7 Agustus 2013

Cerita di Balik Reuni Kita

  Berawal dari sebuah obrolan di suatu siang dengan Trinuryanto(pokel) di rumahku.
aku : Kel, ni banyak teman-teman SMP yang sebenernya pengen banget ada reunian .
        dah sekitar 10 tahunan tapi belum pernah ada ada acara reunian .
Tri   : Lha mathuke piye ??
aku :  Kalau gak ada yang mulai buat bergerak nyoba ngadain pasti gak akan pernah kesampaian.
Tri  :  Iyoo, ya gini aja, kita yang ada di daerah kan kemungkinan punya waktu luang .
         Jadi kita coba aja ngadain, kontak teman-teman via sms dan FB. Ajak yang minat-minat aja dulu.
aku : ok .

   Nah, mulailah kami menghubungi teman-teman yang dekat-dekat dulu. Morfi Ardian(thuil) langsung siap untuk wara-wiri. Ari(poleng) juga bersedia untuk memberi kabar ke teman-teman di wilayah selatan. Noviyanto di wilayah barat.
Beberapa hari kemudian kami rembukan di rumah Tri. Disepakati akan mengadakan buber(buka bersama) dan reuni di Vio Resto dengan biaya Rp 20.000,- per orang (entuk opo duit sak munu kuwi cah???)hehe.
Kabar itu langsung dikirim ke teman-teman. Tapi ternyata banyak yang tidak setuju karena katanya makanan di Vio Resto kurang enak. Terus kami berkumpul lagi di rumah Morfi. Guruh dan Hardiyanto bersedia bergabung untuk mengurusi acara reuni ini.
   Lalu rencana acara dirubah dialihkan tempatnya di SMP. Dengan pertimbangan suasananya lebih nyantai dan waktu bertemunya bisa lebih lama daripada di sebuah resto. Dan juga tentunya untuk mengenang masa-masa SMP langsung ditempatnya. Dan dimulailah pergerakan sederhana ini.
Morfi langsung ke SMP dengan santainya. Pakai celana yang panjangnya nanggung dan dengan sendal,rencananya untuk menemui kepala sekolah buat minta ijin menggunakan tempat di sekolah (opo yo patut kuwi?)hehe. Tapi hanya bisa bertemu dengan Ibu Siti Sholikah. Itu pun Morfi  berbicara ke Bu Siti dangan bahasa Jawa campur bahasa Indonesia. Sampai dia ditegur oleh Bu Siti katanya. Untung saja aku tidak ikut,hehe. Ijin belum didapat.
    Kemudian aku usul ke Morfi untuk menemui Tri Kuwati biar membantu mengurusi ijin ke sekolah dan membuatkan undangan. Tri Kuwati ini adalah teman yang di waktu SMP terkenal dengan kata-kata maafnya,seperti tokoh Mpok Minah di serial Bajaj Bajuri.
"maaf ya Sidiq"
"maaf ya Iwan"
Nah itulah kata-kata yang pasti akan terucap setiap hari dari mulut seorang Tri Kuwati yang baik hati,jujur dan tidak sombong. Supel dan aktif pula. hehehe
Dan akhirnya masalah ijin tempat pun beres. Setelah itu mulailah kami kembali bergerilya ke pelosok-pelosok daerah untuk mengedarkan undangan ke rumah teman-teman.
Hari ke hari. Satu minggu ke dua minggu kami terus berkeliling.
Berharap banyak teman yang mau ikut. Yang merantau kami kontak via hp.
Ada cerita lucu saat Trinuryanto dan Noviyanto mencari rumah seorang teman yang bernama Yanti. Tri dan Novi ini melihat seorang cewek yang sedang nyapu di depan rumah di kampung Yanti. Mereka berdua berhenti dan turun dari motor terus bertanya ke cewek itu.
Tri         : Mbak,mau numpang tanya, rumahnya Mbak Yanti yang mana ya ?
Cewek  : Ya saya ini yang namanya Yanti mas !
                Trimbel ya ??
Tenyata orang yang ditanya adalah orang yang dicari. Betapa malunya Trinuryanto saat itu.hehehe. Sepuluh tahun itu ternyata waktu yang cukup lama sampai kadang kita tidak ingat wajah teman lama kita.
Lanjut ke hari-hari berikutnya. Persiapan demi persiapan sederhana yang kami lakukan lumayan mulai ada hasilnya. Banyak teman-teman yang mendaftar.
Dua hari sebelum hari-H kami berkumpul di rumah Guruh. Rina,Desi dan Ryan juga datang untuk membantu. Memang belum ada panitia resmi dalam reuni ini. Kami hanya meminta teman-teman yang luang waktunya untuk membantu. Setelah semua hal di bahas, dari acara sampai perlengkapan-perlengkapan yang diwarnai juga dengan perdebatan yang lumayan hangat. Akhirnya kami hanya bisa berdoa agar acara reuni nantinya berjalan lancar. Beberapa guru pun ikut diundang.
     Tanggal 06 Agustus 2013, jam 1 siang kami baru mulai berkumpul di SMP untuk merpersiapkan tempat acara. Dan hasilnya adalah acara Buber dan Reuni Alumni SMP N 1 Gondangrejo tahun 2002/2003 yang sudah sama-sama kita lalui kemarin. Acara sederhana,tapi semoga berkesan untuk kita semua. Kita bisa kembali menyambung tali silaturahmi.
Acara ini mungkin tidak akan terwujud tanpa kerja sama dan partisipasi dari teman-teman semua. Kami berharap di tahun-tahun mendatang acara seperti ini bisa kembali diadakan. Dan semoga juga acaranya akan bertambah lebih baik.

