18 Desember 2014

Kisah Anjing Jalanan




Di suatu siang yang panas di sebuah alun-alun kota. Seekor anjing jalanan jantan duduk di bawah pohon beringin yang rindang. Bulunya yang berwarna hitam terlihat kusam. Dia berteduh dari panasnya matahari yang menyengat. Sesekali dia menyalak ketika ada orang yang lewat di depannya. Kehidupan jalanan membuat dia menjadi anjing yang kuat. Setiap hari dia mengais makanan di bak sampah yang berada di seberang alun-alun. Bahkan kadang dia harus rela keluar dari daerah teritorialnya untuk mencari makan di tempat pembuangan sampah pinggiran kota. Dia harus selalu berjuang untuk menyambung hidupnya. Ketika malam tiba dia terbiasa tidur di emperan toko. Anjing jalanan yang kesepian.

Dia tak tau dimana dia dilahirkan. Dia hanya ingat di masa kecilnya ada seekor anjing betina yang seumuran dengannya. Berbulu putih kecokelatan karena debu jalanan. Mereka adalah karib yang selalu bersama. Sampai pada suatu pagi, dia terbangun lebih dulu dan langsung menuju bak sampah mengais makanan. Si anjing betina masih tertidur. Lewatlah sepasang saudagar kaya penjual kain yang kebetulan singgah di kota itu. Sang wanita yang cantik dan anggun dengan gaun putih itu melihat si anjing betina tertidur di emperan toko. Lalu dia berkata pada sang suami,
“Suamiku, bolehkah aku bawa dan rawat anjing ini?” sambil jongkok dan mengelus bulu kusam anjing betina itu.
Suaminya yang memang sangat mencintai istrinya itu dengan senang hati menjawab,
“Istriku,kalau kau suka dengan anjing itu,bawalah pulang. Kita dirumah mempunyai Wego, tentu dia akan senang kau bawakan teman”. Mereka memang memelihara seekor anjing jantan dirumahnya yang megah.
Pagi itu garis tangan Tuhan memisahkan mereka. Si anjing betina dibawa pasangan saudagar itu pulang ke rumahnya.Sedangkan si anjing jantan kaget mendapati kawannya sudah tidak ada di emperan toko. Makanan yang dibawanya dijatuhkannya begitu saja. Dia menggonggong, menyalak, berlari, mencari kawan hidup satu-satunya. Dia berlari jauh sampai ke pinggiran kota, mencari ke tempat-tempat mereka biasa bermain dan mencari makan. Bahkan sampai masuk ke teritorial kawanan anjing lain. Tapi dia tetap tak menemukannya. Dia terlunta-lunta. Kini hari-harinya dia jalani sendirian. Dia tak pernah mau bergabung ke kawanan anjing jalanan lain yang ada di kota itu.
Si anjing betina hidupnya dirubah oleh nasib. Dia merasa terlahir kembali di dunia baru. Di tempat yang penuh kemewahan. Setiap hari dia dimandikan oleh pembantu saudagar yang telah membawanya itu. Kini bulunya berubah menjadi putih bersih. Setiap hari mendapat makanan dan minuman yang terbaik dengan waktu yang teratur. Tempat tidurnya berupa karpet tebal yang berada di dalam ruangan 2 x 2 meter. Yang tak lain adalah kandangnya, ruang yang membatasi dirinya, dan sebenarnya adalah penjaranya. Bersebelahan dengan kandang Wego si anjing jantan kesayangan sang saudagar. Istri sang saudagar terlihat gembira. Dia memberi nama anjing betinanya itu dengan nama Princess. Dia begitu memanjakannya. Begitu pun dengan Princess, dia mulai belajar untuk menyenangkan majikannya. Selalu menjilat dan menciumi majikannya ketika bulunya dibelai. Sang saudagar bahagia dengan kehadiran anjing betina dirumahnya itu. Dan berniat akan mengawinkannya dengan Wego nantinya.


