29 Februari 2016

Sajak Masyarakat dan Buku


 toko buku 


Ribuan pengetahuan diperjual-belikan layaknya jajanan
Setidaknya untuk puan dan tuan berkantong tebal
Sedang untuk kaum marjinal, bisa mengisi perut pun sudah lumayan
Apa guna bacaan? 
Bagi sebagian, lebih baik mengejar gengsi laju peradaban

Ah, semoga semakin banyak ruang-ruang bacaan
dan semakin banyak tangan-tangan gerilyawan
yang sudi membagi cahaya pada kami, kaum marjinal
kiranya kami bisa belajar menjadi manusia seutuhnya
beri kami cahaya pencerahan


Bagaimana kami mau mengembangkan minat baca? Sedang perut kami saja masih belum bertemu makanannya.
Bagaimana kami mau menyuruh anak kami rajin membaca? Sedang kami bukan contoh yang melakukannya. Kami sudah lelah sepulang kerja. Anak kami bermain bersama teman-temannya di jalan.
Kalian pikir kami orangtua yang tidak bisa mendidik anak?
Kalian pikir kami tidak peduli pada masa depan anak?
Apa kami salah? Toh kami bekerja untuk membiayai hidupnya, pendidikannya juga.
Itu semua pun kami menggali lubang tutup lubang.
Rumah pun kami belum punya. Ingin membangun rumah, mana ada uang. Sedang cicilan motor pun belum terselesaikan.
Entah pendidikan macam apa yang diajarkan negara pada anak kami.
Kami terima saja itu semua.
Kami orangtua ingin juga anak kami suka membaca, tapi kami tak tahu bagaimana caranya.
Kalian para cendikia dan intelektual muda.
Bukankah tugas kalian untuk menyebarkan cahaya?
Ya, memang itu tugas kita semua sebagai manusia.
Tapi setidaknya, kalianlah yang seharusnya terus menyalakan api.
Kami orangtua, sudah cukup lelah untuk memikirkan sandang, pangan, dan papan kami di negeri ini.
Bantulah kami mencerdaskan anak-anak kami.
Jika kalian sebut kami orangtua yang tak berpendidikan.
Lantas apa kalian lebih berpendidikan? Jika kalian merendahkan orang yang tidak berpendidikan.

Kami berharap, kita tidak hanya saling mementingkan kehidupan kita sendiri-sendiri.
Dan mari hidup saling membagi cahaya, saling membagi terang, dan terus nyalakan api.


SB
00.47
29/Feb/2016

28 Februari 2016

Perempuan Desa


Sebuah cerpen sederhana.                  
 "I don't think art when i'm writing, I just try to think about humanity" (Isma Swastiningrum)
  
Perempuan Desa
    
Matahari pagi yang cerah menyinari sebuah desa di pinggiran kota Solo. Desa yang kini berubah menjadi kawasan industri. Desa itu menjadi bagian dari Kabupaten Karanganyar,walau letaknya jauh dari pusat pemerintahan Karanganyar. Beberapa tahun ini sawah-sawah mulai berubah menjadi pabrik-pabrik. Memang dengan perubahan itu bisa menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat di sekitarnya. Tapi sebuah perubahan pastinya akan menimbulkan perubahan lainnya. Sebuah dampak perubahan entah positif atau negatif pasti ada. Masyarakat yang dulunya bertani, kini berubah menjadi pekerja pabrik. Mereka yang dulunya produktif menghasilkan pangan, kini berubah menjadi konsumtif. Mini market-mini market kini hadir di sekitar desa itu,menggeser warung-warung kecil yang sudah puluhan tahun berjualan.

Masih ada dampak-dampak lainnya. Polusi udara, bau yang ditimbulkan dari pabrik rokok. Sungai-sungai juga mulai tercemar limbah dari pabrik. Kemacetan mulai merayapi jalan, terutama pagi dan sore. Semakin padatnya pemukiman juga membuat masyarakat semakin tidak peduli terhadap lingkungan. Membuang sampah sembarangan kini mulai jadi kebiasaan. Kurangnya  perhatian pemerintah untuk menyediakan tempat sampah bagi warga masyarakat juga menjadi penyebab hal itu terjadi. Dampak sosial, pergaulan kini mulai semakin bebas dengan banyaknya kos-kosan. Bahkan akhir-akhir ini ada beberapa kasus penggrebekan dari pihak kepolisian di kos-kosan. Ada beberapa pasangan mesum dan pengguna narkotika yang tertangkap. Sungguh miris melihat perkembangan desa lebih banyak kenegatifannya.
    
Di desa itu rata-rata gadis remaja lulusan SMA sudah bekerja, terutama di pabrik rokok. Salah satunya adalah Dwi, gadis pendiam yang lahir dan besar di desa itu. Pagi hari dia mulai mengayuh sepedanya menuju pabrik tempatnya bekerja. Hembusan angin sesekali mengibaskan jilbabnya. Bibirnya selalu rapat,dia memang gadis yang jarang tersenyum. Tapi dia selalu bersemangat menjalani hari-harinya. Dwi adalah anak pertama  dari tiga bersaudara. Dua adik laki-lakinya masih sekolah, SMA dan SMP. Karena itu dia rajin bekerja untuk membantu kedua orang tuanya yang hanya seorang petani. Dwi lulus SMA 2 tahun lalu dan langsung bekerja di pabrik rokok yang tak jauh dari rumahnya. Sekarang umurnya baru 20 tahun dan hari-harinya hanya soal bekerja dan mengurus rumah membantu keluarga. Bahkan sesekali membantu orangtuanya di sawah. Keluarganya beruntung karena masih memiliki beberapa petak sawah yang mereka garap sendiri dan beberapa ekor ternak sapi.

