7 Mei 2015

Wasiat Untuk Anakku




Beberapa hari lalu aku dengan beberapa teman berkunjung ke Astana Giribangun, tempat pemakaman keluarga presiden kedua Indonesia Bapak Soeharto. Sebenarnya kami tidak ada niat untuk berziarah, Kami hanya main-main setelah berkunjung dari Candi Sukuh, kebetulan kami semua belum pernah ke Astana Giribangun, jadilah kami kesana sekedar ingin tahu seperti apa makam presiden kedua negeri ini.

Sesampainya disana aku kagum, komplek pemakaman dibangun diatas sebuah bukit di area tanah yang sangat luas. Disediakan tempat parkir yang cukup luas juga. Setelah memasuki area Astana Giribangun aku tambah takjub, sama sekali tak terasa nuansa tempat pemakaman yang seperti biasa kulihat di desaku. Yang aku lihat malah sebuah bangunan yang menyerupai istana. Bangunan megah yang pastinya terbuat dari bahan-bahan pilihan. Aku tak habis pikir, ada makam yang seperti ini (jujur,baru pertama kali melihat makam semegah ini).




Aku berpikir, Pak Soeharto ini semasa hidupnya sudah duduk di singgasana presiden Negara ini puluhan tahun. Keluarganya pun bergelimang harta. Apakah beliau masih kurang puas dengan apa yang dimilikinya semasa hidup ? Sampai ketika meninggal pun keluarganya harus mempunyai makam yang layaknya istana ? Ah, aku tak habis pikir. Bahkan hampir di tiap sudut di dalam bangunan itu dipajang foto-fotonya yang disertai kata-kata biijaknya. Aku merasa kata-kata bijak itu seolah hanya bualan saja, tidak sesuai dengan kenyataannya. Mungkin untuk orang-orang yang mencintai tahta dan harta semasa hidupnya, mereka merasa layak mendapatkan kemegahan ketika mati.







Aku ingin bercermin pada Astana Giribangun itu, untuk diriku pribadi.
Bagiku, tak perlu lah bangunan makam semegah itu. Toh orang yang dikubur tak bisa melihatnya, pun tak bisa menikmati kemegahan bangunan kuburnya.







Ini wasiat untuk anakku.
"Anakku, kelak jika aku mati. Kuburlah aku dengan cara yang sederhana, sesederhana hidupku.
Hidupku yang terbiasa bekerja keras, berpeluh keringat.
Hidupku yang tak mengharapkan kemewahan dan kemegahan.
Hidupku yang berusaha berbahagia dengan cara sederhana.
Anakku, kelak jika aku mati,
Biarkan kuburku tetap terkena panasnya sinar matahari.
Biarkan kuburku tetap tersiram air hujan.
Biarkan tanah kuburku tetap terlihat.
Agar kelak jika kau berziarah ke kuburku.
Kau ingat dari mana asalmu."







00.41 , Kamis, 07 Mei 2015 (SB)

7 April 2015

Warung Bakmi Genova (kedai makan rasa vespa)



Aku menikmati tiga hari berada di kota Magelang, merasakan kesejukan kota seribu bunga itu. Hampir di setiap sudut jalan di kota itu dihiasi dengan tanaman-tanaman, menjadikan kota itu terlihat asri.
Kota yang terletak di sebelah barat gunung Merapi ini memang sangat panas jika siang. Tapi adanya bukit Tidar di tengah kota yang masih rimbun dengan pohon-pohon cemara dan pinusnya membuat Magelang terasa adem. Alun-alun kotanya yang bersih menjadikannya tempat yang nyaman untuk nongkrong masyarakat,terutama anak-anak muda.

Selama di Magelang aku menginap di rumah Mas Wawan dan Mbak Een. Mereka berdua adalah pasangan penggila vespa. Mempunyai sebuah bengkel vespa kecil dan bergelut di usaha jual beli vespa juga. Empat anak perempuannya pun diberi nama dengan nama-nama khas vespa. Anak terakhirnya yang berumur 8 bulan diberi nama Venesa Piaggio Genova,keren kan :-). Rumah sederhanya yang berada di antara gang-gang sempit itu menjadi tempat ngumpul pemuda-pemuda yang juga hobi naek vespa. Semua yang suka ngumpul disitu sudah terbiasa makan,bahkan tidur di rumah sederhana itu. Tapi semua harus  bertanggung jawab soal kebersihan rumah. Mas Wawan dan Mbak Een tambah senang jika kedatangan tamu dari luar kota. Termasuk ketika aku datang,disambut dengan sangat ramah.

