23 Januari 2014

14-01-14


“Yang bisa dilakukan seorang makhluk bernama manusia terhadap mimpi-mimpi dan keyakinannya adalah mereka hanya tinggal mempercayainya”  (Dhonny Dirgantara-5 CM)
                                                                    
Aku adalah orang kecil yang selalu mempunyai impian-impian yang bisa dikatakan terlalu muluk. Di tengah kehidupanku yang masih belum menentu dan pekerjaan yang masih saja belum jelas, otakku terus saja mengangankan hal yang terlalu tinggi untuk diwujudkan. Tapi bukankah di dunia ini semua hal bisa terjadi? Aku percaya aku bisa mewujudkan mimpi. Bukankah aku  pun pernah mewujudkan sebuah impian yang bagiku sulit (bagi kebanyakan orang mungkin itu hal yang mudah), yaitu pergi ke Rinjani? Aku berhasil membuat hal itu menjadi nyata, walau konsekuensi yang aku dapat adalah kehilangan pekerjaan.

Dan kali ini aku mempunyai sebuah impian, yaitu merintis sebuah rumah baca di kampungku. Ya, selain naik gunung, salah satu kesukaanku yang lain adalah membaca buku. Walaupun buku-buku yang kubaca adalah buku yang dianggap kurang penting bagi sebagian orang, tapi bagiku pribadi itu adalah hal yang menyenangkan. Ketika aku punya banyak waktu luang dan aku gunakan untuk membaca, aku merasa waktuku tidak terbuang percuma dalam hidup. Pasti ada suatu hal, walau sekecil apapun, yang bisa didapat dari membaca. 

Di kampungku memang belum terdapat sarana seperti perpustakaan atau rumah baca. Selama ini aku bisa mendapatkan buku dengan meminjam secara gratis dari sebuah perpustakaan umum di kota yang letaknya jauh dari kampungku. Memang di sekolah-sekolah atau kampus pasti ada sebuah perpustakaan. Tapi aku berpikir, bagaimana dengan masyarakat umum yang ingin membaca tapi tidak mampu membeli buku sepertiku? Itulah salah satu alasan kenapa aku ingin ada sebuah rumah baca di kampungku.

Terus terang dari dulu aku terinspirasi oleh Gola Gong dengan Rumah Dunia-nya. Tapi aku sadar akan kemampuanku yang terbatas. Jadi aku hanya ingin melakukan suatu hal yang sesuai kadar kemampuanku, merintis rumah baca yang sederhana tapi bisa bermanfaat. Sebagian temanku bilang aku akan sulit mewujudkannya, karena minat baca masyarakat di kampungku cukup rendah. Bahkan ada juga teman yang malah mencibirku. Tetapi menurutku, justru karena rendahnya minat baca itulah yang membuatku bersemangat untuk mewujudkan rumah baca. Aku berharap rumah baca tersebut akan menjadi tempat bagi orang-orang di kampungku mengakses buku-buku bacaan. Walaupun dengan kemampuan terbatas dan dengan dukungan dari sedikit teman, aku yakin akan tetap bisa mewujudkan impian ini. Entah kapan pun itu.




Aku teringat Dhonny Dirgantara, bahwa yang perlu dilakukan manusia terhadap mimpi hanyalah tinggal mempercayainya. Maka aku akan tetap mempercayai mimpi-mimpiku dan terus berusaha untuk membuatnya menjadi nyata. Aku hanya ingin membuat hidupku sedikit lebih bermakna. Seperti kata-kata Albert Einstein, “bekerja keraslah, bukan untuk menjadi sukses, tapi untuk menjadi bermakna”

9 Januari 2014

Stasiun Kereta

  Lihat berita di tv hari ini :
"pedagang-pedagang asongan di stasiun kereta api Jombang dilarang masuk ke dalam stasiun dan dilarang berjualan di dalam gerbong kereta api. 'penertiban' ini menyebabkan bentrok antara pedagang dan petugas keamanan. Para pedagang yang didorong mundur oleh petugas keamanan stasiun tersulut emosinya dan melemparkan barang-barang dagangan mereka ke arah petugas".