Saya mewakili teman-teman panitia mangucapkan permohonan maaf karena masih banyak kekurangan dalam membuat acara dan juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman semua.
Semoga Tuhan selalu menjaga kita. Semoga selalu dilapangkan rezeki kita. Dan semoga selalu dimudahkan dalam menggapai impian-impian kita. Bagi yang masih lajang semoga dimudahkan bertemu jodohnya. Yang sudah berkeluarga semoga keluarganya selalu dalam keadaan baik.
Dan satu lagi yang kurang dalam acara kemarin. Mari bersama-sama berdoa untuk seorang teman yang telah berpulang mendahului kita. Semoga teman/sahabat/saudara kita Mulato mandapat tempat yang baik di sisiNYA. Amiiin....


*Tulisan sederhana ini dibuat bukan untuk tujuan macam-macam. Hanya sebuah catatan kecil untuk sekedar meramaikan group alumni kita.
Jika ada kata-kata yang kurang berkenan mungkin memang ada unsur kesengajaan dari saya.
Salam...


(Sidiq Bahtiar)

26 Juli 2013

Sahur di Warung Tertinggi Pulau Jawa


 Gunung Lawu terletak di perbatasan propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Merupakan gunung yang dikeramatkan oleh penduduk sekitarnya. Karena di gunung ini banyak terdapat petilasan-petilasan dari kerajaan Majapahit. Jadi selain para pendaki, gunung ini juga kerap dikunjungi oleh para peziarah. Mereka mendaki ke puncak gunung lawu untuk menziarahi petilasan dari Prabu Brawijaya. Beliau adalah bekas raja Majapahit. Konon Prabu Brawijaya melarikan diri ke puncak gunung lawu dari kejaran pasukan Raden Patah(Raja Demak) yang merupakan anaknya sendiri. Prabu Brawijaya dikejar pasukan anaknya itu karena beliau menolak untuk masuk agama islam pada saat itu. Selain dikejar pasukan Raden Patah,beliau juga lari dari kejaran Adipati Cepu. Bahkan saking kesalnya Prabu Brawijaya sampai mengucap sumpah,kalau orang-orang Cepu naik ke gunung lawu maka mereka akan celaka atau mati. Sumpahnya itu masih dianggap sakral sampai sekarang.

  Petilasan Prabu Brawijaya ini dibuktikan dengan adanya cungkup di Hargo Dalem. Letaknya dibawah puncak gunung lawu. Tempat inilah yang menjadi tujuan utama para peziarah. Di dekat Hargo Dalem ini warung Mbok Yem sudah berdiri dari hampir 20 tahun yang lalu. Warungnya selalu siap memenuhi kebutuhan makanan para peziarah dan pendaki. Di warung ini mereka juga bisa menginap untuk menghindari udara dingin puncak gunung lawu. Mungkin warung Mbok Yem ini adalah warung tertinggi di Pulau Jawa. Warung ini berada di ketinggian -+ 3000 Mdpl.

   23 Juli 2013 jam 17.45 kami istirahat di pos 2 jalur cemorosewu. untuk menikmati buka puasa sederhana bersama. Disini hanya ada aku,Danu dan Kang Wiro. Air putih,biskuit, dan arbei yang kami petik di jalur pendakian adalah menu buka puasa kami sore ini.
Langit sudah mulai gelap,udara pun semakin dingin ditambah angin yang terus bertiup membuat tubuh kami kedinginan. Melanjutkan perjalanan ditemani cahaya bulan purnama yang sangat terang. Kabut tipis yang bergerak tertiup angin menjadi pemandangan indah di malam hari.
Jam 21.00 kami sampai di warung Mbok Yem. Keramahan Mbok Yem langsung menyambut kami. Perapian langsung disiapkan. Teh hangat segera dituangkan ke gelas. Nasi sayur dan telur dadar yang sudah dingin adalah buka puasa kami yang sebenarnya. Malam itu kami habiskan dengan bercengkrama bersama Mbok Yem dan anaknya. Bercerita tentang rutinitas mereka di gunung, mengambil air ke sendang(mata air) dan mencari kayu bakar. Seolah hidup mereka didedikasikan untuk Gunung Lawu dan para pendakinya. Hidup mereka mungkin adalah contoh kesederhanaan. Terasing di puncak gunung, jauh dari hiruk pikuk kehidupan kota. Gunung sudah menjadi rumah mereka. Warungnya selalu terbuka setiap saat untuk para pendaki yang datang untuk makan dan minum,atau bahkan hanya sekedar singgah menumpang istirahat dan berlindung dari dinginnya gunung.