Beberapa tahun kemudian, di siang yang panas itu. Ketika dia sedang berteduh di bawah pohon beringin yang rindang di tepi alun-alun kota. Lewatlah sepasang saudagar dengan membawa sepasang anjing yang setia berjalan di depannya. Si anjing jalanan kaget, terpana, lalu mendongakkan kepalanya memandangi si anjing betina putih yang sepertinya tidak asing baginya. Dia mulai menggonggong dan menyalak ke arah si anjing betina. Princess pun menghentikan langkahnya dan memandangi si anjing jantan yang hitam kusam itu. Mereka terlibat percakapan,
“Kau masih ingat aku ? Kemana saja kau ? Aku terus mencarimu setelah kau menghilang di pagi itu”. Si anjing jantan bertanya dengan penuh semangat.
“Sepertinya aku tidak mengenalmu”. Princess menjawab dengan keangkuhannya.
“Kau tak ingat,dulu setiap hari kita mengais makanan di bak sampah itu?” terang si anjing jantan mencoba mengingatkan sambil menunjuk bak sampah di seberang alun-alun.
“Aku setiap hari mendapat jatah makanan yang enak,tidak mungkin aku mengais makakan di tempat sampah”. Si anjing betina kini menjadi sombong.
“Kau tega meninggalkan kawanmu satu-satunya ini hidup sendirian di jalanan?”
“Kawanku memang cuma satu”. Princess memandang ke arah Wego yang sedang membusungkan dadanya.
“Baiklah,mungkin kehidupan mewah telah membuatmu berubah. Kau lupa asalmu. Kau melupakan akarmu. Dan yang paling buruk, kehidupan enak telah membuatmu melupakan kawanmu yang setia ini”. Si anjing jantan mundur, dan berlari ke pinggiran kota. Dia menghabiskan sisa hari itu di puncak bukit batas kota. Menggonggong melampiaskan kemarahan dan kesedihannya. Dia kembali pada kesepiannya. Kembali menjadi anjing jalanan yang keras menghadapi kehidupannya.


09/11/14 (SB)

9 Desember 2014

Ruang Perpustakaan



"Dunia itu seperti buku. Jika tidak bepergian, kau hanya membaca satu halaman saja." (Gola Gong)

Sebuah truk menepi di depan terminal kota kecil. Rizki turun dari belakang bak truk pasir berwarna kuning itu. Dia mengarah ke kaca sopir lalu melambaikan tangan kanannya sambil berteriak,
“Terima kasih banyak Pak.” Teriakan pemuda itu membangunkan kenek truk yang tidur di kursi sebelah sopir.
Pak Sopir truk itu pun menurunkan sedikit kaca pintu truknya. Pak sopir dan kenek mambalas lambaian tangan Rizki sambil berucap,
“Sama-sama Nak, lembo ade.” Lalu jendela ditutup dan truk itu melanjutkan perjalanan.
Rizki hanya tersenyum memandangi truk yang kembali melaju itu.


Ini adalah perjalanan petualangan Rizki. Dia berangkat dari rumahnya di pulau seberang sekitar dua minggu yang lalu. Melakukan perjalanan darat, dengan kereta api, bis, angkot, bahkan truk. Dia singgah di beberapa kota yang dia lewati. Menikmati kota-kota yang baru pertama kali dia lihat. Rizki adalah pemuda yang tak lulus sekolah tingkat SMA, dia tak punya ijazah. Umurnya kini 20an tahun. Di tempat asalnya dia bekerja serabutan. Dari kuli pabrik, kerja di catering, cleaning service di mall, menjadi pelayan di toko kue, berjualan pakaian pernah dia jalani. Dan sekarang pekerjaan terakhirnya adalah sebagai tukang parkir di pasar dekat rumahnya.Dia masih terus mencari apa sebenarnya perannya di bumi ini. Terus mencari jalannya, berharap menemukan takdir sejatinya. Dengan pendidikannya yang pas-pasan, sejak tak lulus sekolah dia mulai suka membaca buku. Dia sering mendatangi perpustakaan umum di kotanya untuk meminjam buku secara gratis. Dia paling suka buku-buku tentang perjalanan atau petualangan, entah fiksi atau pun non fiksi. Tapi dia juga tak segan membaca buku-buku bertema lain. Di tempat asalnya, ketika libur bekerja dia suka bepergian bersama temannya atau kadang sendirian. Naik gunung, camping di pantai, atau sekedar bermain-main ke kota tetangga, nongkrong di alun-alun kota menikmati malam. Membaur bersama masyarakatnya. Itulah kegemarannya. Dan perjalanan ini sudah lama dia impikan. Ini adalah kali pertama perjalanannya keluar pulau. Bahkan dia sempat muntah-muntah di dalam kapal very penyeberangan. Pengalaman pertamanya naik kapal membuatnya mabuk laut. Kini dia berada di sebuah pulau yang baru pertama kali dia pijak. Melihat pemandangan alam yang berbeda. Mendengarkan bahasa daerah yang berbeda pula.