Aku adalah salah satu orang yang menyukai transportasi kereta api. Beberapa waktu lalu aku sempat ngobrol dengan seorang pedagang angkringan di depan stasiun Jebres-Solo. Saat itu aku sedang menikmati secangkir kopi susu sambil menunggu hujan reda. Bapak paruh baya itu memulai obrolannya dengan bertanya basa-basi padaku,mau kemana? Mungkin untuk sekedar mengusir sunyi di warungnya yang sepi. Lalu Bapak itu mulai bercerita soal peraturan-peraturan baru tentang kereta api. Pembelian tiket dengan sistem online dan boking. Harga tiket yang naik. Pedagang-pedagang asongan yang dilarang berjualan. Menurut Bapak itu orang kecil seperti mereka lah(sepertiku juga) yang menjadi korban dari peraturan-peraturan baru itu.
"Kita ini sebenarnya di adu domba mas" kata Bapak itu,lalu dia menjelaskan maksudnya padaku yang kelihatan bingung dengan peryataannya tadi.
Maksud Bapak itu adalah pedagang-padagang asongan dan petugas keamanan stasiun yang sama-sama rakyat kecil itu bentrok karena mempertaruhkan nasibnya masing-masing. Para pedagang asongan itu ingin tetap berjualan di kereta untuk menyambung hidup,sedangkan petugas-petugas keamanan itu harus menuruti perintah atasan mereka yang berdalih 'penertiban' itu agar mereka tetap mempunyai pekerjaan.

Sambil sesekali menyeruput kopiku,aku masih mendengarkan keluhan-keluhan Bapak itu. Memang sebagian kalangan(terutama menengah ke atas) menilai peraturan-peraturan baru itu adalah sebuah kemajuan. Tapi bagi sebagian pihak lain(terutama pedagang asongan) menganggapnya sebagai penindasan. Bagiku pro dan kontra adalah sebuah hal yang wajar. Tapi pastilah ada cara yang lebih bijak untuk menyelesaikan masalah itu. Toh selama ini para penumpang bisa berdampingan dengan para pedagang asongan,walau pun pasti ada sebagian penumpang yang tidak suka dengan kehadiran mereka. Misalnya,selama ini banyak para penumpang yang lebih  memilih membeli kopi pada para pedagang asongan yang harganya lebih murah daripada membeli di restoran dalam gerbong kereta.

Kereta ekonomi adalah transportasi rakyat kecil di negara ini yang murah meriah,dulu. Gerbong kereta adalah denyut nadi kehidupan bagi mereka para pedagang asongan. Kalau harga tiket kereta semakin mahal,apalagi yang bisa dinikmati rakyat kecil di negara ini jika transportasi murah kini tak ada. Dan kalau para pedagang asongan dilarang berjualan,apalagi harapan hidup mereka jika gerbong kereta tempat mereka menyambung hidup tak boleh mereka injak lagi.

Gerimis sore itu tak kunjung reda. Sampai segelas kopiku habis. Dan aku pun pergi dari warung itu setelah mendapatkan senyuman tulus yang menyimpan harapan dari Bapak pedagang angkringan di depan stasiun itu.

25 Desember 2013

Resepsi Pernikahan

Ketika kita asyik minum...
Ketika kita asyik makan...
Mereka haus...
Mereka lapar...
(Ethiopia-Iwan Fals)

  Ini tentang resepsi pernikahan di desaku. Dan mungkin juga di desamu,bahkan mungkin di kota-kota besar sana. Ini tentang sebuah keprihatinan setiap kali aku datang ke resepsi pernikahan. Disana banyak sekali makanan. Dan pastinya banyak tamu undangan yang datang. Disana pasti kita disuguhi berbagai macam makanan. Sayangnya aku sering melihat banyak tamu undangan yang hanya memakan setengah porsi dari makanan yang disuguhkan padanya. Entah karena sudah kenyang. Entah karena gengsi,takut dibilang rakus. Atau entah kesalahan dalam memaknai kesopanan,yaitu tidak makan sampai habis. Yang sisa makanannya sudah pasti akan terbuang. Aku sering melihat sisa-sisa makanan itu dibuang bertumpuk-tumpuk. Pernahkah kita berpikir,mungkin di sebuah rumah di desa kita ada sebuah keluarga yang belum makan. Atau mungkin di daerah lain masih ada orang yang kesulitan memperoleh makanan.
  Aku pribadi mungkin juga pernah melakukan hal demikian. Membuang makanan. Tapi bayangkan dalam sebuah resepsi pernikahan. Betapa banyak makanan sisa para tamu yang terbuang. Aku tidak ingin menyalahkan tradisi dalam mengadakan resepsi. Tapi bukankah dalam semua agama itu pasti mengajarkan tentang kesederhanaan?
  Hal itulah yang selalu membuatku merasa tidak nyaman berada di sebuah resepsi pernikahan. Jika bukan karena alasan kemasyarakatan dan kekeluargaan,mungkin aku akan lebih memilih berada di rumah. Setiap kali berada di resepsi pernikahan,aku slalu berusaha untuk memakan makanan yang disuguhkan sampai habis. Tak peduli orang berkata aku rakus. Karena aku pribadi sering mengalami kekurangan atau hanya memiliki makanan yang sangat sederhana saat naik gunung. Setidaknya itu menjadi pelajaran pribadi bagiku untuk slalu lebih menghargai makanan.