  Udara yang dingin membuat kami segera bergelung ke dalam sleeping bag masing-masing. Jam 03.00 dini hari alarm hpku berdering. Aku dan kang Wiro segera bangun,lalu membuat api di perapian. Menyiapkan makanan untuk sahur. Mbok Yem menyuruh kami memasak sendiri. Sebuah pelajaran aku dapat, betapa repot dan capeknya searang ibu yang dalam keadaan ngantuk harus bangun dini hari untuk masak menyiapkan makanan sahur untuk keluarga. Setelah mie rebus + telur yang kami masak matang,aku segera membangunkan Danu untuk sahur bersama. Pagi ini kami sahur di sebuah warung tertinggi di Pulau Jawa dengan suhu 4 derajat celcius. Kami melahap makanan sembari menahan dinginnya udara. Di luar kabut masih menyelimuti. Kami menghabiskan minuman sambil duduk di dekat perapian. Mbok Yem kembali tidur di tempatnya yang tertutup tirai untuk menahan angin. Setelah fajar subuh, kami pun kembali bergelung ke dalam sleeping bag. Di luar angin kencang masih berhembus meyambut pagi. Mungkin matahari terbit tidak akan terlihat karena tertutup kabut. Tapi pagi itu hati kami tetap merasakan kecerahan hidup

.

14 Juli 2013

Bersepeda dan Mendaki Gunung Ungaran



1 Juli 2013, pagi-pagi aku dan Danu sudah sibuk mengecek sepeda butut kami. Memperbaiki rem, menyiapkan kunci-kunci dan alat camping yang akan kami bawa. Siangnya kami masih punya urusan masing-masing  yang harus diselesaikan, jadi kami putuskan untuk berangkat sore. Siang itu hujan turun sangat deras. Kami sempat berunding jadi berangkat atau tidak. Lalu kami putuskan tetap berangkat setelah hujan reda. Ketika menunggu hujan tiba-tiba ada sms masuk, dari Fahri, pemuda sekampungku yang juga suka bersepeda dan naik gunung. Dia pengen ikut. Sore itu kami bertiga kumpul di rumahku dan selepas ashar kami berangkat bersepeda menuju Gunung Ungaran.

Kami start dari titik 0 KM yaitu rumahku di desa Tuban Kidul, Gondangrejo, Karanganyar. Jarak sampai ke basecamp Gunung Ungaran entah berapa kilometer. Kami sengaja tidak mencari tahu tentang hal itu. Kami ingin menikmati petualangan ini dengan bebas, tanpa memikirkan berapa jauh jarak yang mesti kami tempuh. Dari bersepeda di jalanan kampung, jalan raya, tengah kota sampai ke pegunungan, terus hiking merambah hutan sampai puncak gunung.

Kami awali kayuhan melewati desa-desa dari Klayutan menuju Keden sampai daerah Kacangan. Kurang lebih 1 jam kami bersepeda di bawah langit mendung dan disuguhi pula tanjakan-tanjakan. Kami akan mengambil jalur alternatif dari Kacangan menuju Salatiga. Setelah break kami melanjutkan perjalanan ke arah barat melewati Pasar Kacangan. Jalan semakin menanjak ke arah Klego. Kami hanya sanggup mengayuh sepeda pelan-pelan. Magrib kami sampai di perempatan Karanggede. Di sini kami mencari masjid untuk solat.

Selepas magrib kami melanjutkan perjalanan ke arah Tingkir. Langit sudah mulai gelap. Kami pun segera memasang lampu di sepeda. Kami memilih bersepeda di malam hari untuk menghindari sengatan matahari. Jalan raya menuju Tingkir lumayan gelap karena di kanan-kiri jalan banyak pepohonan yang rimbun. Keluar masuk daerah pemukiman lalu persawahan. Tanjakan silih berganti menyambut kami. Di malam hari yang dingin keringat kami tetap mengucur deras. Jika tak mampu mengayuh di tanjakan, kami terpaksa menuntun sepeda. Begitulah cara kami menikmati perjalanan.

Kami sempat istirahat di sebuah masjid untuk solat isya dan juga mengisi bekal air minumdari galon yang disediakan di masjid. Sekitar pukul 21.00 kami sampai di pertigaan Tingkir. Kami ambil arah kanan ke jalan raya Salatiga-Semarang. Kami kegirangan tiba di sini, sebab menuju kota Salatiga jalanan nyaris menurun terus. kami tidak perlu mengayuh pedal sama sekali untuk sampai ke kota. Melihat kanan kiri mencari warung makan yang sekiranya cocok dengan kantong kami. Akhirnya di Jalan Sukowati kami menjumpai warung tenda yang masih menjual sepiring nasi sayur hanya dengan harga lima ribu rupiah. Harga murah tapi cukup membuat kami kenyang dan bisa mengganti energi kami yang sudah banyak terkuras. Selesai makan kami mengayuh sepeda ke alun-alun kota Salatiga yang asri. Kami sempat menonton pagelaran wayang kulit yang diadakan Polres Salatiga dalam rangka memperingati hari Bhayangkara.