Rizki naik delman menuju alun-alun kota bersama beberapa penumpang. Dia merasakan hatinya berisi bermacam rasa, senang, semangat, kesepian, sedih, semua bercampur. Melihat-lihat suasana kota dan mendengarkan percakapan ibu-ibu yang sepertinya pulang dari belanja.
“Ini alun-alun Nak, turun disini ?” pak kusir memberi tahu Rizki.
“oh, iya pak disini saja.” Jawab Rizki sambil mengambil ransel hijaunya.
“Permisi Bu.” Sapa Rizki melewati penumpang lain untuk turun.
“Silahkan Nak.” Jawab salah satu ibu dengan ramah.
 
Rizki memandang alun-alun yang tidak terlalu luas itu. Lapangan hijau kecokelatan di tengahnya di kelilingi pohon-pohon yang sedikit kering karena musim kemarau. Pedagang-pedagang menjajakan makanan atau pun minuman di tepi jalan dengan gerobak dagangan dan kursi-kursi plastik.
Siang menjelang sore itu alun-alun belum begitu ramai. Hanya terlihat beberapa pasangan remaja dan kelompok orang yang jajan atau pun sekedar duduk-duduk. Rizki berjalan-jalan memutari alun-alun yang tak besar itu. Matanya tertuju pada sebuah gedung perpustakaan kota. Kakinya dengan pasti dia langkahkan kesana.


Rizki masuk ke gedung itu. Seorang petugas berada di belakang meja kerjanya yang berada di sebelah pintu masuk. Bapak tua berkaca mata dengan rambut yang mulai memutih. Berbaju batik dengan corak yang baru pertama kali Rizki lihat. Gambarnya seperti rumah panggung dengan atap kubah. “Mungkin itu batik khas daerah ini” pikir Rizki. Bapak itu sedang membaca koran. Rizki mendatanginya dan menyapanya.
“Selamat siang Pak.”
“Siang.” Bapak itu menjawab, sambil meletakkan koran ke meja. Dipandanginya Rizki lekat-lekat. Orang di depannya itu terlihat asing baginya. Pemuda dengan wajah hitam kemerahan tersengat matahari, jenggot yang sedikit mulai tumbuh, rambut panjang sebahu. Dengan baju motif kotak-kotak warna cokelat, celana panjang jeans kusam yang memiliki tambalan di bagian lutut kanannya, memakai sepatu yang kelihatan kotor, sambil menggendong ransel hijau berdebu.
“Ada yang bisa saya bantu ?” tanya bapak itu ke Rizki dengan tatapan menyelidik.
“Saya ingin melihat buku-bku disini pak, boleh kah ?” tanya Rizki berusaha menyembunyikan rasa tidak enaknya karena dipandangi dengan tatapan seperti itu.
“Tentu saja boleh, tapi isi buku tamu dulu. Dan tasnya ditaruh saja di dekat pintu.” Kata bapak itu sambil menunjuk sebelah pintu.
“Iya Pak, terima kasih.” Rizki mengambil buku tamu dan mengisinya, lalu menyerahkannya kembali ke Bapak penjaga perpustakaan.
Bapak itu terlihat kaget membaca buku tamunya. “Kamu berasal dari...” bapak itu menyebut sebuah kota yang berada jauh di seberang pulau.
“Iya Pak.” Jawab Rizki sambil tersenyum.
“Sedang apa di kota ini ?” Bapak itu mulai ramah.
“Sedang bepergian saja pak. Main, saya ingin melihat-lihat kota lain.” Rizki menjelaskan sekenanya.
“Dasar anak muda, masih kuliah atau sudah bekerja?” Bapak itu ingin tau lebih banyak.
Pertanyaan itu selalu membuat Rizki minder. Dalam perjalanannya ini dia sudah sering mengalami penilaiain jelek dari orang yang dia temui setelah mereka tau kalau Rizki tidak tamat SMA dan hanya bekerja sebagai tukang parkir. Tapi dia sudah mulai terbiasa dengan hal itu dan tidak ingin terlalu memikirkannya.
“Saya tidak kuliah Pak, bahkan tidak lulus SMA, saya bekerja.” Jawab Rizki sedikit acuh.
Bapak itu pun diam. Tiba-tiba Rizki punya sebuah pertanyaan, dia pun langsung bertanya ke bapak itu karena dia yakin bapak itu pasti bisa menjawabnya.
“Oia pak, boleh saya bertanya ?”
“Tentu saja boleh. Mau nanya apa ?” jawabnya sambil membenarkan kacamatanya.
“Kata lembo ade itu artinya apa pak ? selama perjalanan kesini saya sering mendengar kata itu diucapkan oleh orang-orang, bahkan pernah ditujukan ke saya juga.” Rizki meletakkan tas ranselnya.
“oohh...” bapak itu tersenyum,”begini, kata lembo ade itu seperti istilah atau bisa disebut kata bijak di daerah sini. Kata itu memiliki banyak makna yang sangat penting dan berharga bagi masyarakat disini. Lembo itu artinya luas, lapang, besar, tinggi, atau pun sabar. Sedangkan ade itu berarti hati atau bisa juga wibawa. Jika kata itu digabung, masyarakat disini memaknainya bisa berarti sabar, atau untuk memberi semangat, bahkan bisa juga diartikan sebagai doa atau harapan. Kata itu memiliki makna yang sangat dalam, mungkin sudah sejak nenek moyang dulu. Makanya kata itu sering diucapkan oleh masyarakat disini, mungkin sebagai bentuk kearifan lokal.” Jelas bapak itu.
“ooohhh, begitu pak.” Rizki mengangguk, mencoba memahami penjelasan itu. Lalu pamit untuk melihat-lihat buku.