 Jika hari sabtu dia berangkat kerja dengan hati yang lebih gembira dari hari-hari biasanya, karena akan menerima gaji. Paling tidak dia bisa membelikan gula dan teh dari uang gajinya itu untuk orang tuanya. Bapaknya yang suka minum teh itu pasti akan senang. Kadang di malam minggu, teman kerjanya yang bernama Ari datang ke rumahnya. Belum lama mereka pacaran. Dwi yang pendiam tidak pernah mau diajak main keluar. Dia lebih suka pacaran di rumah, duduk di ruang tamu ditemani teh hangat dan camilan yang dibelinya di warung dekat rumahnya. Sesekali ibu  Dwi ikut menemani mereka ngobrol. Setelah beberapa bulan  mereka pacaran, Ari merasa tidak betah dengan sikap konservatif Dwi ini. Hubungan mereka pun tidak bertahan lama. Dan Dwi pun menjalani hari-harinya seperti biasa. Berangkat kerja setiap pagi, sore hari membantu ibunya mengurus rumah. Rutinitas hidup perempuan desa.

Suatu pagi, ketika Dwi siap mengayuh sepedanya keluar dari halaman rumahnya, seorang tetangganya menyapanya. Laki-laki dengan tubuh tegap dan kulitnya yang hitam tersenyum ramah padanya. Namanya Eko, umurnya 26 tahun. Dia adalah tetangga Dwi yang pulang merantau dari Jakarta, bekerja sebagai kuli bangunan disana. Dan kini dia menganggur di kampung. Dwi membalas sapaan Eko dengan ramah.
   
Ternyata hampir setiap hari Eko memperhatikan Dwi. Sedangkan Dwi tidak menganggapnya sebagai hal yang serius. Beberapa bulan kemudian Eko memberanikan diri melamar Dwi. Bersama orang tua dan pamannya dia pun menemui keluarga Dwi. Hal seperti ini sudah terbiasa terjadi di kampung. Orang tua Dwi pun menyerahkan semuanya kepada Dwi, mau atau tidak menerima lamaran itu. Dwi meminta waktu beberapa hari untuk memikirkan keputusan yang akan dia ambil. Bapaknya selalu membujuk Dwi untuk menerima lamaran itu. Eko memang terkenal sebagai laki-laki yang baik di kampung. Dia rajin dan baik, tapi memang nasib sedang tidak berpihak padanya karena dia sedang tidak mempunyai pekerjaan saat itu. Ibu Dwi selalu mengingatkan, gadis seusiamu itu sudah saatnya menikah nduk.
 
Memang dalam masyarakat desa, gadis usia 20an tahun sudah wajar menikah. Atas bujukan-bujukan orangtuanya itulah Dwi mau menerima lamaran Eko. Dia juga berpikir, tak ada ruginya menikah dengan laki-laki sebaik Eko. Walaupun sekarang dia sedang menganggur, tapi nanti Tuhan pasti akan memberinya jalan untuk mendapatkan pekerjaan. Akhirnya mereka berdua pun menikah dengan cara yang sederhana. Senyum pasangan pengantin baru itu pun terkembang setelah akad nikah, menerima ucapan selamat dari keluarga dekat mereka. Memang jodoh kadang bukan soal cinta. Garis takdir tak bisa ditebak. Kita tak pernah tahu apa yang akan kita hadapi esok hari. Sekali pun kita sudah merencanakan apa yang akan kita lakukan di masa depan. Kadang  kita hanya perlu mengalir mengikuti skenario Sang Dalang.

Setelah beberapa bulan menikah Dwi mengandung. Sedangkan Eko yang masih bekerja serabutan di desa mulai bingung memikirkan biaya-biaya untuk periksa kehamilan yang harus rutin dilakukan. Dan juga biaya melahirkan yang harus segera ia siapkan.
Malam merambat, hanya menyisakan suara serangga dari kebun belakang rumah mereka.  Pasangan itu duduk bersandar dipan kayu di kamarnya. Eko mengutarakan pikirannya ke
Dwi, dan meminta ijin untuk bekerja ikut temannya merantau.
“Dik, gimana kalau mas merantau untuk bekerja ikut Anwar teman mas ?”
Dwi menatap wajah gelisah suaminya,
“Mau merantau kemana mas ? Kerja apa ?”
“Ke Papua dik, kerja proyek bangunan, disana bayarannya besar, biar aku bisa ngumpulin duit untuk biaya melahirkan nanti.”
“Terus pulangnya kapan mas kalau kerja disana ?”
“Sampai proyeknya selesai dik, kira-kira
satu setengah tahun kata Anwar, nanti biaya transoprtasinya ditanggung bosnya.”
Dwi berpaling dari wajah suaminya, menatap kosong ke depan.
“Jadi nanti kalau aku melahirkan mas belum bisa pulang ?”
“Sepertinya belum dik, kenapa?” Eko menebak-nebak apa yang sedang dipikirkan istrinya.
Hening, suara serangga malam menjelma menjadi orkestra kesedihan.
“Dwi pengen mas tetap di rumah saja.”
“Kenapa dik ?” Eko tampak bingung.
“Dwi cuma pengen melewati proses kehamilan ini bersama-sama  sampai Dwi melahirkan nanti mas. Jangan takut soal duit mas, Allah sudah mengatur rezeki setiap hambanya. Asal mas mau terus berusaha disini, kerja serabutan apapun gak apa-apa mas. Yen gelem obah mesti mamah. Bukankah kebahagiaan orang menikah itu ketika dikaruniai kehamilan dan menunggu anaknya lahir ? Dwi cuma pengen kebahagiaan sederhana itu mas. Pengen merasakannya bersama-sama.” Dwi tak kuat membendung air matanya.

“Tapi gimana biaya melahirkan nanti dik ?”
“Aku akan tetap bekerja selama hamil mas.” Dwi meyakinkan Eko.
“Mas juga bisa mencari pekerjaan sebagai kuli bangunan disini saja sambil bantuin bapak menggarap sawah, jangan jauh-jauh ke pulau seberang sana. ” pinta Dwi pada suaminya.

