17 Mei 2014

Ikhlas(kah) ?

Ini tentang seorang tokoh masyarakat. Beliau adalah seorang pensiunan guru. Seorang haji juga,entah haji berapa kali. Mempunyai kebun dan sawah yang luas. Setelah pensiun jadi guru kini hari-harinya diisi dengan mengurus kebun di belakang rumahya yang ia tanami berbagai macam tanaman. Pada suatu hari,beberapa ekor kambing tetangga lepas dan memekan daun-daun tanaman dikebunnya. Ketika ia keluar dari pintu belakang rumahnya dan memergoki kambing-kambing yang sedang asyik makan itu,ia pun berteriak-teriak mengusir kambing-kambng yang dianggapnya lancang itu,sambil membawa parang. Aku melihat kejadian itu dari balik jendela kamarku yang letaknya berhadapan dengan kebunnya. Aku berpikir,jendela kaca kamarku ini sepeti layar televisi yang sedang memutar film dengan adegan "pak haji galak". Beberapa hari kemudian,ada seorang bapak paruh baya datang ke halaman rumahku karena kebetulan bapakku sedang duduk-duduk di teras rumah bersama adik-adikku. Aroma alkohol menguap ke udara keluar dari mulut bapak paruh baya itu. Dengan nada penuh emosi ia bicara,bertanya "siapa yang melaporkan aku ke kantor polisi,hanya karena kambing-kambingku memakan tanamannya??". Adikku sampai takut dibuatnya, bapakku meladeninya dengan tenang untuk mencari informasi lebih lanjut tentang hal itu. Dan ternyata memang benar bahwa Pak Haji itu telah melaporkan si pemilik kambing ke kantor polisi. Dari kejadian itu aku berpikir, apa masyarakat di kampungku ini sudah kehilangan kerukunannya? Aku tidak ingin bicara siapa benar - siapa salah. Seorang pensiunan guru yang hidupnya sudah berkecukupan dan bahkan seorang haji pula,belum bisa ikhlas melihat tanamannya dimakan kambing. Bahkan skarn kebunnya dipagar dngan rantng-ranting bambu. Mungkin ituatulah salah sifat orang kaya atau orang yang merasa memiliki;Takut kehilangan. Sementara si pemilik kambing pun juga keterlaluan,ia lebih memilih mabuk-mabukan daripada mencarikan makan untuk kambingnya. Satu hal yang coba aku ambil dari kejadian itu, keikhlasan itu memang sebuah hal yang sulit diterapkan. Orang yang sudah tua dan harusnya sudah kenyang dengan kehidupan saja belum bisa menerapkannya, apalagi aku yang masih muda ini. Aku masih harus banyak belajar tentang ilmu ikhlas.

24 April 2014

Sebuah cerita dari Teman dan Pak Lurah

cerita dari seorang teman...

Kemarin,temanku menemui Pak Lurah desa kami untuk mengambil buku di rumahnya. Beberapa buku itu diserahkan untuk Rumah Baca Edelweis. Di sela-sela obrolan tentang buku itu, Pak Lurah malah curhat tentang pekerjaanya. Beliau menjabat Lurah baru 3 bulan, dan katanya belum dapat gaji. Beliau bingung entah gajinya per 3 bulan atau 6 bulan. Temanku itu menahan tawa dalam hati. Lalu pak Lurah meneruskan ceritanya,bagaimana beliau selalu menambal biaya setiap Kelurahan mengadakan acara dan setiap ada kunjungan dari pusat. Cerita pak Lurah terus meluas ke dalam hal Pajak Bumi dan Bangunan yang datanya tidak jelas.
Mendengar cerita temanku ini aku merasakan dua hal, kasihan dan muak dengan pemerintahan di desaku. Kasihan karena pak Lurah yang baru ini harus menanggung (mungkin) kesalahan-kesalahan dari pemerintahan yang lama. Muak karena pak Lurah ini baru menjabat 3 bulan saja sudah banyak mengeluh soal gaji. Sebenarnya apa niat awal beliau ini menjadi Lurah, untuk mengabdi pada masyarakat atau untuk mencari penghasilan atau hanya sekedar mengejar status sosial belaka ??

Catatan ini dibuat tidak untuk tujuan macam-macam, tapi hanya untuk membuka mata hati kita.

