17 November 2014

Arti Penting Sebuah Gelar (Paulo Coelho)



 Arti Penting Sebuah Gelar

Penggilingan tua milik saya terletak di sebuah desa kecil di Perancis, dijejeri pepohonan yang memisahkannya dengan pertanian di sebelah. Kemarin tetangga saya datang berkunjung. Umurnya pasti sudah sekitar tujuh puluh tahun. Kadang-kadang saya melihat dia dan istrinya bekerja di ladang, dan menurut pendapat saya sudah waktunya mereka pensiun.

Tetangga saya itu orang yang sangat menyenangkan, tetapi dia berkata kepada saya bahwa daun-daun dari pepohonan saya berguguran di atapnya dan saya sebaiknya menebang saja pohon-pohon itu.
Saya terkejut sekali. Bagaimana bisa orang yang sudah seumur hidupnya bekerja begitu dekat dengan Alam, meminta saya menebang pohon-pohon yang memerlukan waktu begitu lama untuk tumbuh, hanya karena sepuluh tahun mendatang pohon-pohon itu mungkin akan menimbulkan masalah pada atap rumahnya.

Saya undang dia minum kopi. Saya katakan bahwa saya akan bertanggung jawab sepenuhnya, dan seandainya suatu hari nanti daun-daun itu(yang tentunya akan hilang tertiup angin dan musim panas) benar-benar menimbulkan kerusakan, saya akan membayar ganti rugi kepadanya supaya dia bisa memasang atap baru. Tetangga saya berkata usulan itu tidak menarik minatnya, dia ingin saya menebang saja pohon-pohon itu. Saya menjadi agak marah, dan saya katakan bahwa lebih baik saya beli saja pertaniannya itu.
“Tanah saya tidak dijual,” sahutnya.
“Tapi dengan uang hasil penjualan itu, anda bisa membeli rumah bagus di kota dan menghabiskan masa tua anda disana bersama istri anda, anda tidak perlu lagi mengalami musim-musim dingin yang berat ataupun gagal panen.”
“Pertanian saya tidak untuk dijual. Saya lahir dan dibesarkan disini, dan saya sudah terlalu tua untuk pindah.”

Dia menyarankan saya memanggil seorang ahli dari kota, untuk menaksir situasinya dan mengambil keputusan, dengan demikian kami sama-sama tidak usah saling mendongkol. Bagaimanapun kami bertetangga.

Setelah dia pergi, reaksi spontan saya adalah mengecapnya sebagai orang yang tidak sensitif dan tidak mempunyai rasa hormat terhadap Bumi. Tetapi kemudian saya penasaran, Kenapa dia tidak mau menjual tanahnya ? Dan menjelang penghujung hari itu, saya sadari penyebabnya : seluruh hidupnya hanya berisi satu cerita, dan tetangga saya tidak mau mengubah cerita itu. Pindah ke kota berarti terjun ke dalam dunia yang masih asing baginya, dunia yang memiliki nilai-nilai berbeda, dan barangkali dia menganggap dirinya sudah terlalu tua untuk itu.

Apakah hanya tetangga saya yang mengalami hal seperti itu ?Tidak, saya pikir hal ini dialami setiap orang. Kadang-kadang kita begitu terikat pada cara hidup kita, sehingga kita menolak sebuah kesempatan yang sangat bagus, hanya karena kita tidak tahu mesti diapakan kesempatan itu. Dalam kasus tetangga saya, pertanian miliknya dan desa tempat tinggalnya adalah satu-satunya tempat yang dia kenal, dan dia tidak mau mengambil risiko-risiko apapun. Sedangkan mengenai orang-orang yang tinggal di kota, mereka semua meyakini bahwa mereka harus mengantongi gelar akademis, menikah, mempunyai anak-anak, menyekolahkan anak-anak mereka sampai menyandang gelar juga, dan seterusnya, dan seterusnya.Tidak ada yang bertanya pada diri sendiri, “Bisakah aku melakukan sesuatu yang beda?”.