Ruang perpustakaan itu hanya satu lantai. Sepi, tidak ada pengunjung yang datang.  Rak-rak berjajar rapi terisi buku-buku yang berdebu, kelihatan jarang dibersihkan. Di pojok-pojok ruangan terlihat sedikit jaring laba-laba yang menggantung. Cat dinding perpustakaan itu juga sudah mulai kusam. Ada beberapa kursi dan meja kosong yang juga berdebu. Rizki berjalan diantara rak-rak itu melihat-lihat buku disitu. Dia mengambil sebuah buku, judul buku itu aneh baginya, The Alchemist. Sampulnya juga menarik, gambarnya beberapa ekor domba dan seorang bersorban memegang burung elang yang mengepakkan sayapnya. Rizki duduk di sebuah kursi, dia terus memandangi buku itu, lalu membukanya. Debu yang berada dibuku itu menyatu dengan udara di depan wajahnya. Rizki membuka halaman demi halamannya, mambacanya secara acak. Rizki hanyut dalam bacaannya.


Dua jam kemudian.
Bapak penjaga perpustakaan menghampiri Rizki, duduk di kursi seberang mejanya. Bapak itu membuka percakapan.
“Apa kau merasakan buku-buku disini merasa kesepian ?” Tanya bapak itu dengan wajah muram.
“Saya tidak mengerti Pak, memang kenapa buku-buku disini merasa kesepian ?” tanya Rizki ke Bapak itu.
“Disini jarang ada yang menyentuh mereka, apalagi yang membuka halaman-halamannya untuk membaca.” Bapak itu mulai menjelaskan.
“Oh,kenapa itu menjadi hal yang menyedihkan buat mereka ?” Rizki mulai menanggapi percakapan dengan serius.
“Aku tau kau suka membaca, tapi apa kau tidak tau kalau buku juga memiliki tugas di dunia ini?” Bapak itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Memang apa tugas buku-buku itu ?” Rizki penasaran.
“Buku juga memiliki dharma, setiap buku akan merasa dia melakukan dharmanya dengan baik jika dibaca oleh manusia. Dan semakin banyak tangan yang membuka halaman demi halamannya, buku itu akan lebih bahagia. Sudah hampir setahun tidak ada yang membaca buku yang kau pegang itu Nak.” Bapak itu terlihat sedih.
“Oh begitu, kini aku mengerti kesedihan buku-buku ini, dan mungkin juga menjadi kesedihan Bapak.” Rizki mulai memahami.
“Minat baca di daerah masih sangat kecil Nak. Orang-orang kota memberi buku kesini sekedar memberi, tidak disertai dengan aksi yang berkelanjutan untuk meningkatkan minat baca di daerah. Memang di sekolah-sekolah kini juga banyak perpustakaan-perpustakaan, tapi anak-anak lebih menyukai permaianan-permainan online di warnet. Hanya sedikit yang menyukai buku. Apa yang salah dengan negara kita ini Nak?” Nada suara Bapak itu seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Rizki hanya terdiam mendengarkan.
“Di kota-kota besar, bahkan sekarang sudah merambah ke daerah-daerah kecil, setiap kali diselenggarakan pesta demokrasi yang mereka sebut pemilu selalu banyak kampanye-kampanye yang menghabiskan biaya berjuta-juta bahkan bermilyar-milyar. Demi untuk meraih jabatan-jabatan yang mereka inginkan. Bukankah mereka para intelek yang berpendidikan tinggi, dimana jiwa-jiwa mulia mereka ? Hilang ditelan zaman ? Negara ini pun mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk melancarkan pemilu itu. Bukankah lebih baik jika dana-dana itu digunakan untuk kampanye-kampanye meningkatkan minat baca ? Terutama di daerah-daerah kecil seperti disini ? Tidakkah mereka berpikir, ribuan buku-buku di negara mereka merana kesepian ?” keluhan Bapak itu kian bertambah.
 