Malam itu kami berencana untuk mencari tempat menginap, tapi bukan hotel tentunya. Kami kembali menyusuri jalan raya Salatiga-Semarang, bersaing dengan truk dan bis malam antar kota. Kami diuntungkan oleh jalanan yang menurun. Sampai akhirnya di daerah Tuntang kami menemukan masjid untuk tempat bermalam. 

2 Juli 2013 usai solat subuh kami berkemas untuk melanjutkan perjalanan. Langit masih gelap, kami kembali menyusuri jalan raya arah Semarang. Selepas Tuntang kami melewati perkebunan coklat sampai masuk daerah Bawen, lalu melewati kawasan industri dengan hiruk pikuk para karyawan pabrik. Kami terus berpacu di antara kendaraan-kendaraan besar di jalan raya. Di sebuah pertigaan kami belok kiri dengan jalan menanjak terus ke arah Pasar Jimbaran. Pagi itu kami hanya sarapan beberapa potong roti dan sarapan tambahannya adalah tanjakan-tanjakan yang ‘gila’. Kami kebanyakan hanya mampu menuntun sepeda. Sampai di Pasar Jimbaran penderitaan belum usai. Untuk sampai di basecamp Gunung Ungaran kami masih harus melalui jalan naik terus ke atas dari Pasar Jimbaran ke Sidomukti. Di jalan ini kami tak sanggup lagi mengayuh. Air minum menjadi kebutuhan pokok yang harus selalu ada.

Melewati perkampungan, kebun sayuran dan juga kawasan wisata Umbul Sidomukti yang merupakan sebuah kolam pemandian. Kami masih terus menuntun sepeda. Sampai akhirnya sekitar pukul 10.00 kami tiba di basecamp gunung Ungaran. Kami bisa kembali tertawa setelah tadi dibuat pucat oleh tanjakan-tanjakan. Dari basecamp pemandangan sangat indah. Di kejauhan terlihat Rawapening yang begitu luas dan hamparan kota Ungaran, Bawen, Ambarawa. Di camping ground terlihat beberapa tenda pramuka. Kami langsung menuju ke satu-satunya warung yang ada di basecamp. Penjualnya sepasang kakek-nenek. Teh panas hangat yang disuguhkan langsung menyegarkan kami, ditambah tempe mendoan hangat. Begitu nikmat dimakan saat perut benar-benar merasakan lapar. Dilanjut nasi sayur dan telor dadar, ini baru sarapan yang nyata bagi kami.

Cuaca berkabut sedikit gerimis, lalu hujan turun. Di basecamp kami menyempatkan mandi  dan menyiapkan logistik untuk mendaki ke puncak Ungaran. Untuk mendaki kita harus melapor ke petugas basecamp dengan biaya administrasi 3 ribu per orang. Kita juga akan diberi peta jalur pendakian. Menunggu hujan reda kami tidur-tiduran di dalam basecamp. Setelah cuaca terlihat membaik walaupun masih berkabut. Pukul 13.30 kami mulai mendaki. Sepeda kami titipkan di basecamp. Jalur pendakian terlihat cukup jelas dan banyak petunjuk arah. Treknya pun bervariasi, kadang landai, menurun, medan batuan menanjak. Menyebrang sungai sampai tiba di pos Mawar. Lalu melewati perkebunan kopi kemudian perkebunan teh, setelah itu masuk hutan yang rindang. Medan pendakian gunung Ungaran tidak membosankan. Setelah 2,5 jam mendaki kami akhirnya sampai di puncak.

Selama perjalanan ke puncak kami diguyur hujan sampai badan basah kuyup. Di puncak keadaan berkabut ditambah angin yang membuat kami menggigil. Kami segera mencari tempat untuk mendirikan tenda. Malam itu kami habiskan waktu untuk tidur sepuasnya di puncak gunung Ungaran.

3 Juli 2013, subuh kami bangun. Di luar keadaan tak berubah, berkabut dan berangin. Setelah sarapan kami beranikan diri keluar tenda untuk berkemas. Pukul 06.00 kami meninggalkan puncak Gunung Ungaran untuk turun, masih ditemani kabut yang setia pada kami. Kami harus berhati-hati karna trek masih licin bekas guyuran hujan kemarin. Di sungai kami sempatkan untuk sekedar membasuh muka dengan airnya yang segar. Sungai di tengah hutan tak ubahnya surga bagi kami. Sekitar pukul 08.30 kami sampai di basecamp. Kami mandi kemudian packing dan mengecek sepeda, terutama rem untuk menuruni jalanan dari basecamp ke pasar Jimbaran yang banyak tikungan tajam.