Saya ingat, tukang cukur saya bekerja siang malam supaya anak perempuannya bisa lulus universitas dan memperoleh gelar. Akhirnya anak itu lulus, lalu mencari lowongan kerja kemana-mana, dan akhirnya mendapatkan pekerjaan sebagai sekretaris di sebuah pabrik semen. Tetap saja tukang cukur saya berkata dengan sangat bangga, “Anak perempuan saya punya gelar.”

Sebagian besar teman saya, dan sebagian besar anak-anak mereka, juga mempunyai gelar. Tetapi belum tentu mereka berhasil mendapatkan pekerjaan yang mereka inginkan. Sama sekali tidak. Mereka masuk universitas karena seseorang berkata,”pada masa-masa masuk universitas sangatlah penting, bahwa supaya mendapatkan tempat yang mapan di dunia, orang mesti mempunyai gelar.” Dengan demikian, dunia kehilangan kesempatan untuk memiliki orang-orang yang sebenarnya adalah tukang-tukang kebun yang hebat, tukang-tukang roti, pedagang-pedagang barang antik, pematung-pematung, dan penulis-penulis. Barangkali inilah saatnya untuk merenungkan kembali keadaan tersebut. Para dokter, insinyur, ilmuwan, dan pengacara memang perlu belajar di universitas, tetapi apakah setiap orang juga perlu berbuat demikian? Biarlah bait-bait puisi Robert Frost ini memberikan jawabannya:

Dua jalan bercabang di dalam hutan, dan aku....
Kupilih jalan yang jarang ditempuh,
Dan perbedaannya besar sungguh.

Itu sekedar penutup untuk cerita tentang tetangga saya. Juru taksir itu datang dan saya tercengang ketika dia memberitahukan bahwa menurut aturan hukum Prancis, sebatang pohon harus berjarak setidaknya tiga meter dari properti lain. Pohon-pohon saya jaraknya hanya dua meter, jadi semuanya harus ditebang.


(Seperti Sungai Yang Mengalir-Paulo Coelho)

5 November 2014

Kembang Perjalanan



  Siang yang terik di sebuah kota di bumi Pasundan. Aku berada di dalam bis antar kota yang masih berhenti menunggu penumpang datang. Beberapa hari ini pikiran dan perasaanku benar-benar terkuras oleh hal yang harus kuhadapi. Tubuh seakan remuk redam oleh perjalanan ini. Sinar matahari masuk dari kaca jendela bis membuat udara semakin panas. Kubasahi tenggorokanku yang kering dengan air mineral. Air adalah bagian dari surga dunia. Setiap makhluk hidup membutuhkan air. Tapi air di bumi semakin terkuras dan tercemari. Ah, beruntunglah aku masih bisa merasakan segarnya air bersih. Nikmat Tuhan.

   Di sebelahku duduk seorang perempuan muda, dengan jaket biru laut dan berkerudung hitam memangku tas ranselnya. Wajahnya bersih dan terlihat kalem. Mungkin tipikal perempuan sunda, batinku. Kami hanya sama-sama terdiam. Aku termangu tak berani menciptakan sebuah obrolan. Aku hanya bermain-main dengan pikiranku sendiri. Mungkin pengalaman yang kurang mengenakkan yang baru saja aku alami kemarin membuatku minder.
    Lalu seorang bapak tua berkemeja abu-abu dengan gitar yang terlihat sama tuanya masuk ke dalam bis. Rambutnya rata beruban, wajahnya hitam kemerahan tanda terlalu sering tersengat terik matahari. Aku memandanginya dengan seksama, tapi beliau tidak tau. Pikiranku bertanya-tanya, lagu apa gerangan yang akan dimainkannya ? Setelah mengucap salam dan memohon ijin pada penumpang untuk sedikit mengganggu, jari jemari yang mulai keriput itu mulai memetik senar gitarnya. Aku tercenung, tertawa dalam hati,senang demi mendengarkan alunan lagu Manusia Setengah Dewa yang dilantunkan bapak itu. Rasanya petikan gitar itu menjadi penyegar udara di dalam bis yang panas ini. Selesai satu lagu bapak itu melanjutkan dengan tembang Pohon Kehidupan, aku masih mendengarkan dengan antusias.
     Kini aku tak peduli lagi di sebelahku sedang duduk perempuan sunda yang cantik. Aku hanya terfokus mendengarkan harapan dan doa-doa yang didendangkan oleh seorang bapak tua yang hidupnya pasti sudah ditempa oleh kehidupan itu sendiri. Beliau melanjutkan dengan lagu Cemburu,
Setiap orang berharap hidupnya lebih baik
Dari hari ke hari
Dari waktu ke waktu
Setiap orang tak ingin hidupnya menderita
Tentu saja ingin bahagia, tak ingin terhina
........
Ingin bersyukur tapi tak semudah tutur
Ku jalani hidup, yang terasa hanya kewajiban saja
Cemburu pada samudera yang menampung segala
Cemburu pada sang ombak yang selalu bergerak