Ini tentang keprihatinan melihat sebuah resepsi pernikahan.

25/12/13

Adikku

  Libur tlah tiba....libur tlah tiba...ya,begitulah kata Tasya. Begitu pun kata adikku,libur sekolahnya sudah tiba. Aku sudah menjanjikan pada adikku untuk mengajaknya liburan ke Jogja. Dan minggu kemarin aku menepati janjiku. Tapi aku memberikan syarat padanya,yaitu setelah main ke Jogja dia harus menulis sebuah karangan tentang pengalamannya berlibur. Adikku pun menyanggupinya. Dan inilah tulisan dia,yang penuh keluguan seorang bocah kelas 4 SD.

    Berlibur ke Yogyakarta

  Pada hari sabtu tanggal 21 Desember 2013 aku tidur di rumah kakakku, Aku bangun jam 04.00 wib,kemudian pulang ke rumah. Aku nonton tv bersama adikku jam 04.30 sampai jam 05.00wib. Lalu aku bermain bersama adikku sampai jam 05.20wib. Tidak lama kemudian kakakku bangun. Setelah itu kami mandi. Setelah barang-barang dibawa,kami berangkat ke stasiun Solo Balapan mengendarai sepeda motor. Sesampainya disana kami membeli tiket,harganya Rp 20.000,-. Kami berangkat menggunakan kereta Sriwedari jam 08.00wib. Sesampainya di stasiun Tugu,kami berjalan-jalan di Jogja. Kami memotret patung dan dokar-dokar melewati Jl.Malioboro. Ada tukang becak menawarkan becaknya.
"becak dek" kata tukang becak
"nggak pak" kata kakakku

Aku dan kakakku berjalan-jalan ke Malioboro dan Taman Pintar. Terus kami membeli tiket masuk ke Taman Pintar. Disana kami memotret gambar-gambar Presiden RI, ikan-ikan, patung dinosaurus, dan patung manusia purba. Lalu kami membeli buku. Kemudian kami berjalan ke stasiun Tugu. Ada tukang becak menawarkan becaknya.
"becak dek" kata tukang becak itu
"nggak pak" kata kakakku
Aku membeli oleh-oleh untuk adikku di rumah. Aku suka memotret dokar yang ada disana. Akhirnya kami sampai di stasiun Tugu. Kami membeli tiket,harganya Rp 10.000,-. Kami naik kereta Pramex jam 14.30. Setelah sampai di stasiun Solo Balapan kami pulang ke rumah.
(Zaenal Abidin)

Itulah tulisan sederhana adikku ;-).
Sepertinya,tawaran para tukang becak itu sangat membekas di ingatannya. Bahkan sampai di rumah dia masih suka bercanda, becak dek...hehe. Aku sengaja mengajaknya jalan kaki dengan alasan kesehatan dan penghematan. dan alhamdullilah dia menyukainya :).

7 Agustus 2013

Cerita di Balik Reuni Kita

  Berawal dari sebuah obrolan di suatu siang dengan Trinuryanto(pokel) di rumahku.
aku : Kel, ni banyak teman-teman SMP yang sebenernya pengen banget ada reunian .
        dah sekitar 10 tahunan tapi belum pernah ada ada acara reunian .
Tri   : Lha mathuke piye ??
aku :  Kalau gak ada yang mulai buat bergerak nyoba ngadain pasti gak akan pernah kesampaian.
Tri  :  Iyoo, ya gini aja, kita yang ada di daerah kan kemungkinan punya waktu luang .
         Jadi kita coba aja ngadain, kontak teman-teman via sms dan FB. Ajak yang minat-minat aja dulu.
aku : ok .