Eko bergeser dari tempat duduknya mendekat ke Dwi. Dia peluk istrinya erat.
Malam semakin larut. Kokok ayam jantan sesekali terdengar, mungkin melihat malaikat turun mencari manusia-manusia yang terjaga ingin bersujud padaNYA dibawah tirai malam.

Semua orang ingin hidupnya berkecukupan. Dan setiap orang mempunyai standar sendiri-sendiri tentang arti kecukupan. Begitupun dengan kebahagiaan. Semua orang ingin bahagia, dan setiap orang memiliki pengartian masing-masing tentang kebahagiaan. Di dalam hati Eko bersyukur mendapatkan istri seperti Dwi. Perempuan sederhana yang tidak menuntutnya banyak hal, terutama dalam hal materi. Dwi mau diajak tinggal di rumah orang tua Eko yang masih berdinding kayu dan anyaman bambu.
Eko membatalkan niatnya untuk pergi merantau. Dia sudah menentukan pilihan,meski resikonya dia harus lebih giat membanting tulang untuk membiayai keluarganya. Dwi pun masih rajin bekerja di pabrik meskipun dia sedang hamil. Sesekali mengeluh itu sudah kodrat manusia. Tapi semangat hidup terpancar dari wajah mereka. Wajah-wajah
manusia desa yang bergelut dengan kerasnya hidup. Wajah-wajah dengan kebahagiaan yang sederhana.

(2015)

Lelaki Gunung Perempuan Laut



foto:sidiqbachtiar


Lelaki Gunung Perempuan Laut

Lelaki gunung duduk bercerita di kursi kayu
Di sampingnya bersandar diam perempuan laut
Meleburkan segala perbedaan ke dalam lumbung
yang coba  dibangun pada batas-batas diri
Dihembuskannya kabut turun ke lembah-lembah
Jauh diterbangkan angin sampai ke timur
Membelai asin kehidupan yang ingin dibagi
Pada waktu yang didayung keberanian

Kita sama-sama manusia
yang akan kembali pulang hanya sebagai manusia
Bukan sebagai apa atau sesiapa

SB
27/Feb/2016

27 Februari 2016

Tarian Berpeluh Gerimis


foto:is



Tarian Berpeluh Gerimis

Tarian di bawah gerimis
Telapak di atas kayuhan
Laju melaju pada kaki waktu
Terlempar ke ruang yang berbeda
Menatap kecepatan ruangan di seberangnya
Dalam lambat menghamba tenang
Dalam tenang mendamba keindahan

Peluh gerimis menetes di ujung lelah
Mengalir ke sungai diri
Sampai bertemu di muara mimpi
Sendiri  berpacu dalam ruang
Tengadah wajah buang keluh
Resapi tetes demi tetes hari
Pada sore terhias harum semesta

Teruskan tarian di bawah hujan
Menampung kesejukan dalam diri
Teruskan kayuhan meniti waktu
Dalam lambat menghamba tenang
Dalam tenang mendamba keindahan

SB
2015

26 Februari 2016

Sajak Buruh





Makan Malam Buruh Pabrikan

Makan malamku adalah kegelisahan
dan segelas air kegetiran
Di dini hari yang penuh kesunyian
Kepalaku bergemuruh penuh pertanyaan
Bagaimana tidak,
Kami kaum buruh terlalu sering disewenang-wenangi tanpa perundingan
Dulu para demonstran yang menagih secuil kesejahteraan ditendang dari perusahaan
Kali ini tunjangan absen ditiadakan, bahkan tanpa pemberitahuan
Para pemuda mengeluh, “jatah uang pulsa kini hilang”
Para bapak mengeluh, “tunjangan absen biasanya untuk bayar listrik, kini tak ada lagi”
Para ibu mengeluh, “uang jajan anakku”

Tak kuat aku sebenarnya mendengar semua itu
Tapi kemana harus mengadu?
Sedang perwakilan buruh pun adalah tangan-tangan perusahaan
Sedang aku pun masih butuh penghidupan

Keluh kesah yang keluar dari mulut-mulut kami sebenarnya adalah keberanian
untuk tetap menjalani peran dalam kehidupan
Semangat-semangat hidup kami sebenarnya adalah rasa syukur yang tanpa diumbar
Rasa syukur yang nyata dalam perbuatan
Meskipun kami tetap hidup di dalam jaring-jaring kapitalis pemodal
Tapi bagiku kesewenang-wenangan tidak bisa mendikte kebahagiaan

Aku akan terus memberontak dalam diri
Karena pemberontakan sejati adalah melawan diri sendiri
Tuhan akan merangkul jiwa-jiwa yang ikhlas menerima kehidupan
dan tetap semangat menjalani peran
Tuhan akan mengganti keikhlasan itu dengan jubah kebaikan
Hanya jiwa-jiwa penuh keyakinan yang akan mendapatkan kebahagiaan

(sajak ini tertulis setelah saya kembali dipertemukan dengan cerita Sisipus)

SB
26/Feb/2016

25 Februari 2016

Java Scooters Rendezvous



Java Scooters Rendezvous

“Satu vespa sejuta saudara.” (Anonim)

Bulan Desember, hujan hampir turun setiap hari. Kadang disertai angin kencang yang menumbangkan pohon. Tak menentu pagi atau sore hujan tak memilih-milih waktu untuk turun. Langit hanya memberi pertanda mendung atas kehadiran air yang akan terjun dari langit. Bumi disiram kesegaran dari tetes-tetes yang akan memberikan kehidupan. Nikmat dari Tuhan yang mungkin masih sering kita dustakan. Namun, hujan kadang juga mendatangkan mara bahaya. Batas antara anugerah dan musibah sulit untuk bisa kita ramalkan. Tak jarang kita dengar banjir bandang yang mendadak datang melumat sebuah pemukiman. Rumah-rumah luluh-lantak terseret derasnya arus air. Salah satu penyebabnya tak lain adalah kerusakan ekosistem hutan. Pohon-pohon ditebang, tak ada lagi penahan air hujan di pegunungan. Magelang termasuk kota rawan, ancaman banjir lahar dingin dari Merapi masih terus menghantui. Bahkan Merapi setiap beberapa tahun sekali akan mengancam penduduk Magelang yang tinggal di lereng gunung. Merapi juga mempunyai batas antara anugerah dan musibah.