Aku merasa bis ini berubah menjadi ruang kelas
. Bapak pengamen itu adalah guru
 yang sedang memberi pelajaran pada sang murid. Aku adalah murid
 yang dipertemukan dengannya oleh garis kehidupan. Pelajarannya adalah tentang harapan, kita harus tetap mampu menjaga harapan-harapan walau bagaimanapun keadaan kita. Tentang kehidupan yang harus selalu bergerak, kita tak boleh diam dalam sebuah titik. Atau kita tak boleh terlena oleh keadaan yang kadang membuat kita lupa akan impian-impian kita. Dan tentang doa-doa yang harus selalu kita ucap,jangan pernah bosan. Karena Tuhan juga tidak akan pernah bosan mendengarnya.
Beliau menutup siang yang panas itu dengan lagu Doa. Kemudian mengucap salam dan terima kasih, sambil mengeluarkan bungkus permen bekas. Disodorkannya kepada para penumpang, senyum ramahnya tetap terkembang pada setiap penumpang yang memberi atau pun yang tidak.

   Siang yang panas ini sedikit terisi oleh kesegaran. Petikan gitar, lantunan lagu, harapan dan doa-doa tentang kehidupan. Bis mulai berjalan meninggalkan tempat mangkalnya. Membelah jalanan jalur lintas selatan bumi pasundan.