Rizki masih tetap terdiam, bingung, melamun membayangkan nasib beribu-ribu buku yang kesepian.

Lalu Bapak itu berdiri.
“Nak, perpustakaan mau tutup, sudah jam setengah empat.” Bapak penjaga perpustakaan mengingatkan Rizki. Lalu meninggalkannya ke meja kerja di dekat pintu perpustakaan.
Rizki kaget oleh panggilan itu, buku di tangannya jatuh ke lantai. Dan dia pun tersadar dari lamunannya. Rizki masih memikirkan keluhan Bapak itu. Dia ambil buku itu dari lantai lalu menaruhnya ke rak.

Rizki berjalan ke depan ruang perpustakaan itu. Mengambil tas ranselnya, lalu menemui bapak penjaga perpustakaan.
“Pak, saya pamit dulu.” Rizki mencoba tersenyum.
“Melanjutkan perjalanan kemana Nak ?” tanya bapak itu sambil mengemasi tas kerjanya.
“Ingin ke desa Pancasila Pak.” Jawab Rizki sambil mengulurkan tangan.
“Lembo ade Nak.” Bapak itu menjabat tangan Rizki dengan senyuman ramah.
"Lembo ade Pak." Rizki membalas senyuman itu, lalu keluar perpustakaan. Melangkahkan kaki melanjutkan perjalanannya.

(SB-09/12/14)

24 November 2014

Pelajaran Dari Kecelakaan



Kemarin aku terjatuh saat berkendara dengan sepeda motor. Kecelakaan itu terjadi dalam hitungan detik. Dan tiba-tiba aku tersungkur. Tangan dan kakiku luka-luka lecet, berdarah. Motorku rusak di beberapa bagian. Aku segera bangun, setelah istirahat sebentar aku ke sebuah masjid untuk membasuh luka-lukaku dengan air. Hanya dengan air, tanpa betadine. Lalu aku melanjutkan perjalananku.

Kecelakaan itu terjadi saat aku dalam perjalanan menuju lapak penjual buku-buku bekas. Setelah kejadian itu aku masih melanjutkan tujuanku untuk membeli buku, dengan keadaan luka-luka dan celanaku robek.Setelah membeli buku baru aku pulang ke rumah.

Malam ini aku merenungkan kejadian itu. Kecelakaan kemarin mungkin adalah sebuah pelajaran untukku. Bahwa dalam hidup, kadang atau pasti kita akan mengalami terjatuh. Tapi setelah jatuh itu kita harus tetap bangkit. Mungkin separah apa luka yang kita alami, itu yang akan mempengaruhi seberapa lama kita membutuhkan waktu untuk kembali bangkit. Entah sebentar atau pun lama waktu yang akan kita perlukan untuk bangkit, yang pasti kita harus tetap bangkit. Kita harus tetap melanjutkan hidup, walaupun dengan luka-luka yang mungkin akan lama membekas dalam diri kita.

