7 April 2015

Warung Bakmi Genova (kedai makan rasa vespa)



Aku menikmati tiga hari berada di kota Magelang, merasakan kesejukan kota seribu bunga itu. Hampir di setiap sudut jalan di kota itu dihiasi dengan tanaman-tanaman, menjadikan kota itu terlihat asri.
Kota yang terletak di sebelah barat gunung Merapi ini memang sangat panas jika siang. Tapi adanya bukit Tidar di tengah kota yang masih rimbun dengan pohon-pohon cemara dan pinusnya membuat Magelang terasa adem. Alun-alun kotanya yang bersih menjadikannya tempat yang nyaman untuk nongkrong masyarakat,terutama anak-anak muda.

Selama di Magelang aku menginap di rumah Mas Wawan dan Mbak Een. Mereka berdua adalah pasangan penggila vespa. Mempunyai sebuah bengkel vespa kecil dan bergelut di usaha jual beli vespa juga. Empat anak perempuannya pun diberi nama dengan nama-nama khas vespa. Anak terakhirnya yang berumur 8 bulan diberi nama Venesa Piaggio Genova,keren kan :-). Rumah sederhanya yang berada di antara gang-gang sempit itu menjadi tempat ngumpul pemuda-pemuda yang juga hobi naek vespa. Semua yang suka ngumpul disitu sudah terbiasa makan,bahkan tidur di rumah sederhana itu. Tapi semua harus  bertanggung jawab soal kebersihan rumah. Mas Wawan dan Mbak Een tambah senang jika kedatangan tamu dari luar kota. Termasuk ketika aku datang,disambut dengan sangat ramah.

Usaha inti pasangan itu sebenarnya adalah di bidang makanan. Setiap malam mereka berjualan di tepi  tikungan jalan dekat rumahnya dengan gerobak dan tenda terpal. Tapi menu makanan yang mereka jual ini tetap makanan rasa vespa..hehe.
Untuk para penggemar vespa pasti akan kaget mendengar nama menu-menu makanannya yang unik dengan nama-nama vespa. Menu andalannya adalah Nasi Goreng Lambretta dan Nasi Godhog Grand Turismo, ini adalah makanan khas Magelang, hanya namanya saja yang dibikin serasa Eropa. Mungkin saking tergila-gilanya mereka dengan vespa. Di gang sempit sebelah rumahnya saja berjajar beberapa vespa kesayangan mereka.

Tiap hari kedai makan mereka selalu rame, pembelinya gak hanya dari pencinta vespa,tapi dari semua kalangan. Di kedai makan sederhana itu dipajang foto-foto touring vespa mereka,bahkan fotoku juga ikut menghias kedai itu. Pembeli yang datang pasti akan penasaran melihat-lihat foto-foto itu.
Yang unik lagi dari kedai makan ini adalah cara memasaknya yang masih menggunakan arang dengan tenaga kipas tangan manusia. Pemuda-pemuda kawan Mbak Een yang sering nongkrong disitu sering membantu mereka berjualan dengan memainkan kipas tangan itu. Mereka sekalian belajar berjualan, karena Mbak Een tak pelit juga soal resep untuk kawan-kawannya yang ingin berwirausaha.

Setiap hari antrian pembeli selalu sabar menanti pesanan mereka dimasak. Karena Mbak Een melayani pembeli satu porsi sekali masak. Jadi setiap pembeli datang dia akan memberi tahu berapa antrian yang harus ditunggu. Para pembeli pun akan sabar menunggu.
Soal rasa, aku sudah mencicipinya, mantap pokoknya. Selera pedasnya pun bisa minta sesuai keinginan, ada level biasa, sedang, pedas, super pedas, dan bahkan ada yang minta pedas manis, seru juga kan rasanya..hehe.
Karena aku tidak begitu memahami soal kuliner,aku gak bisa bercerita banyak soal komposisi ataupun rasa, lebih baik jika penasaran dengan menu-menu makanan di kedai makan yang diberi nama Warung Bakmi Genova ini, datang langsung saja kesana. Letaknya di daerah Gelangan, dekat Lapangan Rindam Diponegoro. Dan rencananya akan membuka cabang di Jogja, semoga segera terwujud.

Terima kasih untuk keluarga Mas Wawan dan Mbak Een, kawan-kawan yang suka nongkrong disana juga. Dan Genova yang akrab dipanggil Neo yang selama 3hari disana aku gendong tiap pagi :-). Semoga kedai makannya tambah rame.

07/0402015

28 Maret 2015

Balada Kampung Halaman



Lelaki muda di bawah hujan tengah malam
Selepas kerja, badan penuh peluh
Bercampur air hujan,
Mata merah menahan perih
Jiwanya ingin berontak dari rutinitas
Tapi dia masih tak berdaya untuk keluar menantang garis takdirnya
Mungkin saat ini memang takdirnya menjadi robot bernyawa 
Buruh pabrik, pekerja siang malam
Menjadi kaum yang terabaikan

Kampungnya kini telah berubah
Sawah-sawah hijau menjadi lahan industri
Entah benar atau salah yang dilakukan
Kakek nenek atau para orang tua
Menjual sawah tanah warisan
Pada penguasa pabrik-pabrik
Kini, pemuda-pemudi tak tau lagi cara bertani
Salah siapa semua ini?
Ibu-ibu muda menjadi buruh seperti dia
Meninggalkan bayi-bayi di rumahnya
Sementara suaminya pun juga bekerja
Siang dan malam mereka mencari uang
Mungkin bayinya rindu pelukan orang tuanya
Air susu ibunya digantikan susu-susu pabrikan
Entah ini sebuah kemajuan atau kemunduran zaman
Entah salah atau benar semua ini ?

