5 Juni 2015

Mari Menanam

Tanam tanam tanam kita menanam 
Tanam pohon kehidupan 
Kita tanam masa depan
(Iwan Fals)

Potongan lirik lagu dari Bang Iwan itulah yang menjadi salah satu inspirasiku untuk menanam pohon. Selain memang aku sudah lama mencintai alam, udara segar, dan lingkungan yang hijau. Dulu aku sering naik gunung untuk mendapatkan udara segar, untuk melihat alam yang masih asri, melihat rimbunnya hutan yang hijau. Tapi sekarang gunung-gunung mulai ramai oleh banyaknya para pendaki atau wisatawan yang ingin eksis. Mereka juga ingin menghirup udara segar pegunungan. Ingin mencium aroma tanah basah dan daun-daunan di hutan. Ingin merasakan sensasi petualangan. Lalu pulang dengan berbagai pengalaman, kenangan-kenangan, dan foto-foto yang membanggakan.
 

Oleh karena itu aku mulai mencari kegiatan lain yang lebih sederhana dan bisa dinikmati hampir setiap hari. Tidak perlu harus jauh-jauh ke gunung yang sekarang sudah mulai padat oleh para pendaki. Kegiatan itu adalah menanam. Ya, menanam pohon. Cukup di pekarangan rumah, karena aku tidak mempunyai banyak lahan tanam. Menanam di pot bisa menjadi alternatif untuk membuat lingkungan rumah kita terlihat hijau.

Sebulan lalu aku membeli dua bibit tanaman pucuk merah atau yang dalam bahasa latinnya
Syzygium oleana. Dua bibit tak masalah untuk mengawali kegiatan ini, semoga bisa berkelanjutan. Tanaman ini sedang banyak digandrungi. Bahkan tanaman ini banyak digunakan untuk penghijauan di taman-taman kota. Memang tanaman ini terlihat cantik dengan pucuk-pucuk tunas daunnya yang berwarna merah tua. Membuat lingkungan sekitarnya terlihat segar. Aku menanam dua bibit tanaman itu di halaman rumah dengan pot. Cara menanamnya mudah dan perawatannya juga sederhana. Cukup disiram setiap hari, sangat mudah.

Menanam bagiku adalah kegiatan yang sangat menyenangkan. Setiap hari menyiram tanaman itu, mengamati pertumbuhannya. Ketika tunas-tunas muda daunnya mulai tumbuh, melihat hal itu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri yang sederhana.
Menanam juga memiliki banyak keuntungan. Kita sama saja memiliki sebuah 'mesin penghasil oksigen' di halaman rumah kita. Selama kita terus merawat pohon yang kita tanam. Selama pohon yang kita tanam terus hidup dan tumbuh, selama itu juga pohon itu akan menghasilkan udara bersih untuk kita. Dimana tingkat polusi udara sekarang sudah dalam tahap yang menkhawatirkan. Menanam pohon di halaman rumah atau di lingkungan sekitar kita adalah salah satu solusi sederhana agar udara bersih tetap tersedia untuk kita dan lingkungan.

Menanam juga merupakan sebuah pelajaran berharga untuk diri kita sendiri khususnya dan untuk anak cucu kita kelak. Dari menanam pohon kita bisa belajar tentang kehidupan. Setiap hari kita menyiram tanaman atau pohon-pohon yang kita tanam dengan air yang bersih dan juga memupuknya agar tanaman itu tumbuh subur. Kita juga harus merawatnya dengan memangkas daun-daunnya yang sudah tua atau layu agar tanaman itu terlihat indah. Begitupun dengan hidup kita, kita harus terus berusaha menyiraminya setiap hari dengan kebaikan-kebaikan. Melakukan hal-hal baik walaupun sederhana agar kita juga memperoleh kebaikan di masa depan. Karena apa yang kita tanam, itulah yang akan kita tuai. Kita juga harus berusaha sedikit demi sedikit memangkas atau mengurangi sifat-sifat jelek kita. Semua manusia tak bisa lepas dari sifat jelek, semua pasti memilikinya. Tapi kita bisa mengurangi atau meminimalkan sifat-sifat itu agar hidup kita semakin indah.

Tanaman yang kita tanam di halaman rumah juga bisa menjadi guru bagi anak-anak atau cucu-cucu kita nantinya. Bagaimana kita harus merawat hidup kita seperti kita merawat tanaman itu.
Dan halaman rumah yang asri, banyak tanaman hijau yang indah akan menjadi tempat bermain yang menyenangkan untuk anak-anak dan cucu-cucu kita kelak.