Di pagi yang mendung, Mas Wawan dan kawan-kawan Scooteris sedang sibuk menyiapkan vespa-vespa mereka untuk touring. Kali ini mereka akan touring ke Jepara tempat diselenggarakannya Java Scooter Rendezvous (JSR). Ini adalah event terbesar untuk para penggila vespa. Seluruh Scooteris sepulau Jawa biasanya akan berbondong-bondong datang ke acara ini. Semua club vespa dari berbagai daerah. Dari batas barat daerah Banten, sampai batas timur daerah Banyuwangi. Tak jarang pula scooteris dari pulau sebrang, Sumatera, Bali, Kalimantan yang rela jauh-jauh menaiki vespanya ke acara JSR. Event yang akan diadakan selama 2 hari itu memang menjadi ajang kumpul bagi seluruh pecinta vespa. Event yang termasuk bertaraf nasional ini diisi bermacam-macam kegiatan. Kontes scooter, baksos, donor darah, seni budaya, dan panggung musik reagge adalah bagian dari acara JSR.

“Kamu ikut touring ya Riz ? Kita libur dulu jualannya.” Ajak Mas Wawan di sela-sela memperbaiki vespanya.
“Iya mas, Mas Hendra dan Mbak Gita juga ngajakin. Mereka nyuruh aku pakai vespa piaggio birunya.” Rizki meneguk teh hangatnya, terlihat senang.
“Yaudah pakai aja Riz, soal perjalanan tenang saja. Kita punya banyak mekanik handal.” Mas Wawan meyakinkan Rizki.
“Iya Riz, biar tambah rame tim kita nanti.” Entok ikut meyakinkan.
“Oke siap lah. Kita berangkat kapan mas?” Tanya Rizki memastikan.
“Nanti sore rencananya. Geo juga kami ajak Riz, dia pasti senang kalau kamu ikut.” Mas wawan menyeruput kopi hitamnya.
“Wah, pasti bakal seru  mas.” 
Gerimis menyiram kota Magelang pagi itu. Mereka semua masih bersiap-siap di rumah Mas Wawan. Sementara Mas Hendra dan Mbak Gita menyiapkan diri di rumahnya. Mereka akan berkumpul sore selepas ashar.

Sejarah vespa diawali dari negara Italia. Piaggio, perancang dan produsen pertama kendaraan ini. Dia bekerja sama dengan D’Ascanio, seorang insinyur di bidang penerbangan. Mereka membuat revolusi kendaraan baru. Dengan membayangkan sebuah kendaraan yang menggunakan garpu depan sebagai penjepit ban seperti ban pesawat sehingga memudahkan dalam penggantian ban. Dan hasilnya sebuah kendaraan dengan desain yang terinspirasi dari pesawat terbang. Mereka menamakannya vespa, kendaraan unik yang berbeda dengan kendaraan bermotor lainnya.

Mereka telah selesai memperbaiki vespanya, lalu duduk-duduk di teras rumah sambil menikmati minuman hangat. Gerimis masih turun.
“Ini kue bolu baru matang, cicipin Riz.” Mbak Een keluar membawa nampan berisi kue bolu buatannya yang masih hangat.
“Wah, Mbak bisa bikin kue juga ?” Seloroh Rizki, sambil mencomot satu kue.
“Bisa Riz, Mbak kan multi talent Riz.” Gurau Mbak Een sambil ikut duduk di sebelah Mas Wawan.
“Kalau tiap hari bikin kue gini bisa betah aku Mbak tinggal disini, enak.” Ujar Rizki sambil tertawa.
“Ya baguslah kalau betah, gak perlu pergi-pergi lagi kamu Riz.” Mbak Een tersenyum.
“Eh Riz, kamu tahu sejarah vespa masuk ke Indonesia ?” Tanya Mas Wawan mengganti topik obrolan.
“Gak tau mas, aku gak begitu paham tentang vespa. Gimana memang mas ? Ceritain dong.” Rizki siap menyimak.
“Semua tak lepas dari perang yang terjadi di benua Afrika, tepatnya di negara Congo. Bentuk kepedulian pemerintah Indonesia dalam ikut berperan menjaga perdamaian dunia adalah dengan mengirimkan pasukan terbaiknya. Setelah tugas mereka selesai, pemerintah memberikan penghargaan kepada pasukan-pasukan itu. Penghargaan yang diberikan pemerintah kepada mereka adalah vespa. Sejak saat itu mulailah vespa berlalu-lalang di jalanan negeri ini, diawali dari para pasukan penjaga perdamaian di Congo itu. Sehingga orang-orang menyebutnya vespa Congo. Dan dari hal itu, vespa Congo telah memberikan kontribusi berupa iklan gratis di jalanan yang menguntungkan bagi para importir vespa di tanah air. Karena ternyata semakin banyak peminat kendaraan unik itu. Itu menjadi titik awal demam vespa di Indonesia. Sampai saat ini muncullah bermacam-macam club vespa di Tanah Air.” Mas Wawan mengakhiri cerita sambil menyulut rokoknya.
“Wah sejarahnya seru juga ya mas. Mungkin dari sejarah itu para scooteris jadi cinta damai dan bersolidaritas tinggi.” Rizki mencoba berkesimpulan.
“Hehe, bisa jadi Riz.” Mas Wawan hanya tertawa.
“Satu vespa sejuta saudara.” Tambah Mbak Een. “Itu pesan besar yang selalu dibawa teman-teman scooteris.”
“Ayo kita masak untuk makan siang.” Mbak Een mengajak semuanya.
“Siiaapp Ibu Negara.” Serentak Joni, Entok, Endro menjawab sambil tertawa, hahaha.
Itulah becandaan mereka ke Mbak Een, Ibu Negara Scooteris Magelang.