   Nah, mulailah kami menghubungi teman-teman yang dekat-dekat dulu. Morfi Ardian(thuil) langsung siap untuk wara-wiri. Ari(poleng) juga bersedia untuk memberi kabar ke teman-teman di wilayah selatan. Noviyanto di wilayah barat.
Beberapa hari kemudian kami rembukan di rumah Tri. Disepakati akan mengadakan buber(buka bersama) dan reuni di Vio Resto dengan biaya Rp 20.000,- per orang (entuk opo duit sak munu kuwi cah???)hehe.
Kabar itu langsung dikirim ke teman-teman. Tapi ternyata banyak yang tidak setuju karena katanya makanan di Vio Resto kurang enak. Terus kami berkumpul lagi di rumah Morfi. Guruh dan Hardiyanto bersedia bergabung untuk mengurusi acara reuni ini.
   Lalu rencana acara dirubah dialihkan tempatnya di SMP. Dengan pertimbangan suasananya lebih nyantai dan waktu bertemunya bisa lebih lama daripada di sebuah resto. Dan juga tentunya untuk mengenang masa-masa SMP langsung ditempatnya. Dan dimulailah pergerakan sederhana ini.
Morfi langsung ke SMP dengan santainya. Pakai celana yang panjangnya nanggung dan dengan sendal,rencananya untuk menemui kepala sekolah buat minta ijin menggunakan tempat di sekolah (opo yo patut kuwi?)hehe. Tapi hanya bisa bertemu dengan Ibu Siti Sholikah. Itu pun Morfi  berbicara ke Bu Siti dangan bahasa Jawa campur bahasa Indonesia. Sampai dia ditegur oleh Bu Siti katanya. Untung saja aku tidak ikut,hehe. Ijin belum didapat.
    Kemudian aku usul ke Morfi untuk menemui Tri Kuwati biar membantu mengurusi ijin ke sekolah dan membuatkan undangan. Tri Kuwati ini adalah teman yang di waktu SMP terkenal dengan kata-kata maafnya,seperti tokoh Mpok Minah di serial Bajaj Bajuri.
"maaf ya Sidiq"
"maaf ya Iwan"
Nah itulah kata-kata yang pasti akan terucap setiap hari dari mulut seorang Tri Kuwati yang baik hati,jujur dan tidak sombong. Supel dan aktif pula. hehehe
Dan akhirnya masalah ijin tempat pun beres. Setelah itu mulailah kami kembali bergerilya ke pelosok-pelosok daerah untuk mengedarkan undangan ke rumah teman-teman.
Hari ke hari. Satu minggu ke dua minggu kami terus berkeliling.
Berharap banyak teman yang mau ikut. Yang merantau kami kontak via hp.
Ada cerita lucu saat Trinuryanto dan Noviyanto mencari rumah seorang teman yang bernama Yanti. Tri dan Novi ini melihat seorang cewek yang sedang nyapu di depan rumah di kampung Yanti. Mereka berdua berhenti dan turun dari motor terus bertanya ke cewek itu.
Tri         : Mbak,mau numpang tanya, rumahnya Mbak Yanti yang mana ya ?
Cewek  : Ya saya ini yang namanya Yanti mas !
                Trimbel ya ??
Tenyata orang yang ditanya adalah orang yang dicari. Betapa malunya Trinuryanto saat itu.hehehe. Sepuluh tahun itu ternyata waktu yang cukup lama sampai kadang kita tidak ingat wajah teman lama kita.
Lanjut ke hari-hari berikutnya. Persiapan demi persiapan sederhana yang kami lakukan lumayan mulai ada hasilnya. Banyak teman-teman yang mendaftar.
Dua hari sebelum hari-H kami berkumpul di rumah Guruh. Rina,Desi dan Ryan juga datang untuk membantu. Memang belum ada panitia resmi dalam reuni ini. Kami hanya meminta teman-teman yang luang waktunya untuk membantu. Setelah semua hal di bahas, dari acara sampai perlengkapan-perlengkapan yang diwarnai juga dengan perdebatan yang lumayan hangat. Akhirnya kami hanya bisa berdoa agar acara reuni nantinya berjalan lancar. Beberapa guru pun ikut diundang.
     Tanggal 06 Agustus 2013, jam 1 siang kami baru mulai berkumpul di SMP untuk merpersiapkan tempat acara. Dan hasilnya adalah acara Buber dan Reuni Alumni SMP N 1 Gondangrejo tahun 2002/2003 yang sudah sama-sama kita lalui kemarin. Acara sederhana,tapi semoga berkesan untuk kita semua. Kita bisa kembali menyambung tali silaturahmi.
Acara ini mungkin tidak akan terwujud tanpa kerja sama dan partisipasi dari teman-teman semua. Kami berharap di tahun-tahun mendatang acara seperti ini bisa kembali diadakan. Dan semoga juga acaranya akan bertambah lebih baik.