22 Oktober 2014

Tentang Teman Perjalanan



Tentang Teman Perjalanan

Ini tentang perjalananku ke Bromo pada libur lebaran lalu. Tulisan ini aku buat untuk mengabadikan kebaikan dua orang teman di perjalanan itu.
Cerita ini dimulai ketika aku berniat mendaki gunung Argopuro. Aku berangkat sendirian dari kota Solo menuju Probolinggo dengan naik kereta api Logawa. Setelah sekitar 8 jam perjalanan,akhirnya jam 5 sore kereta tiba di stasiun kota Probolinggo. Stasiunnya tidak terlalu besar,hanya ada dua kios warung makan yang ramai sore itu oleh para penjemput penumpang kereta. Tetapi letak stasiun itu sangat strategis berada di tengah kota Probolinggo,berhadapan dengan alun2 kota dan masjid agung. Aku keluar stasiun disambut oleh para tukang becak dengan logat bicara bahasa maduranya. Ada dua jenis becak yang digunakan di kota ini,yaitu becak kayuh dan becak motor. Tetapi aku tidak ingin menggunakan keduanya,aku lebih memilih menggunakan angkot untuk menuju pul bis Akas. Di dalam angkot aku bertemu dengan dua orang turis dari Italia yang mengajakku ngobrol sedikit. Mereka naik kereta yang sama denganku dari Surabaya,tujuan mereka ingin melihat keindahan pegunungan Bromo. Pertemuan dengan turis itu membuatku berpikir,mereka yang orang asing datang jauh-jauh ke Indonesia ingin melihat Bromo,sedangkan aku yang orang Indonesia sendiri malah belum pernah kesana. Aku jadi ingin melihat Bromo secara langsung,bukan Cuma di layar TV.                                                             
bersama pemuda-pemuda Bremi
Malam pertama di Probolinggo aku menginap di pul bis Akas,aku tidur di dalam bis. Paginya jam 6 bis yang akan membawaku ke daerah Bremi berangkat. Bremi adalah sebuah desa di lereng gunung Argopuro. Sesampainya di desa itu aku melapor ke kantor polisi Sektor Krucil untuk keperluan mendaki gunung,tapi aku tidak diberi ijin karena aku hanya seorang diri. Akhirnya aku hanya diberi ijin untuk camping di danau Taman Hidup. Perlu waktu 4 jam untuk sampai di danau itu dengan berjalan kaki,aku berjalan seorang diri. Sampai d danau aku bertemu dengan beberapa pemuda lokal yang sedang berkemah dan memancing. Akhirnya aku menghabiskan malam keduaku dengan berkemah di tepi danau Taman Hidup. Menikmati malam yang terang dengan keindahan bintang-bintangnya. Bercengkrama dengan pemuda-pemuda lokal itu ditemani api unggun dan kopi. Aku merasa menjadi orang asing disini,karena mereka lebih sering berbicara dengan bahasa daerah Madura,tetapi keakraban tetap terjalin.


Hari ketiga perjalanan,aku memutuskan untuk turun kembali ke kota Probolinggo. Mungkin memang pertemuanku dengan turis dari Italia itu adalah sebuah pertanda agar aku pergi ke Bromo. Setelah berdesakan di dalam bis yang sama ketika aku berangkat ke Bremi,akhirnya saat magrib aku sampai di terminal bis Bayu Angga Probolinggo. Tukang ojek menawarkan harga 100rb untuk perjalanan sampai pintu gerbang Taman Nasional Bromo Tengger Semeru(TNBTS). Itu bukan pilihan untuk pejalan dengan budget minim sepertiku. Setelah bertanya di pos polisi terminal aku berjalan menuju tempat elf biasa mangkal. Biasanya elf hanya beroperasi sampai jam 4 sore,tapi malam itu aku beruntung masih ada satu elf yang mangkal menunggu penumpang. Sopir menawarkan harga 30rb untuk tiap penumpang jika elf itu terisi penuh maksimal 15 orang. Saat itu baru 2 orang penumpang selain aku. Jika tidak ada penumpang lagi,sopir menawarkan harga carter untuk sampai ke TNBTS sebesar 450rb(musim libur lebaran),atau kami harus memilih menunggu sampai besok pagi di terminal. Aku pamit pada sopir untuk solat dulu di sebuah toko yang sekaligus mempuyai toilet umum dan musola,tapi aku heran karena untuk berwudhu dikenai tarif 2rb. Selesai solat aku bertemu dengan 2 penumpang elf yang lain,Bang Yofan dan Leo. Aku ceritakan tentang musola tadi,Leo yang non muslim berkata “masa mau ketemu Tuhan saja harus bayar?”, “ya itulah warna-warni Indonesia,hehe” balasku. Kemudian kami bertiga membahas soal elf,aku jujur pada mereka budgetku ke TNBTS dari Probolonggo ini hanya 100rb,aku lebih memilih menunggu sampai pagi daripada harus carter elf. Mereka berdua bisa memaklumi keadaanku. Bang Yofan menemui sopir elf untuk menawar harga. Dan akhirnya deal dengan harga 300rb. Aku diam sambil memandang mereka,lalu aku beranikan diri berkata “maaf,aku gak berani ikut karena terlalu mahak buatku”. Hening sejenak, lalu Bang Yofan bilang,”udah ayo ikut berangkat bareng kami,tidak usah dipikir soal biaya”. Aku kembali memandang mereka sambil mengucapkan terima kasih. Aku berpikir “Tuhan memang sengaja mempertemukan kami untuk menjadi teman perjalanan”,karena aku percaya tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Akhirnya malam itu kami berangkat,memembus jalan raya yang mulai sepi menuju pintu TNBTS di daerah Cemoro Lawang.