Pukul 10.00 kami mulai duduk kembali di sadel, siap mengayuh. Turunan dan tikungan yang tajam membuat adrenalin terpacu disertai rasa takut. Jalan sempit yang mulai ramai oleh kendaraan para wisatawan membuat kami tambah deg-degan saat berpapasan. Turunan tajam berakhir di Pasar Jimbaran. Lalu kami ambil arah kanan ke Bandungan, berbeda dari jalur berangkat. Pasar Jimbaran-Bandungan kurang lebih 6 KM naik-turun. Di kanan kiri banyak terdapat penginapan dan hotel. Yang paling membuat kami ngos-ngosan adalah saat harus menuntun sepeda di tanjakan panjang sebelum Pasar Bandungan. Di daerah ini kami mampir di rumah keluarga Mas Widya (teman lamaku waktu naek Gunung Slamet dulu). Di sana kami dijamu makan sampai kenyang, tambah dibekali 3 botol minuman oleh Mas Widya.

Pukul 13.00 kami melanjutkan perjalanan. Kurang lebih 10 Km turunan ke arah Pasar Ambarawa. Sepanjang menuruni jalanan berkelok itu kami diguyur hujan. Tanpa kacamata dan masker, air hujan langsung mencucuk wajah. Tapi ini justru menambah seru perjalanan. Sampai di Pasar Ambarawa kami ke arah kiri menuju Bawen. Dari terminal Bawen belok kanan ke arah Salatiga. Sampai di Tuntang sebelum masuk kota Salatiga kami mengambil arah kanan lewat jalan By Pass yang langsung menuju Tingkir. Di By Pass ini jalan naik-turun, sangat menguras tenaga. Sampai akhirnya mentok di pertigaan selatan Tingkir. Kami belok kanan menuju Boyolali. Di jalan raya arah Boyolali ini kami sangat menikmati perjalanan karna banyak turunan. Bahkan selepas kota Boyolali jalan masih terus menurun sampai Kartasura.

Kami sampai di Kartasura sekitar pukul 19.30 mampir di sebuah warung soto yang ternyata harganya terlalu mahal untuk kami. Semoga pengalaman ini cukup satu kali kami alami. Pukul 20.00 kami lanjut menuju pertigaan Kartasura belok kiri menuju Kalioso. Pukul 21.00 akhirnya kami sampai di titik 0 Km lagi, desa Tuban Kidul.

Terwujud juga keinginan kami melakukan perjalanan bersepeda sekaligus mendaki gunung. Sepeda kami memang murah, tapi tekad dan semangat kami untuk mengayuhnya tidak murahan.

24 Juni 2013

Sebuah Siang

  Siang tadi udara terasa sangat panas. Matahari bersinar sangat terik di langit kota Solo. Istirahat kerja aku keluar mencari makan dengan motor. Tanpa memakai jaket, kulit tanganku langsung bersentuhan dengan sinar matahari jam 12.30. Hampir semua manusia pasti mengeluh dengan keadaan panas itu. Dan sebagian besar dari kita,para manusia pasti mengharapkan sebuah guyuran hujan yang menyejukkan. Tapi mungkin di lain waktu disaat hampir setiap hari turun hujan,banyak jg dari sebagian manusia akan mengeluh "kenapa setiap hari hujan". Kita takut banjir,bahkan mungkin yang sederhana saja kita takut jemuran pakaian kita tidak kering terus munkin ada yang berdoa meminta panas. Ini mungkin salah satu sifat aneh yang kita miliki sebagai manusia.
   Jalanan padat kendaraan bermotor. Asap dan debu entah masuk ke hidung atau ke mulut. Aku mengarah ke sebuah warung makan sederhana di depan pondok pesantren Al Muhayat. Warungnya kecil berdinding triplek dan beratap seng. Letaknya persis di tepi jalan raya. Parkirnya pun sudah penuh hanya dengan 3 buah motor. Di sebuah warung ada conter pulsa,parkirannya masih longgar. Aku meminta ijin ke pemiliknya seorang ibu muda berpakaian muslim,untuk parkir di depan conternya. Tadinya aku berpikir akan mendapat balasan sikap ramah darinya. Tetapi ternyata jawaban yang aku dapat "Jangan disitu mas,itu jalan!" dengan muka yang sangat datar tanpa senyum. Padahal jelas-jelas emperan conternya longgar untuk parkir motor. Mungkin benar kata orang bijak "jangan menilai seseorang dari penampilan luarnya". Ibu muda itu memandang tidak enak ke arahku,lalu berkata "Jangan lama-lama!".
   Semakin panas saja rasanya udara di sekitarku. Aku masuk warung,mengambil sendiri nasi+sayur dan lauk gorengan sambil memesan segelas es teh. Menu sederhana yang kunikmati setiap hari.Semua orang di warung mengeluhkan betapa panasnya siang ini. Di dalam warung yang sempit ini aku makan berdempet-dempetan dengan beberapa bapak-bapak yang sepertinya para tukang bangunan. Kipas angin kecil yang disediakan pemilik warung seakan-akan menjadi surga yang menyejukkan. Setelah selesai makan aku hanya istirahat sebentar,sementara bapak-bapak di sebelahku asyik menghisap rokoknya tanpa mau peduli apakah orang disampingnya terganggu atau tidak. Jam dinding menunjukkan waktu pukul 12.50. Aku bergegas membayar makananku pada ibu pemilik warung yang ramah pada setiap pembeli. Sambil tersenyum ibu itu berkata "matursuwun mas".
    Aku mengambil motor , "terima kasih bu" kataku pada ibu pemilik conter pulsa. Ibu itu sepertinya acuh padaku,wajahnya memandang ke depan tapi tak melirik ke arahku. "apa ibu itu sudah tidak bisa tersenyum?" pikirku. Hal sepele soal parkir saja membuat sikapnya tidak bisa ramah padaku. Entahlah apa yang sedang ada dalam benak ibu itu.
Aku strarter motor lalu melaju pelan-pelan. Jalanan masih tetap padat. Panas masih tetap terasa. Aku tersenyum sendiri...