Saya mewakili teman-teman panitia mangucapkan permohonan maaf karena masih banyak kekurangan dalam membuat acara dan juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman semua.
Semoga Tuhan selalu menjaga kita. Semoga selalu dilapangkan rezeki kita. Dan semoga selalu dimudahkan dalam menggapai impian-impian kita. Bagi yang masih lajang semoga dimudahkan bertemu jodohnya. Yang sudah berkeluarga semoga keluarganya selalu dalam keadaan baik.
Dan satu lagi yang kurang dalam acara kemarin. Mari bersama-sama berdoa untuk seorang teman yang telah berpulang mendahului kita. Semoga teman/sahabat/saudara kita Mulato mandapat tempat yang baik di sisiNYA. Amiiin....


*Tulisan sederhana ini dibuat bukan untuk tujuan macam-macam. Hanya sebuah catatan kecil untuk sekedar meramaikan group alumni kita.
Jika ada kata-kata yang kurang berkenan mungkin memang ada unsur kesengajaan dari saya.
Salam...


(Sidiq Bahtiar)

26 Juli 2013

Sahur di Warung Tertinggi Pulau Jawa


 Gunung Lawu terletak di perbatasan propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Merupakan gunung yang dikeramatkan oleh penduduk sekitarnya. Karena di gunung ini banyak terdapat petilasan-petilasan dari kerajaan Majapahit. Jadi selain para pendaki, gunung ini juga kerap dikunjungi oleh para peziarah. Mereka mendaki ke puncak gunung lawu untuk menziarahi petilasan dari Prabu Brawijaya. Beliau adalah bekas raja Majapahit. Konon Prabu Brawijaya melarikan diri ke puncak gunung lawu dari kejaran pasukan Raden Patah(Raja Demak) yang merupakan anaknya sendiri. Prabu Brawijaya dikejar pasukan anaknya itu karena beliau menolak untuk masuk agama islam pada saat itu. Selain dikejar pasukan Raden Patah,beliau juga lari dari kejaran Adipati Cepu. Bahkan saking kesalnya Prabu Brawijaya sampai mengucap sumpah,kalau orang-orang Cepu naik ke gunung lawu maka mereka akan celaka atau mati. Sumpahnya itu masih dianggap sakral sampai sekarang.

  Petilasan Prabu Brawijaya ini dibuktikan dengan adanya cungkup di Hargo Dalem. Letaknya dibawah puncak gunung lawu. Tempat inilah yang menjadi tujuan utama para peziarah. Di dekat Hargo Dalem ini warung Mbok Yem sudah berdiri dari hampir 20 tahun yang lalu. Warungnya selalu siap memenuhi kebutuhan makanan para peziarah dan pendaki. Di warung ini mereka juga bisa menginap untuk menghindari udara dingin puncak gunung lawu. Mungkin warung Mbok Yem ini adalah warung tertinggi di Pulau Jawa. Warung ini berada di ketinggian -+ 3000 Mdpl.

   23 Juli 2013 jam 17.45 kami istirahat di pos 2 jalur cemorosewu. untuk menikmati buka puasa sederhana bersama. Disini hanya ada aku,Danu dan Kang Wiro. Air putih,biskuit, dan arbei yang kami petik di jalur pendakian adalah menu buka puasa kami sore ini.
Langit sudah mulai gelap,udara pun semakin dingin ditambah angin yang terus bertiup membuat tubuh kami kedinginan. Melanjutkan perjalanan ditemani cahaya bulan purnama yang sangat terang. Kabut tipis yang bergerak tertiup angin menjadi pemandangan indah di malam hari.
Jam 21.00 kami sampai di warung Mbok Yem. Keramahan Mbok Yem langsung menyambut kami. Perapian langsung disiapkan. Teh hangat segera dituangkan ke gelas. Nasi sayur dan telur dadar yang sudah dingin adalah buka puasa kami yang sebenarnya. Malam itu kami habiskan dengan bercengkrama bersama Mbok Yem dan anaknya. Bercerita tentang rutinitas mereka di gunung, mengambil air ke sendang(mata air) dan mencari kayu bakar. Seolah hidup mereka didedikasikan untuk Gunung Lawu dan para pendakinya. Hidup mereka mungkin adalah contoh kesederhanaan. Terasing di puncak gunung, jauh dari hiruk pikuk kehidupan kota. Gunung sudah menjadi rumah mereka. Warungnya selalu terbuka setiap saat untuk para pendaki yang datang untuk makan dan minum,atau bahkan hanya sekedar singgah menumpang istirahat dan berlindung dari dinginnya gunung.