Malam itu sekitar pukul 8 malam, Cemoro Lawang masih ramai. Hiruk pikuk wisatawan yang baru tiba. Mobil-mobil jeep yang mangkal. Pedagang-pedagang kupluk dan sarung tangan yang menyambut para wisatawan dengan menawarkan dagangannya. Satu lagi, pedagang bakso malang . Leo memesan 3 mangkok untuk kami, sangat cocok dalam udara dingin yang mulai merambat. Aku ngobrol-ngobrol dengan pedagang bakso malang itu. Bertanya tentang spot-spot yang bagus di Bromo, dan rute untuk pejalan kaki atau treking. Setelah menghabiskan bakso malang sampai bersih,kami menuju pos restribusi untuk membayar tiket masuk kawasan TNBTS. Setiap wisatawan lokal dikenakan biaya masuk sebesar Rp 27.500,-. Lalu kami mencari tempat untuk camping, Bang Yofan dan Leo membatalkan rencananya untuk menginap di hotel. Mereka lebih memilih ikut aku bermalam dengan tenda. Ketika kutanya Leo kapan terakhir camping, jawabannya adalah “saat Persami(perkemahan sabtu-minggu) waktu SMA”, sontak kami tertawa bersama-sama..haha. Petugas loket menyarankan kami untuk camping di area camping ground di belakang hotel Lava View. Berjalan sekitar 10 menit ke arah kiri dari pintu gerbang Cemoro Lawang. Malam itu kami membuka tenda di sebuah bukit. Menghabiskan malam dibalut udara dingin pegunungan Bromo. Di depan tenda kami hotel berbintang yang megah,di dalamnya pasti ada penghangat ruangan. Orang-orang berkantong tebal menginap disana,banyak juga turis-turis asing. Aku seorang pejalan dengan budget minim,bergelung dengan sleeping bag di dalam tenda. Di luar hujan gerimis bersuara.

Kita tak pernah tau apa yang akan kita temui dalam sebuah perjalanan. Aku hanya mengalir, melangkah kemana pun. Bang Yofan dan Leo, sebelumnya kami tidak saling kenal. Bertemu tanpa sengaja di sebuah terminal. Kini di TNBTS kami menghabiskan waktu bersama. Menikmati segelas kopi hitam bergantian. Menanti matahari pagi di bukit Mentigan. Melihat wajah-wajah asing yang tak aku kenal. Berjalan kaki di bawah terik matahari yang menyengat melewati lautan pasir untuk ke puncak Bromo. Menempuh jalur trekking untuk menuju puncak Pananjakan. Aku yakin hanya kami saat itu yang berjalan kaki dari Cemoro Lawang ke Pananjakan. Kebanyakan orang menggunakan jeep, mobil pribadi atau motor. Menginap di mushola,menahan dinginnya Pananjakan semalaman. Bangun pagi untuk menanti sunrise dan lukisan alam Bromo bersama wisatawn lainnya. Menjalin keakraban dengan wisatawan-wisatawan lain, entah itu ibu-ibu, gadis tour guide, turis asing. Mendengarkan cerita tentang suku Tengger dari seorang anak asli Tengger yang berdagang sarung tangan sambil membawa kucingya yang gemuk dan lucu bernama Tuti.
Perjalananku ke Bromo memang penuh dengan kejutan dari Tuhan. Bertemu teman perjalanan yang baik. Yang terus mentraktirku sampai kami berpisah di alun-alun kota Probolinggo. Aku merasakan ketulusan mereka. Pelukan persahabatan yang mereka berikan. Aku akan terus mengingat kebaikan mereka. “maka nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan”, Semua itu adalah garisNYA. 
Leo-Bang Yofan-aku
 