Usaha inti pasangan itu sebenarnya adalah di bidang makanan. Setiap malam mereka berjualan di tepi  tikungan jalan dekat rumahnya dengan gerobak dan tenda terpal. Tapi menu makanan yang mereka jual ini tetap makanan rasa vespa..hehe.
Untuk para penggemar vespa pasti akan kaget mendengar nama menu-menu makanannya yang unik dengan nama-nama vespa. Menu andalannya adalah Nasi Goreng Lambretta dan Nasi Godhog Grand Turismo, ini adalah makanan khas Magelang, hanya namanya saja yang dibikin serasa Eropa. Mungkin saking tergila-gilanya mereka dengan vespa. Di gang sempit sebelah rumahnya saja berjajar beberapa vespa kesayangan mereka.

Tiap hari kedai makan mereka selalu rame, pembelinya gak hanya dari pencinta vespa,tapi dari semua kalangan. Di kedai makan sederhana itu dipajang foto-foto touring vespa mereka,bahkan fotoku juga ikut menghias kedai itu. Pembeli yang datang pasti akan penasaran melihat-lihat foto-foto itu.
Yang unik lagi dari kedai makan ini adalah cara memasaknya yang masih menggunakan arang dengan tenaga kipas tangan manusia. Pemuda-pemuda kawan Mbak Een yang sering nongkrong disitu sering membantu mereka berjualan dengan memainkan kipas tangan itu. Mereka sekalian belajar berjualan, karena Mbak Een tak pelit juga soal resep untuk kawan-kawannya yang ingin berwirausaha.

Setiap hari antrian pembeli selalu sabar menanti pesanan mereka dimasak. Karena Mbak Een melayani pembeli satu porsi sekali masak. Jadi setiap pembeli datang dia akan memberi tahu berapa antrian yang harus ditunggu. Para pembeli pun akan sabar menunggu.
Soal rasa, aku sudah mencicipinya, mantap pokoknya. Selera pedasnya pun bisa minta sesuai keinginan, ada level biasa, sedang, pedas, super pedas, dan bahkan ada yang minta pedas manis, seru juga kan rasanya..hehe.
Karena aku tidak begitu memahami soal kuliner,aku gak bisa bercerita banyak soal komposisi ataupun rasa, lebih baik jika penasaran dengan menu-menu makanan di kedai makan yang diberi nama Warung Bakmi Genova ini, datang langsung saja kesana. Letaknya di daerah Gelangan, dekat Lapangan Rindam Diponegoro. Dan rencananya akan membuka cabang di Jogja, semoga segera terwujud.

Terima kasih untuk keluarga Mas Wawan dan Mbak Een, kawan-kawan yang suka nongkrong disana juga. Dan Genova yang akrab dipanggil Neo yang selama 3hari disana aku gendong tiap pagi :-). Semoga kedai makannya tambah rame.

07/0402015

28 Maret 2015

Balada Kampung Halaman



Lelaki muda di bawah hujan tengah malam
Selepas kerja, badan penuh peluh
Bercampur air hujan,
Mata merah menahan perih
Jiwanya ingin berontak dari rutinitas
Tapi dia masih tak berdaya untuk keluar menantang garis takdirnya
Mungkin saat ini memang takdirnya menjadi robot bernyawa 
Buruh pabrik, pekerja siang malam
Menjadi kaum yang terabaikan

Kampungnya kini telah berubah
Sawah-sawah hijau menjadi lahan industri
Entah benar atau salah yang dilakukan
Kakek nenek atau para orang tua
Menjual sawah tanah warisan
Pada penguasa pabrik-pabrik
Kini, pemuda-pemudi tak tau lagi cara bertani
Salah siapa semua ini?
Ibu-ibu muda menjadi buruh seperti dia
Meninggalkan bayi-bayi di rumahnya
Sementara suaminya pun juga bekerja
Siang dan malam mereka mencari uang
Mungkin bayinya rindu pelukan orang tuanya
Air susu ibunya digantikan susu-susu pabrikan
Entah ini sebuah kemajuan atau kemunduran zaman
Entah salah atau benar semua ini ?