  Udara yang dingin membuat kami segera bergelung ke dalam sleeping bag masing-masing. Jam 03.00 dini hari alarm hpku berdering. Aku dan kang Wiro segera bangun,lalu membuat api di perapian. Menyiapkan makanan untuk sahur. Mbok Yem menyuruh kami memasak sendiri. Sebuah pelajaran aku dapat, betapa repot dan capeknya searang ibu yang dalam keadaan ngantuk harus bangun dini hari untuk masak menyiapkan makanan sahur untuk keluarga. Setelah mie rebus + telur yang kami masak matang,aku segera membangunkan Danu untuk sahur bersama. Pagi ini kami sahur di sebuah warung tertinggi di Pulau Jawa dengan suhu 4 derajat celcius. Kami melahap makanan sembari menahan dinginnya udara. Di luar kabut masih menyelimuti. Kami menghabiskan minuman sambil duduk di dekat perapian. Mbok Yem kembali tidur di tempatnya yang tertutup tirai untuk menahan angin. Setelah fajar subuh, kami pun kembali bergelung ke dalam sleeping bag. Di luar angin kencang masih berhembus meyambut pagi. Mungkin matahari terbit tidak akan terlihat karena tertutup kabut. Tapi pagi itu hati kami tetap merasakan kecerahan hidup

.

14 Juli 2013

Bersepeda dan Mendaki Gunung Ungaran



1 Juli 2013, pagi-pagi aku dan Danu sudah sibuk mengecek sepeda butut kami. Memperbaiki rem, menyiapkan kunci-kunci dan alat camping yang akan kami bawa. Siangnya kami masih punya urusan masing-masing  yang harus diselesaikan, jadi kami putuskan untuk berangkat sore. Siang itu hujan turun sangat deras. Kami sempat berunding jadi berangkat atau tidak. Lalu kami putuskan tetap berangkat setelah hujan reda. Ketika menunggu hujan tiba-tiba ada sms masuk, dari Fahri, pemuda sekampungku yang juga suka bersepeda dan naik gunung. Dia pengen ikut. Sore itu kami bertiga kumpul di rumahku dan selepas ashar kami berangkat bersepeda menuju Gunung Ungaran.

Kami start dari titik 0 KM yaitu rumahku di desa Tuban Kidul, Gondangrejo, Karanganyar. Jarak sampai ke basecamp Gunung Ungaran entah berapa kilometer. Kami sengaja tidak mencari tahu tentang hal itu. Kami ingin menikmati petualangan ini dengan bebas, tanpa memikirkan berapa jauh jarak yang mesti kami tempuh. Dari bersepeda di jalanan kampung, jalan raya, tengah kota sampai ke pegunungan, terus hiking merambah hutan sampai puncak gunung.

Kami awali kayuhan melewati desa-desa dari Klayutan menuju Keden sampai daerah Kacangan. Kurang lebih 1 jam kami bersepeda di bawah langit mendung dan disuguhi pula tanjakan-tanjakan. Kami akan mengambil jalur alternatif dari Kacangan menuju Salatiga. Setelah break kami melanjutkan perjalanan ke arah barat melewati Pasar Kacangan. Jalan semakin menanjak ke arah Klego. Kami hanya sanggup mengayuh sepeda pelan-pelan. Magrib kami sampai di perempatan Karanggede. Di sini kami mencari masjid untuk solat.