12 April 2014

Si Budi

  Aku ingin sedikit bercerita tentang seorang teman. Namanya adalah budi, teman kerjaku di pabrik. ya,kami memang seorang buruh. Budi masih sangat muda umurnya baru 19 tahun,jauh dibawahku. Dia baru lulus dari sekolah SMK tahun lalu. Selepas lulus dia langsung bekerja. Pernah jadi kuli bangunan dan pernah juga bekerja di pabrik tabung gas. Sampai akhirnya dia bertemu aku di tempat kerja yang sekarang.
Budi adalah orang yang mudah bergaul,dia suka berbicara terbuka,bahkan jujur apa adanya. Karena sifatnya itulah dia cepat akrab denganku. Kami suka ngobrol tentang apa saja, tentang hobinya mengotak-ngatik motor. Atau tentang pengalaman hidupku,yang selalu dia simak dengan antusias. Aku selalu berusaha jujur setiap bercerita dengannya. Dia paling suka dengan cerita naek gunung,karena itu salah satu keinginannya tapi belum tercapai. Tentang pengalamanku menghisap asap ganja, tentang wanita dan banyak lagi. Budi pun selalu terbuka bercerita tentang hidupnya. Setiap hari senin dia biasanya akan bercerita tentang malam minggunya yg dihabiskan dengan mabuk. Aku juga suka mendengar keluhannya tentang uangnya yang habis untuk motor. Tapi kadang kami juga sholat bersama,walaupun entah kemarinnya dia minum alkohol atau tidak, aku tidak pernah mempermasalahkannya.
Budi,adalah seorang pemuda yang mengajarkanku tentang keterbukaan dan kejujuran, terutama pada diri sendiri. Tak peduli betapa pun buruk kelakuan kita. Dengan jujur pada diri sendiri dan orang lain kita akan merasa bebas.
Sore tadi Budi memberikanku satu pelajaran berharga lagi,disaat teman-teman mengeluh soal pekerjaan. Dia berkata "nikmati aja bro, hidup itu seperti kopi, pahit, tapi jika kita bisa meresapinya,pasti akan terasa nikmat", dia berkata sambil tertawa, aku pun ikut tertawa bersamanya.

sidiq
12/04/14

20 Maret 2014

Besar-Kecil

"dan di dalam kehidupan,kenyataannya harus ada besar dan kecil" (iwan fals)

Beberapa hari lalu temanku bercerita tentang obrolannya dengan tetanggannya seoarang ibu yang anak-anaknya sudah termasuk sukses(menurut dia),karena anak-anaknya itu menjadi pegawai pemerintahan semua. Begini obrolannya di suatu siang,
si Ibu : "tamu-tamu yang bakal datang di nikahan anakku pasti orang-orang besar semua nanti." kata ibu itu sambil tersenyum.
Temanku: : "apa iya bu ?" tanya temanku menggoda.
 si Ibu :  "ya iya ,lha teman-teman anakku itu kan pegawai,orang besar semua.
Temanku : "lha iya pasti orang besar tho bu,kalo orang kecil itu kayak anak saya yang masih ngompol itu.,hehe" ledek temanku sambil tertawa.
Ibu itu langsung pasang muka cemberut.

Dalam pandangan ibu itu mungkin Orang Besar adalah orang yang status sosialnya tinggi seperti PNS atau orang yang kaya harta(mungkin). Sedangkan orang-orang yang hidup pas-pasan,misal buruh atau pekerja kasar mungkin dia menyebutnya sebagai Orang Kecil. Kita mungkin juga punya pandangan seperti itu di dalam masyarakat.Tapi guyonan temanku tadi jadi membuka mataku dalam memandang manusia. Memang benar kata dia Orang Kecil adalah Bocah,dan Orang Besar adalah orang Dewasa. tak perlu lah kita mengkotak-kotakkan orang berdasarkan status sosialnya di dalam masyarakat. Bukankah Tuhan memandang semua manusia itu sama,tidak berdasarkan status,derajat,pangkat,atau pun kekayaannya ? Bukankah Dia hanya membedakan kita dari hubungan vertikal kita kepadaNYA ? Kenapa kita yang hanya seorang manusia berani membeda-bedakan manusia lainnya ? Perbedaan itu memang akan tetap ada,tapi mungkin akan lebih baik jika hal itu tidak dipermasalahkan bukan ? Mungkin  justru lebih baik dijadikan sebuah alasan agar kita tetap bersyukur.