bersama anak Tengger(aku lupa namanya) dengan kucing kesayangannya

6 Oktober 2014

Doa yang Terlupakan - Paulo Coelho

Tuhan, Lindungilah keraguan-keraguan kami, sebab keraguan pun sebentuk doa. Keraguanlah yang membuat kami bertumbuh dan memaksa kami untuk tak takut melihat sekian banyak jawaban yang tersedia untuk satu pertanyaan. Kabulkanlah doa kami... Tuhan, Lindungilah keputusan-keputusan kami, sebab membuat keputusan pun sebentuk doa. Setelah bergulat dengan keraguan, beri kami keberanian untuk memilih antara satu jalan dengan jalan lainnya. Biarlah kiranya pilihan Ya tetap Ya dan pilihan Tidak tetap Tidak.Setelah kami memilih jalan kami, kiranya kami tidak pernah menoleh lagi atau membiarkan jiwa kami digerogoti penyesalan. Kabulkanlah doa kami... Tuhan, Lindungilah tindakan-tidakan kami, sebab tindakan pun sebentuk doa. Kiranya makanan kami sehari-hari menjadi buah dari segala yang terbaik dalam diri kami. Kiranya kami bisa berbagi walau sedikit saja dari kasih yang kami terima, melalui karya dan perbuatan. Kabulkanlah doa kami... Tuhan, Lindungilah impian-impian kami, sebab bermimpi pun sebentuk doa. Kiranya usia maupun keadaan-keadaan tidak menghalangi kami untuk tetap mempertahankan nyala api harapan dan kegigihan di dalam hati kami. Kabulkanlah doa kami... Tuhan, berikanlah antusiasme kepada kami, sebab antusiasme pun sebentuk doa. Antusiasmelah yang memberi tau kami bahwa hasrat-hasrat kami penting dan layak diperjuangkan semaksimal mungkin. Antusiasmelah yang mengukuhkan kepada kami bahwa segala sesuatu tidaklah mustahil asalkan kami sepenuhnya berkomitmen pada apa yang kami lakukan. Kabulkanlah doa kami... Tuhan, Lindungilah hidup kami, sebab hidup adalah satu-satunya cara bagi kami untuk mengejawantahkan kuasa keajaibanMU.

9 Agustus 2014

Orang Katolik dan Orang Muslim (Seperti Sungai yang Mengalir-Paolo Coelho)

Saya mengobrol dengan seorang pastor Katolik dan seorang pria Muslim yang masih muda,sambil makan siang. Ketika pelayan datang membawa nampan,kami mengambil makanan,kecuali pria muslim itu,sebab dia sedang berpuasa sesuai ajaran agamanya. Setelah makan siang selesai dan orang-orang mulai beranjak,salah seorang tamu disitu berujar "Kalian lihat betapa fanatiknya orang-orang muslim itu! Untunglah kalian orang-orang Katolik tidak seperti mereka." "Tetapi kami pun sama," sahut sang pastor. "Dia berusaha mematuhi Tuhan,sama seperti saya. Hanya saja kami mengikuti hukum-hukum yang berbeda." Dan dia mengakhiri ucapannya dengan berkata,"Sayang sekali orang-orang hanya melihat perbedaan-perbedaan yang memisahkan mereka. Seandainya kita memandang dengan rasa kasih yang lebih besar,kita akan lebih banyak melihat kesamaan-kesamaan di antara kita,dan sebagian dari masalah-masalah di dunia ini akan terselesaikan." (mungkin kisah ini bisa memberi pelajaran pada kita,untuk memandang sesama manusia dengan kasih yang lebih besar,tanpa membeda-bedakan agama,ras,suku,status sosial,pendidikan,ekonomi,apa pun itu,kita semua manusia yang sama)