Selepas magrib kami melanjutkan perjalanan ke arah Tingkir. Langit sudah mulai gelap. Kami pun segera memasang lampu di sepeda. Kami memilih bersepeda di malam hari untuk menghindari sengatan matahari. Jalan raya menuju Tingkir lumayan gelap karena di kanan-kiri jalan banyak pepohonan yang rimbun. Keluar masuk daerah pemukiman lalu persawahan. Tanjakan silih berganti menyambut kami. Di malam hari yang dingin keringat kami tetap mengucur deras. Jika tak mampu mengayuh di tanjakan, kami terpaksa menuntun sepeda. Begitulah cara kami menikmati perjalanan.

Kami sempat istirahat di sebuah masjid untuk solat isya dan juga mengisi bekal air minumdari galon yang disediakan di masjid. Sekitar pukul 21.00 kami sampai di pertigaan Tingkir. Kami ambil arah kanan ke jalan raya Salatiga-Semarang. Kami kegirangan tiba di sini, sebab menuju kota Salatiga jalanan nyaris menurun terus. kami tidak perlu mengayuh pedal sama sekali untuk sampai ke kota. Melihat kanan kiri mencari warung makan yang sekiranya cocok dengan kantong kami. Akhirnya di Jalan Sukowati kami menjumpai warung tenda yang masih menjual sepiring nasi sayur hanya dengan harga lima ribu rupiah. Harga murah tapi cukup membuat kami kenyang dan bisa mengganti energi kami yang sudah banyak terkuras. Selesai makan kami mengayuh sepeda ke alun-alun kota Salatiga yang asri. Kami sempat menonton pagelaran wayang kulit yang diadakan Polres Salatiga dalam rangka memperingati hari Bhayangkara.

Malam itu kami berencana untuk mencari tempat menginap, tapi bukan hotel tentunya. Kami kembali menyusuri jalan raya Salatiga-Semarang, bersaing dengan truk dan bis malam antar kota. Kami diuntungkan oleh jalanan yang menurun. Sampai akhirnya di daerah Tuntang kami menemukan masjid untuk tempat bermalam. 

2 Juli 2013 usai solat subuh kami berkemas untuk melanjutkan perjalanan. Langit masih gelap, kami kembali menyusuri jalan raya arah Semarang. Selepas Tuntang kami melewati perkebunan coklat sampai masuk daerah Bawen, lalu melewati kawasan industri dengan hiruk pikuk para karyawan pabrik. Kami terus berpacu di antara kendaraan-kendaraan besar di jalan raya. Di sebuah pertigaan kami belok kiri dengan jalan menanjak terus ke arah Pasar Jimbaran. Pagi itu kami hanya sarapan beberapa potong roti dan sarapan tambahannya adalah tanjakan-tanjakan yang ‘gila’. Kami kebanyakan hanya mampu menuntun sepeda. Sampai di Pasar Jimbaran penderitaan belum usai. Untuk sampai di basecamp Gunung Ungaran kami masih harus melalui jalan naik terus ke atas dari Pasar Jimbaran ke Sidomukti. Di jalan ini kami tak sanggup lagi mengayuh. Air minum menjadi kebutuhan pokok yang harus selalu ada.

Melewati perkampungan, kebun sayuran dan juga kawasan wisata Umbul Sidomukti yang merupakan sebuah kolam pemandian. Kami masih terus menuntun sepeda. Sampai akhirnya sekitar pukul 10.00 kami tiba di basecamp gunung Ungaran. Kami bisa kembali tertawa setelah tadi dibuat pucat oleh tanjakan-tanjakan. Dari basecamp pemandangan sangat indah. Di kejauhan terlihat Rawapening yang begitu luas dan hamparan kota Ungaran, Bawen, Ambarawa. Di camping ground terlihat beberapa tenda pramuka. Kami langsung menuju ke satu-satunya warung yang ada di basecamp. Penjualnya sepasang kakek-nenek. Teh panas hangat yang disuguhkan langsung menyegarkan kami, ditambah tempe mendoan hangat. Begitu nikmat dimakan saat perut benar-benar merasakan lapar. Dilanjut nasi sayur dan telor dadar, ini baru sarapan yang nyata bagi kami.