Ya, hidup harus terus berjalan. Setiap hari memiliki keindahannya sendiri. Dan yang tak akan pernah kulupakan adalah batas antara kebahagiaan dan kesedihan itu sangatlah tipis. Malam sebelum aku kecelakaan, aku dalam keadaan bahagia menonton konser Dialog Dini Hari.
Jadi, jangan pernah berlebihan ketika kita sedang mengalami salah satu hal itu. Dan mungkin juga kebahagiaan dan kesedihan bisa datang atau tiba dalam waktu yang bersamaan.

Salam.

24/11/2014
cuma luka-luka sedikit

23 November 2014

Blora (part 1)

“Filsuf Tiongkok menggambarkan kehidupan laksana sungai panjang yang mengalir tanpa henti. Kita, manusia adalah sosok-sosok penumpang yang naik kapal di satu titik, turut berlayar, lalu turun di tempat lain. Beberapa penumpang turun, beberapa penumpang naik. Sungai terus mengalir, kapal terus berlayar, penumpang datang dan pergi. Demikianlah manusia-manusia di tepian sungai abadi Amu Darya ini, datang dan pergi, dalam berbagai wujud rupa, bangsa, agama, dan kebanggaan, dan semuanya, tanpa kecuali, adalah makhluk fana”
Agustinus Wibowo, Garis Batas: 



Hari ini tiba-tiba saja aku ingin pergi, ya pergi saja. Ingin kembali merasakan atmosfer jalanan.  Mungkin Karena pengaruh dari banyaknya masalah yang sedang ada. Langsung ku packing ransel kecilku, sleeping bag yang paling penting kubawa. Entah akan tidur dimana, tak jadi soal.  aku merindukan sebuah perjalanan, itu saja.

Aku menuju ke jalan raya, tujuanku kali ini adalah kota Blora. Kota kecil di jalur pantura Jawa Tengah. Mungkin bagi kebanyakan orang kota ini tak istimewa. Tapi bagi sebagian orang lain, Blora adalah kota yang istimewa. Kota kelahiran sang penulis ternama, yang membuat Indonesia dikenal bangsa-bangsa lain lewat dunia sastra. Pramoedya Ananta Toer terlahir di kota kecil ini. Karya-karyanya tak lekang oleh waktu. Dibaca dari masa ke masa, oleh generasi ke generasi.

Satu lagi keistimewaan kota Blora. Budaya ngopi di pedalaman desanya. Dan kopi santan khasnya, itu yang membuatku ingin menjejakkan kaki ke Blora.

Kulangkahkan kakiku menuju jalan raya. Ternyata bis jurusan Blora sedang mogok beroperasi karena BBM naik. Hanya ada bis kecil sampai daerah Gemolong, terpaksa aku naik. Bis berhenti dan aku langsung masuk ke dalam. Dan ternyata di dalam berdiri seseorang yang aku kenal. Seseorang yang pernah menjadi bagian dari kisah hidupku. Aku tak pernah menyangka kami bakal dipertemukan di dalam bis ini. Di antara desak-desakan para penumpang, diantara bau keringat ibu-ibu yang pulang dari pasar. Diantara bau parfum ibu-ibu pekerja pabrik, diantara tawa pelajar-pelajar pulang sekolah yang saling berebut tempat di dalam bis. Pertemuan yang tanpa terencana, tidak ada yang kebetulan, maktub. Entah apa maksud Tuhan, yang pasti setiap pertemuan akan memberikan pelajaran. Kami pun saling menyapa, walaupun dalam keadaan berdiri di dalam bis yang sesak,
“eh,gimana kabar ? baru pulang kerja ?” aku memulai percakapan.
“Iya, kamu sendiri mau kemana ? kuk gak kerja.” Dia masih seperti dulu, akrab.
“Aku bolos kerja, mau ke Blora. Gimana kabar suami dan anakmu ?” pertanyaan basa-basi yang sebenarnya tak ingin kutanyakan.
“oh,mau gak masuk kerja berapa hari? Ngapain ke Blora? Alhamdulillah keluargaku sehat. Kamu kapan mau nikah ?” dia mengakhiri pertanyaannya dengan senyuman,yang masih tetap sama seperti dulu.
“Cuma sehari, mau ke tempat kakakku, soal itu entahlah.” Aku menjawab sekenanya, lalu kami sama-sama terdiam.
Pikiranku masih bertanya-tanya,”apa maksud dari pertemuan ini?” Ah,mungkin hanya kebetulan belaka. Mungkin dia juga tidak terlalu memikirkan hal ini. Bis melaju dengan cepat, kenek dan beberapa pelajar bergelantungan di pintu bis. Lalu dia meminta pada kenek untuk berhenti di sebuah perempatan.
“aku turun duluan ya, kamu hati-hati.” Pamitnya padaku.
“iya, terimakasih.” Aku memandanginya turun bis, entah kapan kami bertemu lagi. Mungkin juga kami tidak akan bertemu lagi. Setiap kisah dalam hidup kita, pasti ada hikmahnya. Tergantung bagaimana kita menyikapinya.