Tinggal di rumah Mas Wawan, Rizki perlahan-lahan bisa melupakan kesedihan hatinya. Patah hati memang sering membuat seseorang merasa frustasi. Merasa gelisah dan tak tentu arah. Beruntung Rizki menemukan tempat menambatkan jangkarnya, walau mungkin hanya untuk sementara. Disini Rizki merasa kehidupannya mulai menyenangkan. Hari-harinya diisi dengan hal-hal baru. Bergaul dengan teman-teman scooteris memberinya pandangan lain tentang hidup. Rizki bukan seorang penggemar vespa, tapi disini dia belajar banyak dari teman-teman baru ini. Mereka menerimanya dengan keterbukaan, walau mereka berbeda kegemaran. Mereka selalu berusaha mengajaknya untuk mengobrolkan banyak hal. Walau kadang Rizki lebih suka menikmati bacaan dari buku yang dia bawa di ruang tamu rumah Mas Wawan. Melakukan perjalanan dan bertemu banyak orang memang akan selalu memperbarui diri kita. Karena itulah Rizki selalu merindukan perjalanan. Bertemu bermacam-macam orang. Bermacam-macam pemikiran. Bermacam-macam pandangan tentang kehidupan. Bermacam-macam pengalaman baru. Rizki tidak ingin melewatkan kesempatan untuk ikut touring vespa ke Jepara ini.

Jepara, daerah pesisir utara Jawa Tengah yang sudah terkenal ke seantero nusantara bahkan Eropa sejak zaman penjajahan. Bahkan Ratu Willhemnia(Belanda) sampai mengagumi ukiran Jepara. Furnitur atau perabotan rumah dengan ukiran-ukiran khas yang menjadi produk unggulan kota itu. Ukiran-ukiran Jepara sudah menembus pasar internasional. Diekspor ke negara-negara di eropa. Suatu kebanggaan untuk negara tercinta ini. Bahwa produk negara kita tak kalah bersaing dengan produk luar negeri. Mengangkat nama Indonesia ke pentas bisnis dan ekonomi dunia. Walau pun hal itu mungkin belum bisa memperbaiki taraf hidup rakyatnya. Tapi paling tidak itu adalah sebuah usaha bekerja keras yang terus dilakukan rakyat dari lapisan yang paling bawah. Lapangan-lapangan kerja akan terus tercipta jika usaha-usaha ukiran itu terus berjalan. Dan tenaga-tenaga terampil akan terus berusaha melestarikan seni dan budaya ukiran-ukiran Jepara.

Sore, selepas ashar perjalanan mereka dimulai. Lima vespa menyisir jalanan kota Magelang ke arah utara. Mas Wawan berboncengan dengan Mbak Een dan Geo yang dibuatkan tempat duduk khusus sedemikian rupa di bagian depan. Ditambah dengan bantal yang empuk agar dia betah dalam perjalanan nanti. Mas Hendra dengan Mbak Gita dengan Piaggio merahnya. Rizki di belakang mereka dengan Piaggio biru. Joni berboncengan dengan Entok. Endro dengan Edi.
Jalanan kota yang masih sedikit basah oleh gerimis membuat debu tidak berterbangan. Mereka melewati jalan raya menuju arah Semarang. Jalanan padat oleh kendaraan-kendaraan besar seperti truk-truk dan bis-bis antar kota. Tak jarang mereka bertemu dengan pengendara vespa lain yang bertujuan sama untuk datang ke acara JSR. Ketika bertemu pengendara vespa lain, biasanya mereka akan saling menyapa dengan klakson atau lambaian tangan. Itu lah salah satu bukti kecil solidaritas scooterist. Tak peduli mereka berasal dari club atau daerah mana. Tak peduli vespa jenis apa yang mereka tunggangi. Batas-batas itu melebur, di jalanan mereka semua merasa sama. Senasib, searah satu tujuan.

Di perempatan Secang yang ramai, mereka harus berhenti menunggu lampu merah. Di sebelah kiri jalan pojok perempatan terlihat beberapa scooterist dari vespa jenis gembel. Salah satu jenis vespa yang ada, dengan ciri khas vespa yang sudah tidak berbentuk. Mereka biasanya membentuk vespanya hanya dari rangka-rangkanya saja. Terlihat kusam dan kumuh karena biasanya ditambah atau digantung macam-macam sampah. Entah apa maksud dan tujuannya. Tapi sesama pecinta vespa semua saling menghargai saja. Satu orang mendekat ke vespa Endro.
“Mas, maaf boleh minta rokok ?” Pemuda berambut gimbal yang mendekat itu meminta.
“Ada, tapi maaf dua batang aja ya mas.” Jawab Endro sambil mengambil rokok di tas sakunya.
“Iya gapapa mas. Matur nuwun.” Pemuda itu tahu berterima kasih juga ternyata,
“Monggo mas.” Endro menyodorkan rokok dua batang.
“Iya, hati-hati mas.” Pemuda itu kembali berlalu ke teman-temannya yang menunggu.
Lampu hijau, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Melewati daerah Bawen, disini adalah jalur pertemuan dari arah Magelang dan Salatiga. Semakin banyak pengendara vespa yang mereka temui di jalan. Saling klakson dan saling melambaikan tangan. Masuk kota Semarang bahkan lebih banyak lagi. Scooterist-scooterist dari Jawa Barat dan Jakarta yang melintasi jalur pantura menyatu di kota Semarang.
 