Di akhir tulisan yang tidak penting ini mungkin lebih baik saya menyimak lagu dari Dialog Dini Hari...
Tanah yang ku injak sama sepertimu,
Langit yang ku junjung sama sepertimu,
Aku tak berbeda darimu...
Udara yang kau hirup, ku hirup juga,
Dingin yang kau rasa, kurasakan sama,
Kita tak terlihat beda....
Aku adalah kamu, Manusia yang sama....

28 Februari 2014

Bahagia itu...Sederhana

Bahagia itu...
Ketika ibu membangunkanku saat pagi
Ketika ayahku yang cerewet sedang bercerita
Ketika mendengar teriakan-teriakan adikku yang nakal
Ketika melihat tempe di meja makan

Bahagia itu...
Saat aku masih bisa menghirup oksigen
Saat angin menerpa wajahku
Saat keringat menetes ketika aku bekerja
Saat aku masih bisa melihat Lawu, Merapi dan Merbabu dari desaku
Saat kaki ini mengayuh sepeda

Bahagia itu...
Ketika membaca buku
Ketika nonton film
Ketika mendengarkan lagu Dialog Dini Hari
Ketika minum kopi bersama teman-teman
Ketika ngobrol apa saja menghabiskan malam

Bahagia itu...
Saat aku masih bisa melihat senyuman Bunga dan Cahaya

Bahagia itu...Sederhana

28/02/2014

23 Januari 2014

14-01-14


“Yang bisa dilakukan seorang makhluk bernama manusia terhadap mimpi-mimpi dan keyakinannya adalah mereka hanya tinggal mempercayainya”  (Dhonny Dirgantara-5 CM)
                                                                    
Aku adalah orang kecil yang selalu mempunyai impian-impian yang bisa dikatakan terlalu muluk. Di tengah kehidupanku yang masih belum menentu dan pekerjaan yang masih saja belum jelas, otakku terus saja mengangankan hal yang terlalu tinggi untuk diwujudkan. Tapi bukankah di dunia ini semua hal bisa terjadi? Aku percaya aku bisa mewujudkan mimpi. Bukankah aku  pun pernah mewujudkan sebuah impian yang bagiku sulit (bagi kebanyakan orang mungkin itu hal yang mudah), yaitu pergi ke Rinjani? Aku berhasil membuat hal itu menjadi nyata, walau konsekuensi yang aku dapat adalah kehilangan pekerjaan.

Dan kali ini aku mempunyai sebuah impian, yaitu merintis sebuah rumah baca di kampungku. Ya, selain naik gunung, salah satu kesukaanku yang lain adalah membaca buku. Walaupun buku-buku yang kubaca adalah buku yang dianggap kurang penting bagi sebagian orang, tapi bagiku pribadi itu adalah hal yang menyenangkan. Ketika aku punya banyak waktu luang dan aku gunakan untuk membaca, aku merasa waktuku tidak terbuang percuma dalam hidup. Pasti ada suatu hal, walau sekecil apapun, yang bisa didapat dari membaca. 

Di kampungku memang belum terdapat sarana seperti perpustakaan atau rumah baca. Selama ini aku bisa mendapatkan buku dengan meminjam secara gratis dari sebuah perpustakaan umum di kota yang letaknya jauh dari kampungku. Memang di sekolah-sekolah atau kampus pasti ada sebuah perpustakaan. Tapi aku berpikir, bagaimana dengan masyarakat umum yang ingin membaca tapi tidak mampu membeli buku sepertiku? Itulah salah satu alasan kenapa aku ingin ada sebuah rumah baca di kampungku.

Terus terang dari dulu aku terinspirasi oleh Gola Gong dengan Rumah Dunia-nya. Tapi aku sadar akan kemampuanku yang terbatas. Jadi aku hanya ingin melakukan suatu hal yang sesuai kadar kemampuanku, merintis rumah baca yang sederhana tapi bisa bermanfaat. Sebagian temanku bilang aku akan sulit mewujudkannya, karena minat baca masyarakat di kampungku cukup rendah. Bahkan ada juga teman yang malah mencibirku. Tetapi menurutku, justru karena rendahnya minat baca itulah yang membuatku bersemangat untuk mewujudkan rumah baca. Aku berharap rumah baca tersebut akan menjadi tempat bagi orang-orang di kampungku mengakses buku-buku bacaan. Walaupun dengan kemampuan terbatas dan dengan dukungan dari sedikit teman, aku yakin akan tetap bisa mewujudkan impian ini. Entah kapan pun itu.




