17 Mei 2015

Kembali Berjalan





Kembali melakukan perjalanan
Melangkahkan kaki ke jalanan
Terus belajar tentang kehidupan
Mencari makna atas diri

Melawan kesedihan
Kembali menelan kekecewaan
Bertanya-tanya tentang keragaman
Merasakan kecurigaan
Kadang menjadi yang terabaikan
Juga menemukan ketulusan
Mensyukuri kebaikan-kebaikan yang tak terduga


Manusia mencintai manusia
Manusia membenci manusia
Manusia peduli manusia
Manusia mengabaikan manusia
Manusia memisahkan manusia
Manusia merangkul manusia
Manusia menanam kasih
Manusia menuai sedih

Niat buruk mungkin menjelma dusta
Niat baik belum tentu berbalas baik
Langkah –langkah kaki terus mencari
Makna hidup yang hakiki


(Tasikmalaya, 17-05-2015)

9 Mei 2015

Merindukan Perjalanan




Malam ini, sepulang kerja aku belum bisa langsung tidur. Sebagai kuli pabrik yang kerja shift, aku sudah terbiasa pulang tengah malam. Sampai rumah semua orang sudah tidur. Aku buka pintu rumah sendiri, ,membersihkan badan, setelah itu makan larut malam, sendirian.

Selesai makan aku tak terbiasa langsung tidur. Mungkin aku bisa dibilang sebagai pengidap insomnia, selalu saja susah tidur. Walau dipaksa terpejam, tetap saja tak bisa tidur. Karena itulah aku memiliki sebuah ‘ritual’, aku memanfaatkan penyakit susah tidurku untuk membaca buku. Kini aku mulai terbiasa, bahkan aku mulai merasa ada yang kurang jika belum melakukan ‘ritual’ itu. Aku tak peduli sering mendapat omongan miring,"cuma kuli pabrik saja,sok-sokan baca buku". Biarkan saja orang bicara apa. Baru setelah mataku merasa capek, saat itulah kemungkinan aku bisa tertidur.

Malam ini, suara kereta membuatku merasa merindukan sesuatu. Ya, memang rumahku tak begitu jauh dari rel kereta api. Setiap malam suara deru kereta yang lewat pasti terdengar.
Malam ini aku merindukan naik kereta api. Melakukan perjalanan seorang diri, berada di dalam gerbong kereta api. Duduk bersebelahan dan berhadapan dengan orang yang tak kukenal. Saling bercakap mencoba menjalin keakraban diantara dinginnya udara AC kereta di malam hari. Melihat wajah-wajah lelah para penumpang yang menempuh perjalanan jauh, sampai akhirnya mereka tertidur bersandar pada kursi kereta ekonomi yang keras. Kadang tanpa sadar badan mereka lunglai ke penumpang di sebelahnya. Aku sendiri sering susah tidur dalam perjalanan kereta sewaktu berangkat bepergian. Berbeda ketika pulang bepergian, saat itu aku pun tak kan mampu menahan ngantuk karena kelelahan dan tertidur di kursi kereta.

Malam ini aku merindukan sebuah perjalanan. Perjalanan dengan kereta api yang membawaku ke tempat-tempat baru, stasiun-stasiun baru, atau mungkin sebuah tempat yang menjadi impianku. Aku merindukan perjalanan, bertemu dengan orang-orang baru, dengan bahasa dan logat yang berbeda. Orang-orang dengan tujuan-tujuan perjalanan yang berbeda juga. Raut-raut wajah yang berbeda-beda pula. Ada yang senang dengan perjalanannya. Ada yang merasa sedih, ada juga yang gelisah dalam perjalanan yang sedang ditempuh. Berupa-rupa perasaan yang ada di dalam hati manusia saat melakukan perjalanan. Rangkaian gerbong kereta itu hanya menjadi sarana untuk orang-orang yang entah ingin pergi kemana? Yang entah melakukan perjalanan untuk hal apa? Perjalanan untuk pekerjaan, perjalanan untuk mengunjungi keluarga, perjalanan untuk pulang, perjalanan untuk meninggalkan rumah, perjalanan untuk bersenang-senang, perjalanan untuk melupakan kesedihan, perjalanan untuk melupakan kenangan, ataupun perjalanan untuk menjemput impian. Semua orang di dalam gerbong kereta disatukan dalam sebuah perjalanan. Seperti itu pula lah kehidupan. Dunia ini layaknya sebuah gerbong kereta. Kita, manusia, mempunyai tujuan hidup masing-masing. Yang pasti berbeda-beda. Tapi, sejatinya semua akan bermuara ke tempat yang sama, Stasiun Yang Maha Rencana.

Yang pasti malam ini,aku sangat merindukan sebuah perjalanan.
Aku membayangkan berada di dalam sebuah gerbong kereta api, menuju tanah yang indah, tanah impian.