Aku behenti di perempatan Gemolong, sebuah daerah yang tak terlalu besar. Dari sini sudah tidak ada bis, Blora masih sekitar 80km. Langit sore terlihat mulai gelap. Satu-satunya solusi adalah menumpang truk. Aku mencoba dengan mengacungkan jempol pada truk-truk yang lewat. Beberapa truk tidak merespon sama sekali dan tetap melaju kencang. Beberapa memberi tanda menolak karena bak terisi muatan. Tapi akhirnya sebuah truk mau berhenti.
“numpang ke Blora boleh pak?” teriakku pada sopir truk.
“ayo naik saja, tapi Cuma sampai Purwodadi.”
“oke,gapapa pak.” Aku langsung naek ke dalam bak truk.
Truk ini mngkin habis mengantar genting, bekas pecahan-pecahannya masih tersisa. Aku bersyukur masih ada sopir truk yang baik hati dan peduli pada orang yang tak dia kenal di jalanan. Satu pelajaran aku dapatkan walau perjalanan baru dimulai.

Sudah lama aku tidak melakukan perjalanan seperti ini. Menumpang truk. Sampai di Purwodadi aku turun. Disini aku bertemu beberapa pemuda yang pulang sekolah dan akan mencari tumpangan truk juga ke Blora. Setelah beberapa saat menunggu dan bertanya ke beberapa truk yang berhenti saat lampu merah. Akhirnya selepas maghrib kami mendapat tumpangan truk, lalu beberapa orang bapak-bapak berlarian ingin ikut menumpang. Di dalam bak truk aku mengobrol dengan salah satu dari bapak-bapak itu.
“Dari mana pak ?” tanyaku basa-basi untuk memulai, karena dalam perjalanan berusahalah menjadi orang yang terbuka.
“Pulang kerja mas. Lha sampean dari mana?” jawab bapak itu sambil menawarkan rokok.
Aku menolak rokoknya,karena memang aku tidak merokok.
“Kerja dimana pak? Saya dari Solo mau ke Blora pak.”
“Kerja bangunan di Solo mas.” Bapak itu menyulut rokoknya.
“Oh,lagi ada proyek di daerah mana Pak?” aku terus bertanya.
“Di kampus Sebelas Maret mas.” Hembusan asap rokok bapak itu menguap ke udara.
“Lha ini tadi sampai Purwodadi naik apa pak? Kan bis lagi pada mogok.” Tanyaku penasaran.
“Naik taksi dari terminal Solo mas.”
“Wah,berapa ongkosnya pak ?” aku tambah penasaran.
“270rb mas, enam orang, tadi bareng orang Semarang juga, ya mau gimana lagi mas, pengen pulang kangen rumah sama keluarga.” Bapak itu menghembuskan asap rokoknya lagi.
“iya pak,untung naik berenam ya pak.”  
Truk terus melaju dalam jalanan yang gelap. Melewati perkebunan-perkebunan jati. Banyak jalan yang rusak, terasa dari guncangan truk. Obrolan kami terhenti, bapak itu asyik dengan rokoknya. Aku melamun dengan bermacam pikiran.
Bapak itu,hidupnya mungkin keras setiap hari. Bekerja dari satu proyek ke proyek bangunan lain. Kulitnya hitam terbakar matahari. Entah keluhan terucap atau tidak. Entah ucapan syukur keluar atau tidak dari mulutnya. Mungkin bagi bapak itu, dengan tetap menjalani kehidupannya yang seperti itu adalah sebuah ungkapan rasa syukur. Rasa syukur yang tak perlu terucap, tapi benar-benar dihayati. Aku teringat kakak laki-lakiku, aku teringat bapakku. Mereka pekerja keras yang mengungkapkan rasa syukur dengan perbuatan nyata, tetap menjalani hidupnya. Di dalam bak truk, mataku terasa sembab. Aku merasa menjadi manusia yang kurang bersyukur.

