27 Mei 2016

Dewi Keadilan Semesta





Dewi Themis
Dewi Justitia
Dewi Keadilan
Mereka sudah mati

Bagaimana bisa menegakkan keadilan dengan mata tertutup
Sedang dengan mata terbuka pun belum tentu kita bisa berbuat adil
Dewi Keadilan menutup matanya bukan karena tidak memihak
tapi karena memang buta
Buta akan keadilan

Bagaimana bisa melihat kebenaran dengan mata tertutup
Sedang dengan mata terbuka pun kebenaran belum tentu terlihat
Dewi Keadilan menutup matanya bukan karena ingin memihak kebenaran
tapi karena tidak mau melihat kebenaran
Membutakan diri akan kebenaran

Tak perlu kita percaya pada dewa-dewi
Tak perlu kita percaya pada lambang-lambang
Kebenaran dan Keadilan ada di lubuk hati manusia
Kebenaran dan Keadilan harus diwujudkan dalam kenyataan
Untuk kehidupan yang damai
Untuk kedamaian alam semesta

SB
27/05/2016

26 Mei 2016

Seberapa Berani


Seberapa kuat kau berjalan dalam kesederhanaan, meski kemewahan bisa kau genggam

Seberapa kuat kau bertutur dalam kejujuran, meski kebohongan bisa dengan mudah disuarakan

Seberapa berani kau melangkah dalam keyakinan, meski keraguan selalu hadir dalam setiap jalan

Seberapa berani kau meyakini keyakinanmu, meski setiap waktu kecemasan dan ketakutan menyerangmu

SB
26/05/2016

23 Mei 2016

Jalanan Adalah Sekolah Yang Nyata

Seharian ini langit mendung, cahaya matahari redup. Sepulang kerja, kembali bertafakur di kamar gelap. Ruang yang menjadi tempat banyak waktu saya dihabiskan. Ruang dimana saya banyak merenungkan perjalanan hidup saya. Sore ini saya teringat perjalanan hari sabtu lalu, saat melintasi jalan raya Magelang-Boyolali.

Sepanjang perjalanan saya melewati banyak titik yang sedang diadakan pembangunan/perbaikan. Hanya satu ruas jalan yang bisa digunakan. Jalan menanjak-menurun sempit dengan satu sisinya berhadapan dengan jurang dan sisi lainnya adalah hutan. Debu-debu mengepul setiap kali kendaraan melintas. Di beberapa bagian terjadi penumpukan antrian kendaraan yang panjangnya hampir 3 kilometer. Sebagian kendaraan yang tertahan adalah truk. Ya, karena memang jalur ini adalah jalur transportasi truk pengangkut pasir yang mengambil pasir di sekitar gunung Merapi.

Melintasi panjangnya antrian truk itu saya melihat sopir-sopir truk yang turun dari kendaraannya. Mereka asyik duduk-duduk di tepi jalan sambil merokok dan bercengkerama sesama sopir. Saya hampir tidak melihat wajah-wajah kemarahan dari mereka. Mereka malah terlihat saling bercanda, padahal tak pasti seberapa lama mereka harus menunggu jalan dibuka. Malah saya melihat raur-raut wajah marah itu dari para pengendara motor dan mobil pribadi.
Salah satu yang saya lihat adalah seorang pemuda beransel(dari ranselnya saya bisa menebak dia mau naik gunung) dengan motor maticnya. Dia terlihat buru-buru, bahkan sempat tak sopan berbicara pada bapak tua yang mengatur buka-tutup jalan. Si bapak yang sedang menutup jalan melarangnya lewat dengan sopan, tapi dibalas pemuda itiu dengan ucapan ngeyel dan wajah yang kesal lalu menerobos jalan yang ditutup itu. Sementara di lain titik, saya melihat mobil pribadi yang pengemudinya tidak sabaran dengan memencet kencang klaksonnya. Padahal semua orang tau jalan sedang diperbaiki dan antrian kendaraan tak bisa dihindari.