02.05, Sabtu, 09/05/2015 (SB)

7 Mei 2015

Wasiat Untuk Anakku




Beberapa hari lalu aku dengan beberapa teman berkunjung ke Astana Giribangun, tempat pemakaman keluarga presiden kedua Indonesia Bapak Soeharto. Sebenarnya kami tidak ada niat untuk berziarah, Kami hanya main-main setelah berkunjung dari Candi Sukuh, kebetulan kami semua belum pernah ke Astana Giribangun, jadilah kami kesana sekedar ingin tahu seperti apa makam presiden kedua negeri ini.

Sesampainya disana aku kagum, komplek pemakaman dibangun diatas sebuah bukit di area tanah yang sangat luas. Disediakan tempat parkir yang cukup luas juga. Setelah memasuki area Astana Giribangun aku tambah takjub, sama sekali tak terasa nuansa tempat pemakaman yang seperti biasa kulihat di desaku. Yang aku lihat malah sebuah bangunan yang menyerupai istana. Bangunan megah yang pastinya terbuat dari bahan-bahan pilihan. Aku tak habis pikir, ada makam yang seperti ini (jujur,baru pertama kali melihat makam semegah ini).




Aku berpikir, Pak Soeharto ini semasa hidupnya sudah duduk di singgasana presiden Negara ini puluhan tahun. Keluarganya pun bergelimang harta. Apakah beliau masih kurang puas dengan apa yang dimilikinya semasa hidup ? Sampai ketika meninggal pun keluarganya harus mempunyai makam yang layaknya istana ? Ah, aku tak habis pikir. Bahkan hampir di tiap sudut di dalam bangunan itu dipajang foto-fotonya yang disertai kata-kata biijaknya. Aku merasa kata-kata bijak itu seolah hanya bualan saja, tidak sesuai dengan kenyataannya. Mungkin untuk orang-orang yang mencintai tahta dan harta semasa hidupnya, mereka merasa layak mendapatkan kemegahan ketika mati.







Aku ingin bercermin pada Astana Giribangun itu, untuk diriku pribadi.
Bagiku, tak perlu lah bangunan makam semegah itu. Toh orang yang dikubur tak bisa melihatnya, pun tak bisa menikmati kemegahan bangunan kuburnya.







Ini wasiat untuk anakku.
"Anakku, kelak jika aku mati. Kuburlah aku dengan cara yang sederhana, sesederhana hidupku.
Hidupku yang terbiasa bekerja keras, berpeluh keringat.
Hidupku yang tak mengharapkan kemewahan dan kemegahan.
Hidupku yang berusaha berbahagia dengan cara sederhana.
Anakku, kelak jika aku mati,
Biarkan kuburku tetap terkena panasnya sinar matahari.
Biarkan kuburku tetap tersiram air hujan.
Biarkan tanah kuburku tetap terlihat.
Agar kelak jika kau berziarah ke kuburku.
Kau ingat dari mana asalmu."







00.41 , Kamis, 07 Mei 2015 (SB)

7 April 2015

Warung Bakmi Genova (kedai makan rasa vespa)



Aku menikmati tiga hari berada di kota Magelang, merasakan kesejukan kota seribu bunga itu. Hampir di setiap sudut jalan di kota itu dihiasi dengan tanaman-tanaman, menjadikan kota itu terlihat asri.
Kota yang terletak di sebelah barat gunung Merapi ini memang sangat panas jika siang. Tapi adanya bukit Tidar di tengah kota yang masih rimbun dengan pohon-pohon cemara dan pinusnya membuat Magelang terasa adem. Alun-alun kotanya yang bersih menjadikannya tempat yang nyaman untuk nongkrong masyarakat,terutama anak-anak muda.

Selama di Magelang aku menginap di rumah Mas Wawan dan Mbak Een. Mereka berdua adalah pasangan penggila vespa. Mempunyai sebuah bengkel vespa kecil dan bergelut di usaha jual beli vespa juga. Empat anak perempuannya pun diberi nama dengan nama-nama khas vespa. Anak terakhirnya yang berumur 8 bulan diberi nama Venesa Piaggio Genova,keren kan :-). Rumah sederhanya yang berada di antara gang-gang sempit itu menjadi tempat ngumpul pemuda-pemuda yang juga hobi naek vespa. Semua yang suka ngumpul disitu sudah terbiasa makan,bahkan tidur di rumah sederhana itu. Tapi semua harus  bertanggung jawab soal kebersihan rumah. Mas Wawan dan Mbak Een tambah senang jika kedatangan tamu dari luar kota. Termasuk ketika aku datang,disambut dengan sangat ramah.