23-06-2013

16 Mei 2013

Kereta Ekonomi Kini

  Senja...matahari sudah kembali ke peraduannya. Semburat cahayanya sudah tak terlihat, langit pun kini mulai gelap. Aku sedang berada di sebuah stasiun kereta. Selepas maghrib terdengar pemberitahuan dari pengeras suara bahwa kereta Kahuripan tujuan Bandung akan segera tiba. Hiruk pikuk calon penumpang mulai terlihat,mereka berjalan mendekati rel kereta di jalur 2. Semua sibuk dengan barang-barang bawaannya masing-masing. Petugas keamanan pun juga ikut sibuk menertibkan penumpang yg berdiri terlalu dekat dengan rel kereta.

   Kereta tiba dari arah timur,lajunya melambat mendekati stasiun. Sampai akhirnya berhenti untuk memberi waktu pada penumpang yang akan naik maupun turun. Aku langsung naik dari pintu gerbong yang terdekat dari tempatku berdiri menunggu. Lalu berjalan ke arah gerbong lainnya untuk mencari tempat dudukku seperti yang tertera di dalam tiket yaitu gerbong 5 kursi 6E. Aku duduk sendirian,kursi di sebelahku masih kosong. Tak lama kemudian kereta kembali melanjutkan perjalanan.

   Kereta melaju dengan kencang,membelah udara yang dilewatinya. Sesekali berhenti di stasiun pada setiap kota yang dilewatinya. Sementara udara dingin merambati tubuhku yang hanya memakai kemeja flanel tanpa jaket. Kereta ekonomi yang aku tumpangi ini ternyata tak seperti yang dulu lagi. Kini di dalam setiap gerbongya diberi fasilitas AC guna menyejukkan udara di dalamnya. Tapi dengan ditambahnya fasilitas ini setiap penumpang harus merogoh kantong lebih dalam untuk membayar kenaikan tarif yang naik hampir 3x lipat dari harga sebelumnya. Kenaikan harga tiket kereta ini menyedihkan sekali untuk orang sepertiku,yang selalu melakukan perjalanan dengan dana pas-pasan. Tapi mungkin bagi kaum menengah keatas hal ini tidak terlalu memberatkan bagi mereka. Kereta ekonomi yang dulu murah meriah,yang menjadi transportasi pilihan bagi kaum kusam kini tak ada lagi.

   Perubahan-perubahan peraturan memang banyak dilakukan oleh pihak pengelola kereta api. Memang semuanya dimaksudkan untuk menjadikan tronsportasi kereta ini lebih baik. Tapi perubahan tarif ini sangat berat bagi orang-orang sepertiku. Satu lagi perubahan peraturan yang mumbuatku sedikit merenung,yaitu soal pedagang asongan di dalam kereta yang kini dilarang berjualan saat kereta sedang berjalan. Mereka hanya boleh menjajakan dagangannya saat kereta berhenti di stasiun. Jika aku adalah salah satu pedagang asongan itu,pastilah aku akan menggerutu dengan peraturan baru itu. Karena berarti peluang mendapatkan pembeli sekarang akan berkurang. Dahulu dalam kereta ekonomi ini aku bisa melihat berbagai macam pedagang. Aku sendiri dulu menyebut kereta ekonomi ini adalah layaknya sebuah pasar yang berjalan. Berarti pula seperti sebuah pasar,kereta ekonomi adalah sumber kehidupan bagi pedagang-pedagang asongan itu. Dulu banyak pedagang di dalam kereta,mereka menjajakan dagangannya diantara sesaknya penumpang. Bagiku mereka adalah bunga-bunga kehidupan yang menggantungkan harapan diatas kereta ekonomi. Hari-hari mereka habiskan di dalam gerbong kereta,berharap rezekinya melimpah setiap hari. Tapi kini,entah harapan-harapan mereka masih tetap sama atau mungkin berkurang. Atau bahkan mungkin ada harapan yang hilang. Semoga harapan-harapan itu masih tetap ada,seperti kata pepatah "dimana ada kehidupan,disana masih ada harapan".