Menanam dan merawat tanaman adalah kegiatan yang menyenangkan. Sebuah kebahagiaan sederhana yang bisa kita nikmati hampir setiap hari. Mari menanam.
Selamat Hari Lingkungan Hidup Sedunia.

Mari menikmati hari ini dengan mendengarkan lagu dari Bang Iwan-Tanam Siram,
 
Tanam tanam tanam kita menanam 
Tanam pohon kehidupan 
Kita tanam masa depan
Tanam tanam tanam kita menanam 

Jangan lupa disiram
Yang sudah kita tanam
Siram siram siram yo kita siram 

Apa yang kita tanam 
Ya mesti kita siram
Tanam tanam pohon kehidupan 

Siram siram sirami dengan sayang 
Tanam tanam tanam masa depan 
Benalu benalu kita bersihkan
Biarkan anak cucu kita belajar dibawah pohon 

Biarkan anak cucu kita menghirup udara segar 
Biarkan mereka tumbuh bersama hijaunya daun 
Jangan biarkan mereka mati dimakan hama kehidupan
Tanam tanam tanam ...siram 

Tanam tanam tanam ... oi 
Tanam tanam tanam ... siram 
Tanam tanam tanam





4 Juni 2015

Kehilangan

"Kita tuan pada masing-masing kehilangan-kehilangan." (Sisir Tanah-Obituari Air mata)

Setiap orang pasti pernah kehilangan. Entah kehilangan apa saja. Kehilangan harta-benda, kehilangan keluarga, sahabat/teman, pacar. Kehilangan cinta. Kehilangan kesempatan. Kehilangan waktu. Dan masih banyak lagi hal-hal yang sering hilang dari kita.

Tapi sejatinya jika kita mau berpikir atau merenungi lebih dalam, sejatinya kita tak pernah kehilangan. Sering kali kesalahan kita adalah kita merasa kehilangan. Dan semua itu berawal dari sifat kita yang merasa memiliki. Padahal sejatinya dalam hidup ini kita tidak memiliki apa-apa. Semua hanya titipan, ketika yang Maha Memiliki itu mengambil apa yang dititipkan ke kita seharusnya kita mengembalikannya dengan senang hati. Bukan malah merasa kehilangan atau mungkin sedih bahkan marah. Karena dengan diambilnya apa yang dititipkanNya pada kita, berarti kita malah bisa belajar melepaskan diri kita dari hal-hal dunia.

Ya, sulit memang. Aku sendiri pun masih sering merasa kehilangan dengan hal-hal yang sebenarnya sepele. Hal-hal yang sebenarnya hanya duniawi. Aku menulis ini untuk mengingatkan diriku sendiri jika kelak aku mengalami sebuah kehilangan. Kehilangan-kehilangan yang kita rasakan sejatinya adalah akibat dari diri kita sendiri yang merasa memiliki.
 
"Kita tuan pada masing-masing kehilangan-kehilangan."

3 Juni 2015

Siang 03/06/15



sisir tanah

Kita tuan pada masing-masing keinginan-keinginan
Kita tuan pada masing-masing kebohongan-kebohongan
Kita tuan pada masing-masing keputusan-keputusan
Kita tuan pada masing-masing kehilangan-kehilangan
Air mata kenapa kau harus menangis
Air mata kenapa kau harus menangis

Kita tuan pada masing-masing kesalahan-kesalahan
Kita tuan pada masing-masing kekalahan-kekalahan
Kita tuan pada masing-masing pengorbanan-pengorbanan
Kita tuan pada masing-masing penyesalan-penyesalan
Air mata kenapa kau harus menangis
Air mata kenapa kau harus menangis

Lihat di hati kita, di hati kita, siapa yang mati ? Sapa yang mati ?

(Obituari air mata-Sisir Tanah)

Aku tak bosan mendengarkan lagu itu. Petikan gitar yang sederhana dan lirik lagu yang 'dalam' membuat kita seolah-olah hanyut dan masuk ke dalam sebuah perenungan diri.
Menurutku kita bebas mengartikan sebuah lagu sesuai imajinasi kita. Sang penulis lagu pun mungkin akan senang jika pendengarnya bisa menikmati lagunya dengan pemahamannya masing-masing. Bebas mengartikan kata-kata. Bebas menafsirkan maksud. Bebas menghayati dengan hatinya masing-masing. Karena lirik lagu bukanlah kitab suci, karena lirik lagu adalah seni.