Usaha inti pasangan itu sebenarnya adalah di bidang makanan. Setiap malam mereka berjualan di tepi  tikungan jalan dekat rumahnya dengan gerobak dan tenda terpal. Tapi menu makanan yang mereka jual ini tetap makanan rasa vespa..hehe.
Untuk para penggemar vespa pasti akan kaget mendengar nama menu-menu makanannya yang unik dengan nama-nama vespa. Menu andalannya adalah Nasi Goreng Lambretta dan Nasi Godhog Grand Turismo, ini adalah makanan khas Magelang, hanya namanya saja yang dibikin serasa Eropa. Mungkin saking tergila-gilanya mereka dengan vespa. Di gang sempit sebelah rumahnya saja berjajar beberapa vespa kesayangan mereka.

Tiap hari kedai makan mereka selalu rame, pembelinya gak hanya dari pencinta vespa,tapi dari semua kalangan. Di kedai makan sederhana itu dipajang foto-foto touring vespa mereka,bahkan fotoku juga ikut menghias kedai itu. Pembeli yang datang pasti akan penasaran melihat-lihat foto-foto itu.
Yang unik lagi dari kedai makan ini adalah cara memasaknya yang masih menggunakan arang dengan tenaga kipas tangan manusia. Pemuda-pemuda kawan Mbak Een yang sering nongkrong disitu sering membantu mereka berjualan dengan memainkan kipas tangan itu. Mereka sekalian belajar berjualan, karena Mbak Een tak pelit juga soal resep untuk kawan-kawannya yang ingin berwirausaha.

Setiap hari antrian pembeli selalu sabar menanti pesanan mereka dimasak. Karena Mbak Een melayani pembeli satu porsi sekali masak. Jadi setiap pembeli datang dia akan memberi tahu berapa antrian yang harus ditunggu. Para pembeli pun akan sabar menunggu.
Soal rasa, aku sudah mencicipinya, mantap pokoknya. Selera pedasnya pun bisa minta sesuai keinginan, ada level biasa, sedang, pedas, super pedas, dan bahkan ada yang minta pedas manis, seru juga kan rasanya..hehe.
Karena aku tidak begitu memahami soal kuliner,aku gak bisa bercerita banyak soal komposisi ataupun rasa, lebih baik jika penasaran dengan menu-menu makanan di kedai makan yang diberi nama Warung Bakmi Genova ini, datang langsung saja kesana. Letaknya di daerah Gelangan, dekat Lapangan Rindam Diponegoro. Dan rencananya akan membuka cabang di Jogja, semoga segera terwujud.

Terima kasih untuk keluarga Mas Wawan dan Mbak Een, kawan-kawan yang suka nongkrong disana juga. Dan Genova yang akrab dipanggil Neo yang selama 3hari disana aku gendong tiap pagi :-). Semoga kedai makannya tambah rame.

07/0402015

28 Maret 2015

Balada Kampung Halaman



Lelaki muda di bawah hujan tengah malam
Selepas kerja, badan penuh peluh
Bercampur air hujan,
Mata merah menahan perih
Jiwanya ingin berontak dari rutinitas
Tapi dia masih tak berdaya untuk keluar menantang garis takdirnya
Mungkin saat ini memang takdirnya menjadi robot bernyawa 
Buruh pabrik, pekerja siang malam
Menjadi kaum yang terabaikan

Kampungnya kini telah berubah
Sawah-sawah hijau menjadi lahan industri
Entah benar atau salah yang dilakukan
Kakek nenek atau para orang tua
Menjual sawah tanah warisan
Pada penguasa pabrik-pabrik
Kini, pemuda-pemudi tak tau lagi cara bertani
Salah siapa semua ini?
Ibu-ibu muda menjadi buruh seperti dia
Meninggalkan bayi-bayi di rumahnya
Sementara suaminya pun juga bekerja
Siang dan malam mereka mencari uang
Mungkin bayinya rindu pelukan orang tuanya
Air susu ibunya digantikan susu-susu pabrikan
Entah ini sebuah kemajuan atau kemunduran zaman
Entah salah atau benar semua ini ?

Lelaki muda sampai di rumahnya
Basah kuyub menggigil tubuhnya
Sepi kampungnya
Keluarganya pun sudah terlelap
Hanya suara air hujan yang merintik
Dan suara generator pabrik yang tak pernah mati

Sementara,suara-suara di kepalanya membuat gelisah
Dia merasa sendiri
jiwanya kembali ingin berontak
Apa yang bisa dia lakukan untuk kampungnya
Dia hanya seorang buruh
Yang tak memiliki apa-apa
Hanya,dia merasa jiwanya berbeda
Di jiwanya masih ada semangat
Untuk sedikit membuat perubahan

