasi sederhana itu jadilah lagu-lagu sederhana yang bisa didengar di https://soundcloud.com/sidiq-bachtiar   . 

Tapi akhir-akhir ini jarang latihan, karena gitarnya sudah diambil sama yang punya. Ya, beginilah nasib musisi tanpa punya alat musik,hehe. Tetap semangat bro, ojo males-malesan koyo bedebah,haha. Mari mencari pinjaman gitar lagi :-D (disamping yo nabung go tuku gitar bro).
Semangat baik...semangat baik...semangat baik....!!!



Manusia Anjing
Hai manusia
Hai anjing
Manusia merasa lebih kuat dari anjing
Anjing merasa lebih hebat dari manusia
Manusia lebih hewani dari anjing
Anjing lebih manusiawi dari manusia
Manusia memakan anjing
Anjing tak mampu memakan manusia
Anjing menyalak menakuti manusia
Manusia menyalak lebih menakutkan
Anjing berhenti makan ketika kenyang
Manusia terus makan meskipun kenyang
Anjing patuh pada majikannya
Manusia menggulingkan pemimpinnya
Manusia memberi makan anjing dengan daging
Anjing memberi makan manusia dengan dirinya
 Manusia memberi minum anjing dengan susu
Anjing memberi minum manusia dengan darahnya
Manusia memanusiakan anjing
Anjing menganjingkan manusia
Anjing hanya bertahan hidup
Manusia ingin slalu menguasai hidup
Manusia merasa jadi kalifah di bumi
Manusia merasa berhak membunuh dan memakan segalanya
Anjing merasa mencintai manusia
Anjing merasa dikhianati manusia
Manusia anjing
Anjing manusia
Manusia anjing
Anjing manusia
Manusia dan anjing sama-sama makhluk ciptaan Tuhan
(SB)


Tentang Bumi
Angin meniup kegelisahan
Melekat ke dalam hati
Mengisi ruang ambisi
Keluh bumi tersakiti
Hujan menyiram kegundahan
Luruh menyisir tanah kering
Merasuki pikiran-pikiran mati
Berjalan dalam hidup tertangisi
Gelap menebar resah
Meredupkan nurani
Mimpi tak jadi berarti
Kuasa semesta tertelan kini
Hati yang tak lagi peduli
Hidup di tengah alam hanya imajinasi
Nurani mati abaikan bumi
Berkarat menunggu akhir
(SB)



Tanah  
Terinjak tak pernah berontak
Terkeruk tak sudi mengeluh
Tersakiti tak juga mati
Terkotori tetap memberi
Teracuni masih berharga tinggi
Aku basah dinikmati
Aku kering di caci maki
Aku subur terus menghidupi
Aku tandus ditinggal tanpa balas budi
Mereka berdiri menginjakku
Mencakarku dengan beton-beton
Tak peduli aku merindu akar
Mereka lupa kuingin minum air hujan
Jangan salahkanku jika aku mengeluh
Jangan salahkanku jika aku berontak
Jangan salahkanku jika aku menguburmu
Aku pun perlu bertahan hidup
Aku pun perlu bertahan hidup
Aku pun perlu bertahan hidup
(SB)



Mengulang Tradisi

Kita lebih suka teknologi
Kotak ajaib mengikat diri
Lupa pada tubuh asli
Kita termenung di depan tv
Tanpa kata hanya mata
Lupa  pada bahasa
Kita mungkin terjebak buku
Yang kadang membuat bisu
Lupa pada waktu
Kita juga tersihir musik
Bernyanyi-nyanyi bahagiakan hati
Lupa pada orang di sisi
Lebih baik kita nyalakan api
Duduk melingkar mengulang tradisi
Bercengkrama bertukar cerita
Saling berbicara antar manusia


(SB)







main di acaranya Rumah Baca Edelweis


15 November 2015

Doa Dini Hari



Doa Dini Hari

Jika tak Kau beri terang di tengah gelap
Beri saja aku tenang agar bisa tertidur lelap

November,2015