Keputusan-keputusan yang aku ambil dalam hidupku adalah pilihan yang harus aku hadapi.  Setiap orang bebas memilih dan menentukan jalan hidupnya. Setiap keputusan mengandung resiko. Setiap jalan mempunyai tantangannya sendiri-sendiri. Setiap kejadian dalam hidup memang sudah digariskan. Tapi hidup juga menuntut kita untuk berani mengambil keputusan-keputusan dalam setiap hal yang kita hadapi dalam kehidupan ini.
Kita tuan pada masing-masing keputusan-keputusan.

21 Mei 2015

Tulisan Untuk Ibu



Aku ingin sedikit bercerita tentang suatu hal yang aku peroleh dari perjalananku kemarin. Mungkin ini bukan sebuah pengalaman seru, menarik ataupun menakjubkan. Tapi bagiku ini adalah pengalaman yang mengesankan.

Minggu lalu aku beserta dua orang kawan berkunjung ke kota Tasikmalaya. Menikmati udara dingin di gunungnya, sembari bermelankolis memandangi city light kota itu dari ketinggian. Bercakap menciptakan keakraban dengan warganya. Menyambung tali silaturahmi dan menambah saudara, sungguh kebaikan dalam perjalanan yang tak terduga. Lalu berjalan-jalan di kota Tasik yang rapi dan bersih.
Selama berjalan-jalan di kota inilah aku memperoleh pengalaman melihat beberapa adegan kehidupan yang dipertontonkan Semesta padaku. Adegan-adegan yang kulihat ini kurasa memiliki benang merah yang sama. Saling terkait satu sama lain. Karena aku percaya sesuatu yang terjadi itu tidak ada yang kebetulan, maka aku percaya Semesta memperlihatkan adegan-adegan itu padaku agar aku belajar sesuatu dari situ.

Pertama, ketika aku dan kawan berjalan menuju Masjid Agung Kota. Di trotoar jalan depan masjid  ada seorang ibu tua duduk, kepalanya ditutup kain untuk menghindari panasnya terik matahari. Di depannya, seorang anak laki-laki yang mungkin berumur sekitar 5 tahun tertidur beralaskan sebuah kain. Entah itu anaknya atau cucunya,atau siapanya aku tak tahu. Di depannya, lalu-lalang orang yang lewat, seolah tak melihat keberadaan ibu dan anak itu. Termasuk diriku, yang hanya lewat berlalu sambil melirik keadaan mereka. Aku merasa berdosa pada diriku sendiri. Sampai kami tiba di masjid dan beristirahat. Aku berpikir, bodohnya aku mengabaikan kesempatan untuk membalas kebaikan Semesta padaku selama ini. Pasti aku akan menyesal dan merasa tidak tenang karena mengabaikannya. Akhirnya aku memilih mengambil sebuah keputusan kecil.

Kedua, masih di sekitaran Masjid Agung. Ketika aku beristirahat di serambi masjid besar dan megah itu. Masjid yang bersih dan terlihat rapi. Banyak orang-orang yang memanfaatkan serambi dan halaman masjid itu untuk beristirahat. Di halaman masjid, di sebelah pohon yang rindang duduk seorang ibu dan anak laki-lakinya yang mungkin berumur 7 tahunan. Mereka duduk membelakangiku yang berada di serambi masjid. Sehingga aku leluasa melihat tanpa sepengetahuan mereka. Ibu itu membuka bungkusan plastik yang dibawanya. Mengeluarkan isinya yang ternyata seragam sekolah SD putih-merah, terlihat masih baru. Aku yakin ibu itu sehabis membelikan perlengkapan sekolah untuk anak laki-laki yang duduk disebelahnya itu. Anak itu terlihat senang, sedang mematut topi merah yang biasa untuk upacara di hari senin. Setelah itu dia mematut topi pramukanya, lalu memberikannya pada ibunya sambil tersenyum. Aku memberitahukan adegan itu pada Awan, kawan  perjalananku. Awan ikut memandangi adegan itu,lalu dia berucap “Aku kangen ibuku mas.” Awan memang akrab memanggilku mas. Dia yang hidup merantau di ibukota sering merasakan kerinduan pada ibunya yang berada jauh di Solo.