Entah ini suatu kemajuan atau kemunduran zaman

00.05
25/03/2015

24 Maret 2015

Kamar dan Buku



sepi...
ketika gelap merajai langit
ketika pintu-pintu rumah terkunci
hanya ada lampu-lampu jalan yang sepi
lelaki pulang seorang diri

sunyi...
saat tak ada seorang pun kawan
saat yang terdengar hanya suara serangga malam
dan suara ribut tikus-tikus yang berlarian di ruang gelap
lelaki merasa sunyi

kamar gelap...
tempat dimana lelaki itu menyendiri
diselimuti pikiran-pikiran yang tak pasti
entah bagaimana hidupnya nanti


perempuan-perempuan pergi
tanpa alasan pasti, lelaki itu dilukai

tak ada kawan
hanya tumpukan buku-buku yang menemani
kepada buku dia berbagi
kepada buku dia bercerita
tentang dirinya
tentang hidupnya

kamar gelap...
hanya cahaya lentera
menerangi lembar demi lembar yang dia baca
berharap bisa melupakan masalah-masalahnya
berharap menemukan pencerahan
berharap tak ada lagi kegundahan

hanya lembar demi lembar buku-buku
yang menemani lelaki itu
di sepinya kamar
di sunyinya kamar


00:52
24/03/2015
SB




3 Maret 2015

Copy Paste Catatan Seorang Teman

Aku teringat,
pernah ada seorang teman karib berkata padaku, “mbak, tapi kakakku gak sekolah (kuliah) lho.. dia Cuma mondok. Apa mbak Weni mau kenal ma dia?”.
Minder berkenalan (mengenalkan) karena “gak sekolah” ???!!!
Hahahaha… ada ada aja. Sepertinya ada yang masih kurang “pas” dalam cara berfikir (pandang) masyarakat kita yang mempengaruhi “kepercayaan diri” seseorang.

Apa si artinya DERAJAT sekolah? Gak sekolah, sekolah tapi gak lulus, lulusan  TK, SD, SMP, SMP, SMA, S1, S2,S3…. Begitu pentingkah tingkatan-tingkatan itu dipertanyakan dalam suatu hubungan pertemanan (atau hubungan personal apa pun)? Heuleh..heuleh.. kayak mau “ngelamar” kerja aja.
Mari kita telusuri lebih dalam.
Memang sekolah itu penting bagi orang-orang yang mau berpikir untuk mengembangkan dan menyalurkan pemikiran-pemikirannya.
Berpikir itu suatu keharusan.
Tapi untuk menjadi orang-orang yang berpikir gak harus di sekolah juga (lebih tepatnya: gak harus berkriteria memenuhi jenjang tertentu dengan bukti selembar ijazah).
Sekolah itu cuma salah satu cara. Orang yang kuliah pun belum tentu dia termasuk orang-orang yang berpikir.
Tinggal diri kita masing-masing memaknai sekolah itu sebagai apa, mau mengembangkan dan menyalurkan pemikiran-pemikiran kita melalui apa, sekolah kah? nyantri kah? atau langsung terjun ke masyarakat untuk belajar kehidupan (tanpa antara) ?
Dalam sudut pandangku, yang mengutamakan DERAJAT seseorang (lebih tepatnya KUALITAS diri) hanya dari ijazah (semata), mereka itulah manusia-manusia yang kurang berpikir (hehe.. maaf, pikiran kritis mulai kambuh).
Itu Cuma ideologi kelas “ebi” eh kelas “teri” yang ditanamkan (entah siapa yang menanam) melalui pemahaman yang salah mengenai pembeda tingkatan status sekolah (pada akhirnya tingkat status sosial).

Bagiku, esensi lebih penting dari sekedar cashing ;-) tidak memungkiri, cashing turut mendukung tapi bukan suatu “keutamaan”.
Cara berpikir dan pemikiran-pemikirannya, proses pendewasaan yang dilalui, kemauan untuk terus belajar memperbaiki diri (perbaikan dalam hal esensi hati dan pikir), kemauan untuk terus menggali dan mengusung makna dan manfaat kehidupan ini, bagiku itu semua yang lebih penting.. itulah sebuah esensi dari suatu “eksistensi kedirian” yang membedakan "kualitas diri" seseorang.
Sekali lagi, tingkatan sekolah hanya salah satu alat untuk mempermudah/membantu dalam pencapaian jenjang "keilmuan" sebagai sebuah proses yang bertahap.

Terakhir, aku tidak melirik tingkatan sekolah, tingkatan intelegensia, tingkatan kecantikan, tingkatan ketampanan, tingkatan kebaikan/keburukan sebagai sebuah "patokan" dalam memilih teman karena aku inigin memperbaiki diri dengan berteman dengan bermacam-macam orang agar ku semakin paham sekat-sekat "perbedaan" yang membelenggu kemuliaan sifat seseorang. semua yang ada di sekelilingku adalah "guru" bagiku (aku tidak berkata "pembimbing").

                                                                                                             --Untuk Para Pencari Kualitas Diri--
                                                                                                                         "suara" 25 May 2011