Mereka rehat sejenak di Tugu Muda Semarang. Hanya untuk sekedar foto-foto dan melepas lelah sambil merokok. Mereka juga meyempatkan berkunjung ke Lawang Sewu. Bangunan peninggalan Belanda yang dibangun tahun 1904 ini memang memiliki banyak pintu dan jendela. Karena itulah masyarakat menyebutnya Lawang Sewu walau pun kenyataannya jumlah pintunya tidak mencapai seribu. Bangunan yang dahulu sudah mengalami berbagai macam fungsi dari zaman Belanda sampai sekarang. Dari menjadi kantor NIS (Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij)  sampai pernah menjadi kantor PT. Kereta Api Indonesia (Persero). Sekarang bangunan itu menjadi jagar budaya dibawah perawatan PT. KAI.
“Ayo kita cari tempat makan dulu.” Ajak Mas Hendra.
“Iya, sudah lapar nih.” Mbak Een menyetujui.
Mereka kembali berkendara menyusuri jalan, melewati Kota Lama. Kawasan bersejarah yang berisi bangunan-bangunan peninggalan zaman Belanda. Jalanan yang bermaterial paving blok membuat kawasan Kota Lama terlihat unik. Bangunan-bangunan tua berarsitektur Eropa masih terlihat kokoh berdiri. Semarang pernah menjadi pusat pemerintahan di zaman penjajahan. Kota yang penuh sejarah.

Mereka melanjutkan perjalanan. Berhenti di sebuah warung pecel sederhana di tepi jalan raya. Soal makan, mereka termasuk tidak terlalu ribet. Sudah terbiasa makan makanan sederhana di warung-warung biasa. Kadang soal makan bisa jadi soal yang rumit bagi orang-orang yang sudah menghamba pada kesenangan. Makan sejatinya hanya untuk memenuhi asupan kebutuhan energi tubuh, sederhana saja. Tapi kalau kita tidak bisa mengendalikan keinginan kita soal makanan, makan bisa berubah menjadi urusan nafsu. Kita akan bingung mencari makanan yang sesuai selera. Dibalik hal itu, nafsu bersembunyi mengatur  diri kita.
 
Warung sederhana itu hanya diisi 2 meja panjang dan 4 kursi yang sama panjangnya. Mereka langsung memesan makanan dan minuman, sambil saling mengobrol menunggu makanan siap disajikan. Lalu dari pintu warung muncul seorang anak laki-laki, mungkin berumur sekitar 10 tahunan. Dengan kaos merah yang lepek, celana pendek yang robek di beberapa bagian. Tanpa alas kaki dan di tangannya membawa sebuah kecrekan yang terbuat dari kayu dan tutup botol.
“Permisi, numpang ngamen.” Anak itu meminta ijin, lalu bernyanyi sambil memainkan kecrekannya.
“Jalan hidup kita berbeda, aku hanyalah punk rock jalanan. Yang tak punya harta berlimpah untukmu sayang.”
Suaranya serak sesekali mengusap keringat di keningnya. Lehernya terlihat naik turun saat memperhatikan Endro sedang menenggak es tehnya yang menyegarkan.
Terdengar teriakan dari balik etalase makanan.
“Keluar sana ! Kamu ganggu pembeli !” Suara ibu warung setengah baya itu mengagetkan “Mboten nopo-nopo kuk Bu, kersane mawon mboten ganggu kuk.” Tegur Mbak Gita halus.
“Cah kuwi kebiasaane memang ngoten niku Mbak, ngrusuhi wong maem.” Ibu warung terlihat kesal.
“Mboten ganggu kuk Ibu.” Mbak Gita tersenyum ke Ibu warung. Lalu mengajak anak itu untuk duduk di sebelahnya. Semua rombongan melihat ke Mbak Gita. Tatapan Mas Hendra yang diiringi senyuman meyakinkan Mbak Gita kalau tindakannya sudah benar dan diterima oleh suami dan teman-teman.
“Duduk sini dik, namamu siapa ?” Tanya Mbak Gita sambil mengulurkan tangannya.
“Antok Mbak.” Jawab anak itu menjabat tangan Mbak Gita sambil menundukkan mukannya yang penuh cemong. Anak lelaki itu terlihat pemalu. Menunduk sesekali mengusap keringat di wajahnya. Semarang memang kota yang panas walaupun malam hari.
“Cuci muka di belakang sana dik. Mbak pesenin makanan ya, makan bareng-bareng sama teman-teman Mbak.” Ajak Mbak Gita. Lalu Antok menaruh kecrekannya di meja dan bergegas minta ijin ke Ibu warung untuk numpang cuci muka. Ibu warung hanya menjawab pendek sambil masih menyiapkan makanan pesanan mereka.
 
Setelah makanan siap, mereka semua makan bersama dengan lahap. Perjalanan dari Magelang membuat mereka lapar. Selesai makan mereka masih istirahat lama di warung untuk menikmati rokok. Mbak Gita mangajak Antok untuk mengobrol.
“Umurmu berapa dik ?”
“12 tahun Mbak.” Antok sambil menyedot es tehnya.
“Tinggal dimana kamu ?
“Di Banyubiru Mbak.”
“Wah jauh lho dari sini.” Mbak Gita Heran.
“Iya Mbak, saya gak setiap hari pulang Mbak.”
“Loh terus kamu tidur dimana ?”
“Tidur di emperan masjid atau emperan toko Mbak.”
Mbak Gita terihat terenyuh. Yang lain hanya memandangi sambil menghembuskan asap rokoknya.
“Keluargamu di rumah ? Orang tuamu ?” Mbak Gita terlihat penasaran.
“Hanya Ibu dan Adik.” Antok menjawab dengan singkat.
“Ibu kerja ? Bapakmu dimana ? Adikmu umur berapa ?” Mbak Gita tambah ingin tahu. Mencoba bertanya dengan tetap tersenyum agar Antok merasa nyaman.
“Ibu kerja jadi buruh cuci. Bapak pergi gak kembali Mbak. Adikku perempuan umur 7 tahun, mau masuk SD kelas 1 Mbak.” Antok tersenyum ketika berbicara soal adiknya.
“Lha kamu gak sekolah ?”
“Enggak Mbak. Biar adik saja yang sekolah nanti, kasihan dia kalau harus ikut kerja Mbak.”
Antok tersenyum menampakkan keluguannya. Sekeras apapun kehidupan jalanan, dia tetaplah seorang anak kecil. Yang seharusnya menikmati dunia bermain yang penuh keceriaan. Tapi dia malah berpeluh keringat dari pintu ke pintu, dari bis ke bis. Tidur di sembarang tempat, terpisah dari ibu dan adiknya. Jiwanya tetap jiwa kanak-kanak yang lugu, tapi pikirannya sudah berproses menuju kedewasaan. Dia rela meninggalkan bangku sekolah dan mencari uang di jalanan untuk membantu ibunya dan sekolah adiknya.
Rizki terlihat melamun memandang Mbak Gita dan Antok.
Mas Hendra menyenggolnya, “Bersyukurlah kamu Riz, masih bisa mengeyam pendidikan walau hanya sampai SMA. Tak perlu kamu iri pada orang-orang yang bisa menikmati bangku universitas. Masih banyak orang yang bahkan untuk melanjutkan SD atau SMP saja sudah tidak mampu.” Mas Hendra mematikan rokoknya.
“Iya mas.” Rizki menenggak habis es tehnya.
“Mari lanjutkan perjalanan.” Mas Wawan memimpin rombongan sambil menggendong Geo.
Selesai membayar makanan, semua bersiap melanjutkan perjalanan ke Jepara.
“Dik, ini untuk kamu makan besok.” Mbak Gita memberi Antok selembar uang warna hijau. “Hati-hati ya.”
“Iya Mbak. Matur nuwun sanget nggeh Mbak.” Antok berterima kasih lalu pamit.