   Langit masih gelap ketika kereta berhenti di stasiun kecil sebuah kota di bumi pasundan. Aku segera turun dan disambut udara dingin pagi hari menjelang subuh. Kemudian kakiku pun melangkah melanjutkan perjalanan........

2 Mei 2013

Seorang Pemuda dan Anak Kecil

  Jika suatu hari ada seorang anak kecil datang padamu dan berkata "mas,tolong kasih saya uang buat makan. Ibu saya sakit,saya tidak punya bapak,tolong mas". Apa yang akan muncul di pikiranmu saat itu ? Mungkin rasa kaihan akan langsung masuk ke dalam pikiranmu. Atau mungkin bisa jadi batinmu akan berkata "ah,anak ini pasti sedang berbohong,di zaman sekarang memang banyak modus yang digunakan untuk meminta uang". Minimal dua pikiran itu mungkin akan langsung muncul di dalam benak misal kita mengalami kejadian diatas.

  Sore kemarin,sebelum pulang kerja aku duduk-duduk di dalam toko roti tempatku bekerja. Sambil istirahat aku ngobrol-ngobrol dengan teman-teman kerja yang menjaga toko. Saat itu tidak ada pembeli yang datang. Aku sedang ngobrol dengan Tina, Diah dan Eni sibuk menata dus roti, sementara Pak Udin sedang berbicara dengan seseorang ditelepon. Sesaat kemudian ada seorang pemuda yang masuk ke toko. Pemuda itu berperawakan kurus,memakai sweater merah-hitam. Dia memilih-milih kue,lalu mengambil satu dus cake tela ungu dan membawanya ke kasir. Saat Eni melayani pemuda itu untuk membayar kuenya,tiba-tiba ada seorang anak laki-laki kecil masuk ke toko. Umurnya sekitar 10 tahunan,kulitnya coklat muda,badannya kurus tapi terlihat bersih. Anak itu membawa sebuah bungkusan kecil dalam plastik hitam. Lalu dia berbicara pada kami,
"Mbak-Mas, lauk, tolong beli lauk ini, ibu saya sedang sakit ginjal. Saya tidak punya bapak dan saudara,saya hanya tinggal bersama nenek saya yang sudah tua".
Kami semua terdiam,lalu saling memandang satu sama lain. Entah apa yang sedang kami pikirkan. Kasihan? Tak percaya dengan omongan anak kecil ini? Aku mencoba meraba pikiranku sendiri, dan ingin rasanya tau apa isi pikiran teman-temanku. Setelah suasana diam sejenak tadi,Eni bertanya ke anak itu;
"Mau dijual berapa dik ?"
Seperti berpikir kemudian anak itu menjawab,
"20ribu kalau mau mbak"
Kami kembali terdiam. Pemuda pembeli kue tadi kemudian berbicara menawarkan kepada anak itu,
"Mau saya belikan makanan saja dik?"
"Gak mas,untuk makan besok soalnya,tadi sudah makan dikasih sama ibu-ibu di jalan,lauk ini yang ngasih juga ibu tadi mas" jawab anak itu dengan wajah memelas.
Aku mengamati keadaan ini dari tempat dudukku. Wajah-wajah kami terlihat seperti orang bingung.
Pemuda tadi bertanya ke Eni,
"Mbak,ada uang pecahan? Saya mau tukar 100ribuan"
"Gak ada ini mas" jawab Eni
Kebetulan uang di kasir hanya ada pecahan 50ribuan semua.
Kemuduian pemuda itu mengajak anak tadi keluar toko. Sementara aku masih terus memperhatikan dari dalam toko. Pemuda itu berjalan ke toko kelontong disamping toko kami.
"Permisi Bu,mau beli teh 1 pack "
Ibu pedagang mengambilkan teh celup 1 pack, lalu pemuda itu membayar dengan uang 100ribuan.
"Gak ada uang kecil saja mas ?" tanya si ibu.
"Gak ada Bu",pemuda itu menjawab sambil melihat isi dompetnya,
"Saya gak ada kembaliaannya mas" jbu itu menegaskan,
"Oh,yaudah kalau begitu Bu..."
Pemuda itu tidak jadi membeli tehnya.