17 November 2014

Pak Kamto

“Apabila engkau melihat seorang yg menyia-nyiakan shalatnya, maka demi Allah, orang tersebut akan menyia-nyiakan perbuatan yg lainnya.” (Umar bin Khattab)


Saat itu aku sedang berkunjung ke tempat seorang teman yang menjadi guru di sebuah sekolah di daerah Garut . Aku istirahat di ruang osis sekolah itu, sambil ngopi bersama teman dan guru-guru lain di sekolah itu. Lalu datang seorang guru laki-laki yang sudah kelihatan tua, rambutnya beruban. Matanya teduh, menenangkan, tapi selera humornya tinggi. Beliau guru sejarah di sekolah itu.
Namanya Pak Kamto, dia memperkenalkan diri padaku lalu bertanya,
“Rumahnya dimna jang?” dengan logat sunda yang kental.
“Solo pak.” Jawabku singkat sambil tersenyum.
“Wah,jauh, dalam rangka apa ini ke Garut?”
“Mau ke papandayan Pak.”
“Bapak sebenarnya juga orang Jawa jang, Purworejo.” Lalu beliau sedikit membuktikannya dengan menyebut beberapa bahasa Jawa yang bagiku terdengar sedikit aneh. Mungkin karena Pak Kamto sudah lama tidak berbahasa Jawa.
“Ooh, dekat Wates-Jogja ya Pak?” aku mencoba mengakrabkan diri.
“Iya sebelah barat Jogja, kamu mau ‘menjajah’ juga disini gak jang?” tanyanya padaku sambil tertawa.
Aku bingung, dan balik bertanya, ”Maksudnya pak?”.
“hehe,ya nyari istri mojang Garut.” Jelasnya, membuat teman-teman yang lain tertawa.
Aku pun sontak iku tertawa,dan menjawab “belum kepikiran pak.” (tapi dalam hati berkata,”pernah mikir gitu juga sih pak”)
Lalu tanpa di komando Pak Kamto berceramah dengan sendirinya, petuah-petuah tentang pernikahan, tentang berkeluarga, beragama mengalir deras diarahkan ke kami (kebetulan aku dan teman di ruangan itu masih bujang semua).
Pak Kamto bertutur seperti seorang bapak kepada anaknya. Aku hanya terdiam mendengarkan, sesekali mengangguk sambil berucap “ya”,mencoba mencerna setiap nasihatnya.

Yang paling aku ingat dari nasihat beliau adalah,
“kelak jika kalian menikah dan berkeluarga, jangan pernah lupa mengajak istri dan anak-anak kalian untuk sholat berjamaah. Setiap mendengar adzan ingatkan mereka segera sholat. Lebih baik lagi jika kalian ajak mereka ke masjid. Ya memang wanita itu baiknya di rumah, tapi kalau bisa ke masjid dan didampingi muhrimnya,itu kan lebih baik. Jangan lupa, sholat itu adalah ibadah yang paling istimewa dan juga yang paling berat melaksanakannya. Banyak orang yang sering menyepelekan, bahkan menunda-nunda waktunya. Kalian puasa, bekerja keras menafkahi keluarga, kuliah tinggi-tinggi (Pak Kamto tidak tahu kalau aku tidak kuliah), atau naik haji, itu semua akan percuma kalau kalian masih sering lalai sholat atau menunda-nunda sholat. Dan jika istri dan anak-anak kalian sampai tidak sholat, nanti kalian sebagai kepala keluarga yang akan dimintai pertanggungjawaban. Ingat baik-baik ya ucapan bapak tadi jang.”
Aku sampai terbengong, bahkan melamun demi melihat ke dalam diriku sendiri. Aku masih sering menunda-nunda waktu sholat. Bahkan kadang masih meninggalkan. Kedatanganku ke tempat ini mungkin memang sudah garis takdir. Bertemu dengan Pak Kamto dan mendapat nasihat-nasihat itu.

Cerita ini adalah bagian dari sebuah perjalanan.
Terima kasih Pak Kamto.


(Terima kasih untuk Mitra, guru-guru lain, dan pak kepala sekolah atas keramahannya dan tempat istirahatnya – SMK 1 Maret Garut)