Dari hal-hal itu, sekarang saya merenungkan sebuah pelajaran tentang kesabaran. Kesabaran yang hanya dipelajari secara teori di bangku-bangku sekolah atau universitas dan pengajian-pengajian agama. Atau mungkin malah tidak ada materi pelajaran tentang kesabaran di sekolah/universitas. Dan menurut saya jalanan adalah sekolah yang paling nyata untuk belajar tentang kesabaran. Bahkan di jalan raya perkotaan yang banyak lalu-lalang kendaraan itu sangat menguji kesabaran kita. Kalau tidak sabar, bisa jadi sesama pengguna jalan saling mencaci atau bahkan berkelahi di jalanan. Bahkan bisa juga kecelakaan terjadi karena kurangnya kesabaran oleh pengguna jalan.

Mungkin ini hanya hal sepele, tapi bagi saya ini sebuah pelajaran yang berharga. Saya harus belajar dari para sopir truk itu, yang bersabar dengan keadaan yang memang harus mereka lalui. Tak perlu terlalu banyak keluh, meski keluh memang tak bisa dihindari karena kita manusia. Setidaknya senyuman masih bisa tercipta dari wajah-wajah lelah para sopir truk itu. Kesabaran bukan hanya materi/teori-teori yang bisa dipelajari. Tapi kesabaran adalah suatu hal yang dipraktikkan dan dijalani. Sopir-sopir truk itu adalah sebagian kecil bukti bahwa kesabaran bukan hanya sekedar kata yang mudah diucapkan, tapi sebuah tindakan nyata. Sementara para pengendara motor dan mobil pribadi itu sudah menunjukkan diri asli mereka secara sadar.

Jalanan adalah sekolah yang nyata. Tempat saya belajar banyak tentang kehidupan. Ruang kelasnya adalah setiap ruang dimana kaki saya berpijak atau melangkah. Gurunya adalah setiap orang yang saya temui atau pun saya lihat. Ya, jalanan adalah sekolah yang nyata. Tanpa meja dan kursi dan materi pelajaran yang monoton. Tanpa batas-batas waktu yang menentu. Dengan guru dan pelajaran yang tak pernah terduga. Tanpa jenjang atau pun gelar. Di jalanan saya hanya perlu menyadari bahwa diri saya hanyalah manusia. Ya, manusia.

SB
23/05/2016

22 Mei 2016

Pembangunan

Sepanjang dua hari kemarin saya melintasi jalanan dari desa tempat tinggal ke Salatiga-Magelang-Boyolali. Sepanjang perjalanan itu ada hal yang hampir di semua daerah itu saya temui, yaitu pembangunan jalan. Geliat pembangunan dimana-mana, mungkin hampir di setiap daerah negeri ini. Dan itu ada hampir di setiap tahun, mungkin juga akan terus ada selama hayat negeri ini.

Pembangunan jalan memang sebuah hal yang bagus, karena di era globalisasi ini kita memerlukan akses jalan yang mendukung untuk mobilisasi segala macam kebutuhan ke antar daerah. Tapi entah seberapa banyak pembangunan yang dilakukan setengah-setengah. Jalan-jalan yang dibangun gampang sekali rusak. Saya yakin memang semua sudah diperhitungkan oleh para kontraktor yang profesional. Tapi seolah-olah pembangunan-pembangunan jalan itu tidak pernah selesai. Jalanan terus dibangun, tapi juga terus rusak. Dan pembangunan terus saja diada-adakan. Pasti banyak faktor yang mempengaruhi hal itu. Itu bukan kapasitas saya untuk membahasnya.