Perjalanan dilanjutkan. Vespa mogok itu hal biasa, ya itulah seni dari touring. Vespa Endro yang paling sering mogok.
“Vespa mogok itu salah satu ujian bagi scooterist. Dalam keadaan seperti itu skill kita benar-benar diuji. Jalanan adalah tempat ujian yang nyata, bukan di bengkel. Haha.” Mas Wawan menjelaskan sambil tertawa. Tangannya hitam terkena oli. Dia adalah mekanik vespa yang handal. Puluhan tahun dia bermain dan menangani bermacam jenis vespa.
 
Jam 9 malam mereka tiba di Pantai Bandengan-Jepara. Sepanjang jalan menuju pantai sudah dipenuhi para scooterist yang tiba lebih awal. Mereka memakai segala tempat untuk beristirahat dan tidur. Emperan toko, emperan masjid atau mushola, pos ronda, teras rumah warga, mendirikan tenda di sekitar pantai. Bagi yang berkantong tebal mungkin lebih memilih kamar penginapan. Rombongan Rizki langsung menuju dekat pantai. Mereka mendirikan 2 tenda doom besar berhadapan diatas pasir pantai. Alat masak disiapkan, air direbus lalu kopi disajikan. Malam cerah, angin berhembus dingin. Mereka menghabiskan waktu mengobrol sampai tengah malam, ditemani kopi dan cemilan-cemilan.
“Setiap orang mungkin punya impian Riz. Impian soal apapun.” Mas Wawan membuka.
“Iya mas. Apa impian Mas Wawan ?” Rizki mengambil kacang.
“Aku pernah punya impian ngeNol. Itu istilah yang digunakan para scooterist untuk melakukan touring ke titik Nol kilometer di Sabang. Batas negara kita di ujung paling barat.” Mas Wawan merapatkan jaketnya.
“Gak pengen diwujudkan Mas ?” Rizki penasaran.
Mas Wawan tersenyum. Teman-teman yang lain menunggu jawaban Mas Wawan sambil menikmati rokoknya masing-masing.
“Tidak semua impian bisa atau harus diwujudkan Riz. Kadang kita harus menyadari batas-batas diri kita sendiri. Menembus batas diri itu memang sebuah keberanian yang bagus. Tapi kita juga harus bisa memilih-milih batas mana saja yang boleh ditembus. Karena banyak pertimbangan dan hal yang harus dipikirkan sebelum kita mengejar impian. Memang ada hal-hal yang layak dikorbankan untuk mewujudkan impian. Tapi ada juga hal-hal yang pantas dipertahankan, walau pun kita harus memendam impian.” Mas Wawan menghela nafas, menghembuskan asap rokok kuat-kuat. Mbak Een disampingnya menyandarkan kepala ke pundaknya. Geo sudah tertidur di dalam tenda. Semua mengerti jawaban Mas Wawan.
Entok tiba-tiba berteriak sambil mengangkat botol air mineral yang isinya, tentu saja ciu.
“Mari bersulang untuk kebahagiaan keluarga!!!”
Semua tertawa terkaget oleh kelakuan Entok, “Hahahahaha….!!!”
Ciu diputar bergantian oleh Entok, Endro, Joni dan Edi. Semalam suntuk mereka mabuk. Sampai tertidur beralaskan pasir pantai di luar tenda.

Pagi. Matahari perlahan memberi kehangatan. Mas Wawan dan Mbak Een sudah bermain air di tepi pantai bersama Geo. Pantai Bandengan yang tanpa ombak memang relatif aman untuk bermain walaupun untuk anak kecil. Mas Hendra dan Mbak Gita hanya duduk-duduk di depan tenda sambil menikmati teh hangat. Pemuda-pemuda mabuk masih tergeletak dengan mimpinya. Rizki menyusul keluarga sederhana itu ke tepi pantai.
“Om Rizki, Om Rizki, sini, air, air.” Geo berceloteh memanggil-manggil Rizki.
Rizki berlari ke arah Geo dan langsung mengangkatnya ke udara. Dia lempar Geo seolah akan menerbangkan bocah lucu itu, lalu menangkapnya. Bocah itu malah tertawa senang dan minta diterbangkan lagi.
Lalu mereka bermain pasir. Rizki mengajak Geo membuat rumah-rumahan dari pasir, tapi bocah itu malah terus merusaknya sambil tertawa tanpa merasa bersalah. Itulah dunia anak-anak. Mereka tak peduli benar salah. Yang ada hanya antusiasme bermain. Sekali pun mereka melakukan kesalahan, mereka tak peduli. Bisa jadi mereka malah menertawakan kesalahan mereka. Bermain lagi dan tertawa lagi. Pagi di Pantai Bandengan Rizki menemukan keceriaan dan antusiasme anak-anak. Anak-anak yang hidup tanpa memikirkan masa lalu atapun masa depan. Anak-anak yang hanya fokus dengan apa yang dia lakukan saat itu. Geo terus asik dengan air dan pasir pantai.