Ketiga, aku sudah berpisah dengan dua orang kawan perjalananku. Mereka pulang ke tanah perantauannya. Sedangkan aku akan kembali ke Solo dengan kereta api.  Kereta masih berangkat sekitar tengah malam. Aku menunggu di stasiun , duduk di kursi kayu menyandarkan tubuh yang kelelahan dan mengantuk. Lalu datang tiga orang keluarga kecil, laki-laki berambut gondrong dengan topi merah, menyandang tas daypack Deuter warna biru. Perempuan berhijab hijau, dengan ransel Deuter merah. Lalu seorang anak perempuan dengan tubuh yang lumayan padat, kulit kehitaman dan berambut ikal, dia pun menggendong sebuah ransel kecil  Deuter juga. Alamak, pikirku “ini benar-benar keluarga pendaki atau traveller, apalah sebutannya.” Mereka mengambil tempat duduk di depanku. Aku sedang tidak berminat membuka obrolan karena tubuh dan pikiranku yang lelah. Mereka pun merasa asik satu sama lain. Perempuan,yang aku yakin dia adalah seorang ibu itu mengobrol dengan anak perempuannya. Aku yang duduk di belakannya, tanpa disebut 'nguping' pun aku mendengar obrolan mereka. Dan menurutku itu sebuah obrolan yang manis, sungguh manis ditambah pelukan sayang ibu itu ke anaknya, lalu menciumi keningnya. Laki-laki, yang aku yakin adalah seorang ayah, dia memotret adegan itu, mungkin untuk mengabadikan kemesraan istri dan anaknya, harta paling berharga yang dia miliki. Aku hanya membatin dan berdoa dalam hati, semoga aku bisa merasakan hal seperti itu kelak. Aku yakin Tuhan Maha Mendengar.

Dari semua hal yang aku lihat itu, jelas ada sebuah benang merah yang mengaitkan peristiwa demi peristiwa. Aku yakin semua peristiwa itu ingin menyampaikan pesan yang sama kepadaku. Ada beberapa hal yang kupikirkan sejak melihat adegan-adegan itu.
Ketika aku menceritakan hal ini pada seorang teman, dia berpendapat “mungkin itu pertanda atau cerminan dirimu bahwa kamu ingin segera menikah, atau itu pesan agar kamu segera menikah.” Sambil tertawa temanku itu berucap, aku pun menanggapinya hanya dengan senyuman dan tertawa dalam hati sambil berucap “aamiin…”
Aku pribadi menanggapi adegan-adegan itu dengan pandangan yang berbeda. Aku berpikir mungkin ini adalah pesan agar aku lebih mendekatkan diri pada keluargaku, terutama ibuku.
“Ibuku yang pendiam. Ibuku yang selalu menungguku pulang dan meyiapkan masakan sederhananya untukku. Aku yang sering meninggalkan rumah untuk naik gunung ataupun sekedar bepergian ke kota-kota lain. Ibuku yang selalu merestui apapun yang kulakukan. Aku tak pernah bisa mengucapkan kata-kata indah “aku sayang ibu” atau “aku mencintaimu ibu” secara langsung. Aku memang pengecut yang hanya berani mengucapkan kata-kata lewat tulisan. Tapi hal-hal kecil yang sering kulakukan, mencium tanganmu setiap kali aku akan pergi, itu adalah bukti rasa sayangku. Ibuku yang aku tak tahu kapan ulang tahunnya, karena tidak ada tanggal lahir di KTPnya. Aku mencintaimu ibu.  Mungkin sekarang aku harus lebih memperbanyak waktu untuk keluarga. Yang aku miliki hanyalah keluarga ini, aku merasa bahagia berada di tengah-tengah keluargaku."

ibu
Setiap perjalanan pasti akan memberikan makna dan pelajaran yang berharga. Tinggal bagaimana kita menyikapi perjalanan itu. Hal-hal sederhana ini pun merupakan sebuah pelajaran berharga.