Aku teringat Dhonny Dirgantara, bahwa yang perlu dilakukan manusia terhadap mimpi hanyalah tinggal mempercayainya. Maka aku akan tetap mempercayai mimpi-mimpiku dan terus berusaha untuk membuatnya menjadi nyata. Aku hanya ingin membuat hidupku sedikit lebih bermakna. Seperti kata-kata Albert Einstein, “bekerja keraslah, bukan untuk menjadi sukses, tapi untuk menjadi bermakna”

9 Januari 2014

Stasiun Kereta

  Lihat berita di tv hari ini :
"pedagang-pedagang asongan di stasiun kereta api Jombang dilarang masuk ke dalam stasiun dan dilarang berjualan di dalam gerbong kereta api. 'penertiban' ini menyebabkan bentrok antara pedagang dan petugas keamanan. Para pedagang yang didorong mundur oleh petugas keamanan stasiun tersulut emosinya dan melemparkan barang-barang dagangan mereka ke arah petugas".

Aku adalah salah satu orang yang menyukai transportasi kereta api. Beberapa waktu lalu aku sempat ngobrol dengan seorang pedagang angkringan di depan stasiun Jebres-Solo. Saat itu aku sedang menikmati secangkir kopi susu sambil menunggu hujan reda. Bapak paruh baya itu memulai obrolannya dengan bertanya basa-basi padaku,mau kemana? Mungkin untuk sekedar mengusir sunyi di warungnya yang sepi. Lalu Bapak itu mulai bercerita soal peraturan-peraturan baru tentang kereta api. Pembelian tiket dengan sistem online dan boking. Harga tiket yang naik. Pedagang-pedagang asongan yang dilarang berjualan. Menurut Bapak itu orang kecil seperti mereka lah(sepertiku juga) yang menjadi korban dari peraturan-peraturan baru itu.
"Kita ini sebenarnya di adu domba mas" kata Bapak itu,lalu dia menjelaskan maksudnya padaku yang kelihatan bingung dengan peryataannya tadi.
Maksud Bapak itu adalah pedagang-padagang asongan dan petugas keamanan stasiun yang sama-sama rakyat kecil itu bentrok karena mempertaruhkan nasibnya masing-masing. Para pedagang asongan itu ingin tetap berjualan di kereta untuk menyambung hidup,sedangkan petugas-petugas keamanan itu harus menuruti perintah atasan mereka yang berdalih 'penertiban' itu agar mereka tetap mempunyai pekerjaan.

Sambil sesekali menyeruput kopiku,aku masih mendengarkan keluhan-keluhan Bapak itu. Memang sebagian kalangan(terutama menengah ke atas) menilai peraturan-peraturan baru itu adalah sebuah kemajuan. Tapi bagi sebagian pihak lain(terutama pedagang asongan) menganggapnya sebagai penindasan. Bagiku pro dan kontra adalah sebuah hal yang wajar. Tapi pastilah ada cara yang lebih bijak untuk menyelesaikan masalah itu. Toh selama ini para penumpang bisa berdampingan dengan para pedagang asongan,walau pun pasti ada sebagian penumpang yang tidak suka dengan kehadiran mereka. Misalnya,selama ini banyak para penumpang yang lebih  memilih membeli kopi pada para pedagang asongan yang harganya lebih murah daripada membeli di restoran dalam gerbong kereta.

Kereta ekonomi adalah transportasi rakyat kecil di negara ini yang murah meriah,dulu. Gerbong kereta adalah denyut nadi kehidupan bagi mereka para pedagang asongan. Kalau harga tiket kereta semakin mahal,apalagi yang bisa dinikmati rakyat kecil di negara ini jika transportasi murah kini tak ada. Dan kalau para pedagang asongan dilarang berjualan,apalagi harapan hidup mereka jika gerbong kereta tempat mereka menyambung hidup tak boleh mereka injak lagi.

Gerimis sore itu tak kunjung reda. Sampai segelas kopiku habis. Dan aku pun pergi dari warung itu setelah mendapatkan senyuman tulus yang menyimpan harapan dari Bapak pedagang angkringan di depan stasiun itu.