Lelaki muda sampai di rumahnya
Basah kuyub menggigil tubuhnya
Sepi kampungnya
Keluarganya pun sudah terlelap
Hanya suara air hujan yang merintik
Dan suara generator pabrik yang tak pernah mati

Sementara,suara-suara di kepalanya membuat gelisah
Dia merasa sendiri
jiwanya kembali ingin berontak
Apa yang bisa dia lakukan untuk kampungnya
Dia hanya seorang buruh
Yang tak memiliki apa-apa
Hanya,dia merasa jiwanya berbeda
Di jiwanya masih ada semangat
Untuk sedikit membuat perubahan

Entah ini suatu kemajuan atau kemunduran zaman

00.05
25/03/2015

24 Maret 2015

Kamar dan Buku



sepi...
ketika gelap merajai langit
ketika pintu-pintu rumah terkunci
hanya ada lampu-lampu jalan yang sepi
lelaki pulang seorang diri

sunyi...
saat tak ada seorang pun kawan
saat yang terdengar hanya suara serangga malam
dan suara ribut tikus-tikus yang berlarian di ruang gelap
lelaki merasa sunyi

kamar gelap...
tempat dimana lelaki itu menyendiri
diselimuti pikiran-pikiran yang tak pasti
entah bagaimana hidupnya nanti


perempuan-perempuan pergi
tanpa alasan pasti, lelaki itu dilukai

tak ada kawan
hanya tumpukan buku-buku yang menemani
kepada buku dia berbagi
kepada buku dia bercerita
tentang dirinya
tentang hidupnya

kamar gelap...
hanya cahaya lentera
menerangi lembar demi lembar yang dia baca
berharap bisa melupakan masalah-masalahnya
berharap menemukan pencerahan
berharap tak ada lagi kegundahan

hanya lembar demi lembar buku-buku
yang menemani lelaki itu
di sepinya kamar
di sunyinya kamar


00:52
24/03/2015
SB




3 Maret 2015

Copy Paste Catatan Seorang Teman

Aku teringat,
pernah ada seorang teman karib berkata padaku, “mbak, tapi kakakku gak sekolah (kuliah) lho.. dia Cuma mondok. Apa mbak Weni mau kenal ma dia?”.
Minder berkenalan (mengenalkan) karena “gak sekolah” ???!!!
Hahahaha… ada ada aja. Sepertinya ada yang masih kurang “pas” dalam cara berfikir (pandang) masyarakat kita yang mempengaruhi “kepercayaan diri” seseorang.

Apa si artinya DERAJAT sekolah? Gak sekolah, sekolah tapi gak lulus, lulusan  TK, SD, SMP, SMP, SMA, S1, S2,S3…. Begitu pentingkah tingkatan-tingkatan itu dipertanyakan dalam suatu hubungan pertemanan (atau hubungan personal apa pun)? Heuleh..heuleh.. kayak mau “ngelamar” kerja aja.
Mari kita telusuri lebih dalam.
Memang sekolah itu penting bagi orang-orang yang mau berpikir untuk mengembangkan dan menyalurkan pemikiran-pemikirannya.
Berpikir itu suatu keharusan.
Tapi untuk menjadi orang-orang yang berpikir gak harus di sekolah juga (lebih tepatnya: gak harus berkriteria memenuhi jenjang tertentu dengan bukti selembar ijazah).
Sekolah itu cuma salah satu cara. Orang yang kuliah pun belum tentu dia termasuk orang-orang yang berpikir.
Tinggal diri kita masing-masing memaknai sekolah itu sebagai apa, mau mengembangkan dan menyalurkan pemikiran-pemikiran kita melalui apa, sekolah kah? nyantri kah? atau langsung terjun ke masyarakat untuk belajar kehidupan (tanpa antara) ?
Dalam sudut pandangku, yang mengutamakan DERAJAT seseorang (lebih tepatnya KUALITAS diri) hanya dari ijazah (semata), mereka itulah manusia-manusia yang kurang berpikir (hehe.. maaf, pikiran kritis mulai kambuh).
Itu Cuma ideologi kelas “ebi” eh kelas “teri” yang ditanamkan (entah siapa yang menanam) melalui pemahaman yang salah mengenai pembeda tingkatan status sekolah (pada akhirnya tingkat status sosial).

Bagiku, esensi lebih penting dari sekedar cashing ;-) tidak memungkiri, cashing turut mendukung tapi bukan suatu “keutamaan”.
Cara berpikir dan pemikiran-pemikirannya, proses pendewasaan yang dilalui, kemauan untuk terus belajar memperbaiki diri (perbaikan dalam hal esensi hati dan pikir), kemauan untuk terus menggali dan mengusung makna dan manfaat kehidupan ini, bagiku itu semua yang lebih penting.. itulah sebuah esensi dari suatu “eksistensi kedirian” yang membedakan "kualitas diri" seseorang.
Sekali lagi, tingkatan sekolah hanya salah satu alat untuk mempermudah/membantu dalam pencapaian jenjang "keilmuan" sebagai sebuah proses yang bertahap.