  Kemudian pemuda itu menyebrang jalan raya menuju ke sebuah warung angkringan,anak kecil tadi mengikuti di belakangnya.
"Pak,beli es teh,sambil mau mecahin uang ini" pemuda itu berbicara ke pedagang angkringan sambil menyodorkan uang 100ribu.
"Wah,gak ada kembaliannya ini mas" jawab pedagang angkringan.
Pemuda itu pun tidak jadi membeli es teh.
Lalu pemuda itu mencoba meukarkan uangnya ke pedagang empek-empek di sebelah warung angkringan tadi. Bapak pedagangnya pun menjawab tidak punya. Anak kecil tadi kemudian berbicara ke pemuda itu yang sudah tampak lelah,
"Mas,gimana kalau saya tukarkan uangnya ke toko itu ?" tanya anak itu menawarkan sambil menunjuk subuah toko brownies di sebrang jalan.
Pemuda itu sejenak terdiam,lalu menjawab, "Ok,saya tunggu disini ya" sambil memberikan uangnya. Anak itu langsung menyebrang jalan dan masuk ke dalam toko brownies.
Sesaat kemudian anak itu keluar dan menghampiri pemuda tadi lagi dengan uang yang sudah ditukarkan. Pemuda itu lalu berkata,
"Kamu butuh uangnya berapa?"
"20ribu mas,kalau boleh" anak itu menunduk,
"ini 20ribu,kamu bawa saja laukmu untuk makan sama nenekmu di rumah" pemuda tadi berbicara sambil menepuk pundak anak itu,
"terima kasih mas,semoga rezeki mas lancar" anak itu mendoakan,
"amiin...kamu pulang hati-hati" kata-kata terakhir pemuda tadi.
Lalu anak itu pergi dan pemuda tadi kembali ke toko kami untuk mengambil kuenya.

  Aku dari tadi mengamati kejadian itu, antara seorang pemuda dan anak kecil. Mungkin ini hanyalah sebuah peristiwa sederhana, tapi aku mencoba melihat peristiwa tadi sebagai pelajaran hidup yang bisa aku ambil hikmahnya. Aku tidak tau entah anak itu jujur atau berbohong. Dalam benak pemuda tadi juga mungkin ada pemikiran seperti itu. Tapi dia yakin dengan apa yang dilakukannya. Dia tidak peduli tentang penilaian orang-orang di sekitar situ. Mungkin orang-orang akan berpikir dia sok baik,tapi pumuda tadi tetap melakukan hal itu. Ketika kembali ke toko kami pun dia hanya diam.

Jika sebuah niat baik muncul dalam hati,maka yakinilah niat itu dan kerjakan apa perintah niat baik itu.
Ini pelajaran yang aku dapat dari kejadian sore kemarin.

6 Februari 2013

Axpala Gowes to Jogja : Mengayuh Demi Kestabilan Udara Bumi Kita

  Akhirnya Axpala kembali beraktifitas setelah bertahun-tahun vakum. Axpala cuma sebuah nama, tidak penting apa artinya. Yang paling penting adalah apa yang kita lakukan. Kami hanyalah kumpulan anak muda dsebuah kampung yang kebetulan mempunyai hobi sama.Dulu kami bisa disebut Rempakem ato remaja pecinta kemping,yang sukanya hanya camping2 dan menikmati alkohol. Naek gunung hanya sesekali, mungkin memang apa yang kami lakukan dulu lebih banyak negatifnya. Tapi waktu terus berjalan, dan kami pun sedikit demi sedikit merubah pola pikir. Kini dengan generasi yang baru kami ingin melakukan aktifitas2 yang positif. Ya, kami hanya ingin mencoba me-renovasi perilaku, untuk menanamkan pikiran2 positif d otak kami sendiri khususnya.

   
  Tanggal 2-3 Februari 2013 kami bersama2 bersepeda dari Tuban Kidul sampai Pantai Parangkusumo Jogja. Berangkat dari titik O km yaitu rumahku, rombongan kami ada 7 orang yaitu aku, Azis, Danu, Yono, Cahyo, Fahri dan Upik. Start jam 14.30, ashar baru sampai embarkasi haji ban azis pecah,tapi setelah diperbaiki kami lanjut jalan. Magrib+isya kami sholat di masjid alun2 kota Klaten. Kemudian lanjut, d Prambanan kami istirahat untuk makan malam. setelah itu terus melanjutkan perjalanan, sampai akhirnya jam 1 dini hari kami sampai di pantai parangkusumo. Kami lamgsung buka tenda untuk camping, kemudian masak mie instan. sehabis makan kami langsung tidur.




  Paginya kami masak sarapan nasi+sarden, habis makan kami langsung maen air. Jam 9 kami meninggalkan pantai menuju Gumuk Pasir yg terkenal dengan sebutan Sahara van Java kata orang. Setelah itu kami menuju kota Jogja, ke Malioboro terus k Tugu Jogja. Jam 3 kami mulai mengayuh sepeda untuk pulang. Sepanjang perjalanan pulang kami dihajar oleh hujan, tp semua tetap semangat. Sampai akhirnya kami sampai rumah jam 21.30. Alhamdulilah semuanya berjalan dengan lancar.


Dunia bagaikan sebuah buku, siapa yang tidak bepergian maka dia hanya membaca satu halaman saja.