21/05/2015

17 Mei 2015

Kembali Berjalan





Kembali melakukan perjalanan
Melangkahkan kaki ke jalanan
Terus belajar tentang kehidupan
Mencari makna atas diri

Melawan kesedihan
Kembali menelan kekecewaan
Bertanya-tanya tentang keragaman
Merasakan kecurigaan
Kadang menjadi yang terabaikan
Juga menemukan ketulusan
Mensyukuri kebaikan-kebaikan yang tak terduga


Manusia mencintai manusia
Manusia membenci manusia
Manusia peduli manusia
Manusia mengabaikan manusia
Manusia memisahkan manusia
Manusia merangkul manusia
Manusia menanam kasih
Manusia menuai sedih

Niat buruk mungkin menjelma dusta
Niat baik belum tentu berbalas baik
Langkah –langkah kaki terus mencari
Makna hidup yang hakiki


(Tasikmalaya, 17-05-2015)

9 Mei 2015

Merindukan Perjalanan




Malam ini, sepulang kerja aku belum bisa langsung tidur. Sebagai kuli pabrik yang kerja shift, aku sudah terbiasa pulang tengah malam. Sampai rumah semua orang sudah tidur. Aku buka pintu rumah sendiri, ,membersihkan badan, setelah itu makan larut malam, sendirian.

Selesai makan aku tak terbiasa langsung tidur. Mungkin aku bisa dibilang sebagai pengidap insomnia, selalu saja susah tidur. Walau dipaksa terpejam, tetap saja tak bisa tidur. Karena itulah aku memiliki sebuah ‘ritual’, aku memanfaatkan penyakit susah tidurku untuk membaca buku. Kini aku mulai terbiasa, bahkan aku mulai merasa ada yang kurang jika belum melakukan ‘ritual’ itu. Aku tak peduli sering mendapat omongan miring,"cuma kuli pabrik saja,sok-sokan baca buku". Biarkan saja orang bicara apa. Baru setelah mataku merasa capek, saat itulah kemungkinan aku bisa tertidur.

Malam ini, suara kereta membuatku merasa merindukan sesuatu. Ya, memang rumahku tak begitu jauh dari rel kereta api. Setiap malam suara deru kereta yang lewat pasti terdengar.
Malam ini aku merindukan naik kereta api. Melakukan perjalanan seorang diri, berada di dalam gerbong kereta api. Duduk bersebelahan dan berhadapan dengan orang yang tak kukenal. Saling bercakap mencoba menjalin keakraban diantara dinginnya udara AC kereta di malam hari. Melihat wajah-wajah lelah para penumpang yang menempuh perjalanan jauh, sampai akhirnya mereka tertidur bersandar pada kursi kereta ekonomi yang keras. Kadang tanpa sadar badan mereka lunglai ke penumpang di sebelahnya. Aku sendiri sering susah tidur dalam perjalanan kereta sewaktu berangkat bepergian. Berbeda ketika pulang bepergian, saat itu aku pun tak kan mampu menahan ngantuk karena kelelahan dan tertidur di kursi kereta.

Malam ini aku merindukan sebuah perjalanan. Perjalanan dengan kereta api yang membawaku ke tempat-tempat baru, stasiun-stasiun baru, atau mungkin sebuah tempat yang menjadi impianku. Aku merindukan perjalanan, bertemu dengan orang-orang baru, dengan bahasa dan logat yang berbeda. Orang-orang dengan tujuan-tujuan perjalanan yang berbeda juga. Raut-raut wajah yang berbeda-beda pula. Ada yang senang dengan perjalanannya. Ada yang merasa sedih, ada juga yang gelisah dalam perjalanan yang sedang ditempuh. Berupa-rupa perasaan yang ada di dalam hati manusia saat melakukan perjalanan. Rangkaian gerbong kereta itu hanya menjadi sarana untuk orang-orang yang entah ingin pergi kemana? Yang entah melakukan perjalanan untuk hal apa? Perjalanan untuk pekerjaan, perjalanan untuk mengunjungi keluarga, perjalanan untuk pulang, perjalanan untuk meninggalkan rumah, perjalanan untuk bersenang-senang, perjalanan untuk melupakan kesedihan, perjalanan untuk melupakan kenangan, ataupun perjalanan untuk menjemput impian. Semua orang di dalam gerbong kereta disatukan dalam sebuah perjalanan. Seperti itu pula lah kehidupan. Dunia ini layaknya sebuah gerbong kereta. Kita, manusia, mempunyai tujuan hidup masing-masing. Yang pasti berbeda-beda. Tapi, sejatinya semua akan bermuara ke tempat yang sama, Stasiun Yang Maha Rencana.

Yang pasti malam ini,aku sangat merindukan sebuah perjalanan.
Aku membayangkan berada di dalam sebuah gerbong kereta api, menuju tanah yang indah, tanah impian.


02.05, Sabtu, 09/05/2015 (SB)