Cuaca berkabut sedikit gerimis, lalu hujan turun. Di basecamp kami menyempatkan mandi  dan menyiapkan logistik untuk mendaki ke puncak Ungaran. Untuk mendaki kita harus melapor ke petugas basecamp dengan biaya administrasi 3 ribu per orang. Kita juga akan diberi peta jalur pendakian. Menunggu hujan reda kami tidur-tiduran di dalam basecamp. Setelah cuaca terlihat membaik walaupun masih berkabut. Pukul 13.30 kami mulai mendaki. Sepeda kami titipkan di basecamp. Jalur pendakian terlihat cukup jelas dan banyak petunjuk arah. Treknya pun bervariasi, kadang landai, menurun, medan batuan menanjak. Menyebrang sungai sampai tiba di pos Mawar. Lalu melewati perkebunan kopi kemudian perkebunan teh, setelah itu masuk hutan yang rindang. Medan pendakian gunung Ungaran tidak membosankan. Setelah 2,5 jam mendaki kami akhirnya sampai di puncak.

Selama perjalanan ke puncak kami diguyur hujan sampai badan basah kuyup. Di puncak keadaan berkabut ditambah angin yang membuat kami menggigil. Kami segera mencari tempat untuk mendirikan tenda. Malam itu kami habiskan waktu untuk tidur sepuasnya di puncak gunung Ungaran.

3 Juli 2013, subuh kami bangun. Di luar keadaan tak berubah, berkabut dan berangin. Setelah sarapan kami beranikan diri keluar tenda untuk berkemas. Pukul 06.00 kami meninggalkan puncak Gunung Ungaran untuk turun, masih ditemani kabut yang setia pada kami. Kami harus berhati-hati karna trek masih licin bekas guyuran hujan kemarin. Di sungai kami sempatkan untuk sekedar membasuh muka dengan airnya yang segar. Sungai di tengah hutan tak ubahnya surga bagi kami. Sekitar pukul 08.30 kami sampai di basecamp. Kami mandi kemudian packing dan mengecek sepeda, terutama rem untuk menuruni jalanan dari basecamp ke pasar Jimbaran yang banyak tikungan tajam.

Pukul 10.00 kami mulai duduk kembali di sadel, siap mengayuh. Turunan dan tikungan yang tajam membuat adrenalin terpacu disertai rasa takut. Jalan sempit yang mulai ramai oleh kendaraan para wisatawan membuat kami tambah deg-degan saat berpapasan. Turunan tajam berakhir di Pasar Jimbaran. Lalu kami ambil arah kanan ke Bandungan, berbeda dari jalur berangkat. Pasar Jimbaran-Bandungan kurang lebih 6 KM naik-turun. Di kanan kiri banyak terdapat penginapan dan hotel. Yang paling membuat kami ngos-ngosan adalah saat harus menuntun sepeda di tanjakan panjang sebelum Pasar Bandungan. Di daerah ini kami mampir di rumah keluarga Mas Widya (teman lamaku waktu naek Gunung Slamet dulu). Di sana kami dijamu makan sampai kenyang, tambah dibekali 3 botol minuman oleh Mas Widya.

Pukul 13.00 kami melanjutkan perjalanan. Kurang lebih 10 Km turunan ke arah Pasar Ambarawa. Sepanjang menuruni jalanan berkelok itu kami diguyur hujan. Tanpa kacamata dan masker, air hujan langsung mencucuk wajah. Tapi ini justru menambah seru perjalanan. Sampai di Pasar Ambarawa kami ke arah kiri menuju Bawen. Dari terminal Bawen belok kanan ke arah Salatiga. Sampai di Tuntang sebelum masuk kota Salatiga kami mengambil arah kanan lewat jalan By Pass yang langsung menuju Tingkir. Di By Pass ini jalan naik-turun, sangat menguras tenaga. Sampai akhirnya mentok di pertigaan selatan Tingkir. Kami belok kanan menuju Boyolali. Di jalan raya arah Boyolali ini kami sangat menikmati perjalanan karna banyak turunan. Bahkan selepas kota Boyolali jalan masih terus menurun sampai Kartasura.

Kami sampai di Kartasura sekitar pukul 19.30 mampir di sebuah warung soto yang ternyata harganya terlalu mahal untuk kami. Semoga pengalaman ini cukup satu kali kami alami. Pukul 20.00 kami lanjut menuju pertigaan Kartasura belok kiri menuju Kalioso. Pukul 21.00 akhirnya kami sampai di titik 0 Km lagi, desa Tuban Kidul.

Terwujud juga keinginan kami melakukan perjalanan bersepeda sekaligus mendaki gunung. Sepeda kami memang murah, tapi tekad dan semangat kami untuk mengayuhnya tidak murahan.