Diluar itu semua, saya hanya ingin bercerita tentang apa yang saya lihat. Melihat semua itu dari sisi positifnya, untuk lebih bersemangat dalam memandang hidup.
Pembangunan jalan telah membuka banyak lapangan kerja. Pekerja-pekerja mendapatkan rezeki dari hal itu. Panasnya matahari yang menyengat melegamkan kulit mereka. Tubuh-tubuh kekar yang dihiasi senyum dan kelakar tawa. Asap rokok yang dihembuskan di sela-sela pekatnya debu jalanan. Gubuk-gubuk peristirahatan menjadi saksi kerasnya hidup di jalanan. Sedang keluarga pasti menanti kiriman rezeki dari mereka. Dari pembangunan-pembangunan jalan itu dapur-dapur keluarga para pekerja terus mengepul. Panci masih terus bertemu beras. Piring-piring masih terus bertemu nasi. Perut-perut masih terus tersuapi gizi. Anak-anak masih akan bertemu meja-meja pendidikan.

Perputaran roda ekonomi juga menggeliat di sekitar jalan yang dibangun. Pekerja-pekerja memenuhi kebutuhan mereka dari warung-warung sekitarnya. Warung-warung itu mendapatkan pembelinya. Pemuda-pemuda setempat mendapat penghasilan dari mengatur buka-tutup jalan.

Dari hal itu, saya berpikir jasa-jasa para pekerja itu sangatlah besar untuk kemajuan negeri ini. Bahkan sejak zaman penjajahan, mestinya kita harus bisa berterima kasih pada para pekerja paksa yang bahkan banyak yang kehilangan nyawa dalam membangun Jalan Raya Pos Anyer-Banyuwangi. Terlepas dari para penjajah atau kita sebagai kaum terjajah. Jasa-jasa para pekerja itu pantas kita hormati. Mungkin ada dari salah satu pekerja-pekerja itu adalah moyang kita.

Dari perjalanan kemarin, melihat para pekerja pembangunan jalan. Saya yakin negeri ini tak akan maju tanpa menghargai kaum pekerja. Memang kenyataanya masih banyak manusia-manusia yang jumawa merendahkan pekerjaan sebagai kuli jalan. Mereka dimarginalkan oleh sistem sosial yang menghamba pada status-status sosial. Padahal tanpa kaum pekerja, kita,manusia-manusia hanya bisa mengumpat tentang buruknya keadaan jalan. Kita manusia hanya bisa saling menyalahkan.

Saya hanya bisa berdoa untuk para kaum pekerja, agar rezeki terus mengalir untuk kehidupan mereka(termasuk saya). Dan untuk negeri ini, semoga pembangunan-pembangunan bisa merata ke segala penjuru daerah. Aamiin....

SB
22/05/2016

18 Mei 2016

Sajak Buruh (Ruang Waktu)



Ruang waktu kami adalah tetes keringat
yang bercampur cat dan amoniak
dan juga aroma tembakau yang menyengat
yang menempel di tubuh kami
terbawa lelah sampai ke rumah

Ruang waktu kami adalah rutinitas monoton
memproduksi barang mempertebal kantong kapital
menghabiskan jam demi jam hari-hari kami
memenuhi hajat hidup masa kini
sampai lupa sisi manusiawi

Ruang waktu kami adalah deru mesin yang tak henti
di pengap dan panasnya pabrik-pabrik
pagi siang malam terus berputar
kepenatan sudah menjadi kawan
menemani detik demi detik pertukaran tenaga dan uang

Sebagian kecil ruang dan waktu kami adalah kemerdekaan
Sebagian kami adalah buruh yang tak ingin mati nurani
Kaum buruh juga mempunyai hak untuk membaca buku
Agar hidup tak melulu soal perut
Agar kami bisa belajar mengasah pribadi
dan tak kehilangan jiwa manusiawi
karena setiap hari digerus ambisi duniawi

Membaca buku adalah sebagian ruang dan waktu kami
untuk belajar menyelami diri menjadi manusia
bukan sekedar robot bernyawa
jika pemerintah tak menyediakan buku bacaan untuk kaum kami
kami sendiri yang akan menciptakan ruang-ruang baca
untuk kami dan generasi-generasi setelah kami
agar anak-cucu kami memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas
dan memiliki hidup yang lebih baik dari kami
agar generasi setelah kami menemukan jalan
dengan cahaya yang benderang

SB
18/05/2016