JSR selalu dimeriahkan oleh panggung hiburan. Musik reagge adalah salah satu identitas kaum scooterist. Malam kedua di Pantai Bandengan, pemuda-pemuda itu mengajak Rizki untuk menikmati konser musik reagge yang digelar. Entok sudah kembali menyiapkan amunisi, begitulah mereka menyebutnya. Alkohol murahan yang bisa membuat mereka melayang. Di acara JSR banyak scooterist yang sengaja membawa berjerigen-jerigen ciu untuk mereka jual di acara dengan kemasan botol air mineral. Dan tentu saja yang paling diminati adalah ciu Bekonang. Scooterist-scooterist asal Solo biasa memanfaatkan peluang ini. Lumayan untuk nambah uang saku di jalan, kata mereka.

Kerumunan sudah berjejal di depan panggung. Aroma keringat membaur dengan asap rokok dan bau alkohol. Bahkan aroma ganja pun tercium terang-terangan. Rizki sudah hafal dengan aroma itu. Masa lalunya tak lepas dari daun kebahagiaan  itu. Dia pernah menghabiskan waktu berminggu-minggu di tempat kos seorang temannya di Bandung. Hampir setiap hari temannya menghisap ganja, dari situ Rizki hafal dengan aroma ganja.
“Rizki, cobain ini !” Entok menawarkan rokok yang terlihat sangat kecil.
“Ah, dapat dari mana dia?” Pikir Rizki.
“Ayolah Riz, kamu kan gak minum alkohol. Kamu cobain ini aja.” Desak Entok.
“Bentar lagi Steven main. Kita nikmati musik sambil menghisap daun kebahagiaan ini sama-sama Riz.” Ajak Joni, pemuda lugu itu mungkin sedang stress karena belum juga mendapat pekerjaan meskipun dia seorang sarjana.
“Oke lah.” Entah setan dari mana yang merasuki Rizki. Dia ikut menghisap walau dengan terbatuk-batuk karena belum terbiasa.
Lalu serentak pemuda-pemuda mabuk itu berteriak “Uyeeeee…..!!!” sambil mengangkat tangan mereka.

Steven mulai tampil diiringi bandnya. Semua orang yang berada disitu serentak girang.
 “Yoo man…kita berpesta bersama dan mari berdansa dalam damai, uyeeee!!!” Steven menyapa semua orang yang hampir separuhnya mungkin sudah teler oleh alkohol dan ganja. Entah minuman apalagi selain ciu, atau narkotika apa lagi yang beredar selain ganja. Tak bisa dipungkiri dalam setiap acara seperti itu pastilah ada saja oknum-oknum yang lolos dari keamanan dan memanfaatkan situasi untuk berdagang barang-barang haram itu. Panitia acara yang terbatas tak mungkin bisa menangani seluruh peserta JSR yang datang dari hampir seluruh scooterist sepulau Jawa ini.

Musik mulai dimainkan. Steven membawakan lagu Semua Sama. Mengajak semua penonton untuk ikut bernyanyi.

Dan yang penting bukankah kita semua sama
Tiada yang berbeda
Semuanya punya rasa cinta
Dan yang penting bukankah kita semua sama
Tiada yang berbeda
Semuanya saling bersaudara

Semua orang-orang yang ada disitu seolah-olah diingatkan. Bahwa hakekatnya semua manusia itu sama dan bersaudara. Seperti pesan yang selalu dibawa oleh para scooterist “Satu vespa sejuta saudara.”
Pemuda-pemuda itu kembali mabuk malam itu. Rizki pun juga melayang karena ganja. Mereka sempoyongan kembali ke tempat camping mereka di pantai. Mas Wawan dan Mas Hendra masih menikmati kopi di depan tenda.
“Kalian memang gila.” Ujar Mas Wawan.
“Tidur sana !” Mas Hendra merapikan matras-matras.
“Kamu ikut mabuk Riz ?” Tanya Mas Wawan penasaran.
“Enggak Mas. Cuma sedikit pusing aja.” Mata Rizki terlihat merah.
“Yaudah tidur sana. Entok pasti tersangkanya ini !” Mas Wawan memandang Entok, yang hanya dibalas dengan senyuman mabuk.

Pagi sedikit mendung. Rizki terbangun dengan kepala yang masih terasa pusing. Dia minum air putih banyak-banyak. Yang lain belum terbangun. Langit masih sedikit gelap. Rizki berjalan mendekat ke pantai. Ombak Laut Jawa tak terlalu besar. Hanya riak-riak kecil yang menyapu pantai. Rizki duduk bersandar ke pohon kelapa. Dia memandang jauh ke cakrawala. Kepalanya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan. “Akan kubawa kemana hidupku ?” “Seperti apa masa depanku ?” “Apakah aku akan menemukan cinta dan kebahagiaan ?” “Apakah aku masih ingin melanjutkan perjalanan ?” “Apa yang aku cari dalam perjalanan ini ?” “Bagaimana aku akan mempertanggungjawabkan hidupku pada Tuhan ?”
Rizki tambah pusing. Suara riak ombak masuk ke telinganya. Lautan dan hamparan pasir pantai memenuhi penglihatannya. “Bukankah keindahan pantai tercipta karena adanya batas antara lautan dan daratan ?” pikirnya. “Jadi batas-batas diriku ini juga adalah sebuah keindahan.”


(Ini adalah cerita fiksi yang saya tulis tahun 2015 lalu, saya merasa sayang untuk menyimpannya sendiri. Tulisan sederhana ini saya dedikasikan untuk orang-orang yang saya temui dalam perjalanan hidup saya)