Terakhir, aku tidak melirik tingkatan sekolah, tingkatan intelegensia, tingkatan kecantikan, tingkatan ketampanan, tingkatan kebaikan/keburukan sebagai sebuah "patokan" dalam memilih teman karena aku inigin memperbaiki diri dengan berteman dengan bermacam-macam orang agar ku semakin paham sekat-sekat "perbedaan" yang membelenggu kemuliaan sifat seseorang. semua yang ada di sekelilingku adalah "guru" bagiku (aku tidak berkata "pembimbing").

                                                                                                             --Untuk Para Pencari Kualitas Diri--
                                                                                                                         "suara" 25 May 2011

15 Februari 2015

Terminal


Jangan jangan pagi kau hadirkan 
Biarkan malam terus berjalan
Jangan jangan mentari kau terbitkan
Jangan jangan pagi kau datangkan 

Kumohon dan aku harapkan 
Jangan jangan mentari kau terbitkan
Dengarlah Tuhan apa yang dibisikkan

Berandal malam di bangku terminal
 (Iwan Fals - Berandal Malam di Bangku Terminal)


Beberapa hari ini, beberapa minggu ini, aku menghabiskan hari-hariku di sebuah terminal. Terminal bus kecil, yang hanya beroperasi di waktu siang sampai sore. Hanya ada beberapa angkutan desa, beberapa elf, dan sesekali bus antar kota yang singgah. Segelintir penumpang yang menunggu bus datang. Terminal menjadi titik pemberangkatan, entah kemana tujuan. Dan mungkin juga menjadi titik awal seseorang untuk mengejar impan. Terminal juga menjadi tempat pertemuan dan perpisahan. Dijemput dan menjemput seseorang, keluarga, teman, sahabat, kekasih, orang-orang yang saling menunggu dan ditunggu. Terminal menjadi saksi segala macam pertemuan dan perpisahan.

Terminal kecil ini kini menjadi tempatku berkumpul dengan kawan-kawanku. Kami yang sering dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Masyarakat yang hanya mau melihat dengan kacamatanya sendiri. Kami mencoba tak peduli dengan pandangan-pandangan masyarakat tentang kami. Disini kami membangun kebersamaan, diantara bisingnya kendaraan. Diantara celoteh-celoteh sopir angkutan dan elf. Diantara aroma alkohol murahan yang mereka tenggak. Diantara ribut-ribut pasangan suami-istri warung es yang saling memergoki diantara mereka saling selingkuh. Dintara perselingkuhan-perselingkuhan lain yang terjadi di terminal ini. Diantara bau tumpukan sampah yang seharusnya bukan tempat sampah. Diantara kelakuan pemuda-pemudi yang memanfaatkan nuansa gelap terminal ini untuk berpacaran. Diantara semua itu kami direndahkan oleh manusia-manusia yang merasa derajatnya lebih tinggi. Di terminal ini kami mencoba belajar menyerap semua pertunjukan kehidupan yang setiap hari dipertontonkan.

Disini kami mulai merajut impian, tentang desa tempat tinggal kami. Impian kecil yang ingin kami lakukan bersama-sama. Tentang masalah yang tak bisa diselesaikan oleh manusia-manusia yang merasa kaum intelektual di desa kami.  Mereka yang merasa hidupnya sudah berguna, padahal jika mau bertanya pada hati mereka yang paling dalam sendiri, mengabdi hanyalah sebuah tameng untuk mendapatkan pekerjaan yang mapan, status sosial yang diinginkan, dan keamanan finansial. Tapi memang kami tak bisa lepas dari kehidupan masyarakat, dengan segala tetek bengeknya. Biarkan saja kami dipandang rendah. Pelan-pelan, dari langkah-langkah kecil kami akan bergerak untuk sedikit membuat perubahan. Sedikit demi sedikit berusaha merubah pandangan masyarakat tentang orang-orang seperti kami. Sulit memang, tapi semua harus dicoba. Karena hidup tanpa impian sama saja membunuh diri sendiri sebelum mati. Impian kawan-kawan itu tentang 'sampah masyarakat'.

Terminal bus Gondangrejo
15/02/2015
SB

11 Januari 2015

Teratai dalam Lumpur (Thich Nhat Hanh)

Manfaat penderitaan merupakan sesuatu yang nyata. Tanpa penderitaan tidak ada kebahagiaan. Tanpa lumpur tidak akan ada bunga teratai. Apabila kamu tahu bagaimana menderita, maka tidak perlu takut dengan penderitaan. Dan ketika kamu bersikap demikian, maka kamu tidak begitu menderita lagi. Dan dari penderitaan, sekuntum bunga kebahagiaan akan merekah.