10 Juli 2014

Ilmu Tukang Parkir

Malam ini saat ngopi dengan seorang teman,ada sebuah obrolan yang bisa menjadi sebuah pencerahan. Seorang teman yang lebih muda dari aku ini bisa mengambil sebuah pelajaran hidup dari kehidupan sehari-harinya. Dari kejadian sehari-hari yang dia temui. Seperti biasa,aku selalu berusaha menjadi pendengar yang baik saat mengobrol dengan siapa pun. Ini ungkapan dari temanku yang masih muda itu, "Rata-rata manusia itu selalu merasa kurang,mereka selalu menginginkan yang lebih dari apa yang mereka miliki atau mereka dapatkan. Dan biasanya mereka tidak rela jika mereka kehilangan sesuatu yang mereka miliki,apa pun itu. Cobalah belajar dari tukang parkir, mereka memiliki sepeda motor dan mobil, tetapi ketika yang mempunyai semua itu memintanya, tukang parkir itu dengan ikhlas mengembalikannya. Tugas dia hanya menjaga sepeda motor dan mobil itu dengan baik,tanpa harus merasa memiliki. Itu sudah." Ya,kita,manusia, lahir tanpa membawa apa2, dan kita akan kembali padaNYA tanpa membawa apa-apa. Jangan pernah merasa memiliki. Malam semakin larut,kopi kami pun semakin surut. Waktunya untuk rehat sekejap kawan. 00.02 wib, 10/07/14

17 Mei 2014

Ikhlas(kah) ?

Ini tentang seorang tokoh masyarakat. Beliau adalah seorang pensiunan guru. Seorang haji juga,entah haji berapa kali. Mempunyai kebun dan sawah yang luas. Setelah pensiun jadi guru kini hari-harinya diisi dengan mengurus kebun di belakang rumahya yang ia tanami berbagai macam tanaman. Pada suatu hari,beberapa ekor kambing tetangga lepas dan memekan daun-daun tanaman dikebunnya. Ketika ia keluar dari pintu belakang rumahnya dan memergoki kambing-kambing yang sedang asyik makan itu,ia pun berteriak-teriak mengusir kambing-kambng yang dianggapnya lancang itu,sambil membawa parang. Aku melihat kejadian itu dari balik jendela kamarku yang letaknya berhadapan dengan kebunnya. Aku berpikir,jendela kaca kamarku ini sepeti layar televisi yang sedang memutar film dengan adegan "pak haji galak". Beberapa hari kemudian,ada seorang bapak paruh baya datang ke halaman rumahku karena kebetulan bapakku sedang duduk-duduk di teras rumah bersama adik-adikku. Aroma alkohol menguap ke udara keluar dari mulut bapak paruh baya itu. Dengan nada penuh emosi ia bicara,bertanya "siapa yang melaporkan aku ke kantor polisi,hanya karena kambing-kambingku memakan tanamannya??". Adikku sampai takut dibuatnya, bapakku meladeninya dengan tenang untuk mencari informasi lebih lanjut tentang hal itu. Dan ternyata memang benar bahwa Pak Haji itu telah melaporkan si pemilik kambing ke kantor polisi. Dari kejadian itu aku berpikir, apa masyarakat di kampungku ini sudah kehilangan kerukunannya? Aku tidak ingin bicara siapa benar - siapa salah. Seorang pensiunan guru yang hidupnya sudah berkecukupan dan bahkan seorang haji pula,belum bisa ikhlas melihat tanamannya dimakan kambing. Bahkan skarn kebunnya dipagar dngan rantng-ranting bambu. Mungkin ituatulah salah sifat orang kaya atau orang yang merasa memiliki;Takut kehilangan. Sementara si pemilik kambing pun juga keterlaluan,ia lebih memilih mabuk-mabukan daripada mencarikan makan untuk kambingnya. Satu hal yang coba aku ambil dari kejadian itu, keikhlasan itu memang sebuah hal yang sulit diterapkan. Orang yang sudah tua dan harusnya sudah kenyang dengan kehidupan saja belum bisa menerapkannya, apalagi aku yang masih muda ini. Aku masih harus banyak belajar tentang ilmu ikhlas.