Lelaki muda sampai di rumahnya
Basah kuyub menggigil tubuhnya
Sepi kampungnya
Keluarganya pun sudah terlelap
Hanya suara air hujan yang merintik
Dan suara generator pabrik yang tak pernah mati

Sementara,suara-suara di kepalanya membuat gelisah
Dia merasa sendiri
jiwanya kembali ingin berontak
Apa yang bisa dia lakukan untuk kampungnya
Dia hanya seorang buruh
Yang tak memiliki apa-apa
Hanya,dia merasa jiwanya berbeda
Di jiwanya masih ada semangat
Untuk sedikit membuat perubahan

Entah ini suatu kemajuan atau kemunduran zaman

00.05
25/03/2015

24 Maret 2015

Kamar dan Buku



sepi...
ketika gelap merajai langit
ketika pintu-pintu rumah terkunci
hanya ada lampu-lampu jalan yang sepi
lelaki pulang seorang diri

sunyi...
saat tak ada seorang pun kawan
saat yang terdengar hanya suara serangga malam
dan suara ribut tikus-tikus yang berlarian di ruang gelap
lelaki merasa sunyi

kamar gelap...
tempat dimana lelaki itu menyendiri
diselimuti pikiran-pikiran yang tak pasti
entah bagaimana hidupnya nanti


perempuan-perempuan pergi
tanpa alasan pasti, lelaki itu dilukai

tak ada kawan
hanya tumpukan buku-buku yang menemani
kepada buku dia berbagi
kepada buku dia bercerita
tentang dirinya
tentang hidupnya

kamar gelap...
hanya cahaya lentera
menerangi lembar demi lembar yang dia baca
berharap bisa melupakan masalah-masalahnya
berharap menemukan pencerahan
berharap tak ada lagi kegundahan

hanya lembar demi lembar buku-buku
yang menemani lelaki itu
di sepinya kamar
di sunyinya kamar


00:52
24/03/2015
SB




3 Maret 2015

Copy Paste Catatan Seorang Teman

Aku teringat,
pernah ada seorang teman karib berkata padaku, “mbak, tapi kakakku gak sekolah (kuliah) lho.. dia Cuma mondok. Apa mbak Weni mau kenal ma dia?”.
Minder berkenalan (mengenalkan) karena “gak sekolah” ???!!!
Hahahaha… ada ada aja. Sepertinya ada yang masih kurang “pas” dalam cara berfikir (pandang) masyarakat kita yang mempengaruhi “kepercayaan diri” seseorang.

Apa si artinya DERAJAT sekolah? Gak sekolah, sekolah tapi gak lulus, lulusan  TK, SD, SMP, SMP, SMA, S1, S2,S3…. Begitu pentingkah tingkatan-tingkatan itu dipertanyakan dalam suatu hubungan pertemanan (atau hubungan personal apa pun)? Heuleh..heuleh.. kayak mau “ngelamar” kerja aja.
Mari kita telusuri lebih dalam.
Memang sekolah itu penting bagi orang-orang yang mau berpikir untuk mengembangkan dan menyalurkan pemikiran-pemikirannya.
Berpikir itu suatu keharusan.
Tapi untuk menjadi orang-orang yang berpikir gak harus di sekolah juga (lebih tepatnya: gak harus berkriteria memenuhi jenjang tertentu dengan bukti selembar ijazah).
Sekolah itu cuma salah satu cara. Orang yang kuliah pun belum tentu dia termasuk orang-orang yang berpikir.
Tinggal diri kita masing-masing memaknai sekolah itu sebagai apa, mau mengembangkan dan menyalurkan pemikiran-pemikiran kita melalui apa, sekolah kah? nyantri kah? atau langsung terjun ke masyarakat untuk belajar kehidupan (tanpa antara) ?
Dalam sudut pandangku, yang mengutamakan DERAJAT seseorang (lebih tepatnya KUALITAS diri) hanya dari ijazah (semata), mereka itulah manusia-manusia yang kurang berpikir (hehe.. maaf, pikiran kritis mulai kambuh).
Itu Cuma ideologi kelas “ebi” eh kelas “teri” yang ditanamkan (entah siapa yang menanam) melalui pemahaman yang salah mengenai pembeda tingkatan status sekolah (pada akhirnya tingkat status sosial).

Bagiku, esensi lebih penting dari sekedar cashing ;-) tidak memungkiri, cashing turut mendukung tapi bukan suatu “keutamaan”.
Cara berpikir dan pemikiran-pemikirannya, proses pendewasaan yang dilalui, kemauan untuk terus belajar memperbaiki diri (perbaikan dalam hal esensi hati dan pikir), kemauan untuk terus menggali dan mengusung makna dan manfaat kehidupan ini, bagiku itu semua yang lebih penting.. itulah sebuah esensi dari suatu “eksistensi kedirian” yang membedakan "kualitas diri" seseorang.
Sekali lagi, tingkatan sekolah hanya salah satu alat untuk mempermudah/membantu dalam pencapaian jenjang "keilmuan" sebagai sebuah proses yang bertahap.

Terakhir, aku tidak melirik tingkatan sekolah, tingkatan intelegensia, tingkatan kecantikan, tingkatan ketampanan, tingkatan kebaikan/keburukan sebagai sebuah "patokan" dalam memilih teman karena aku inigin memperbaiki diri dengan berteman dengan bermacam-macam orang agar ku semakin paham sekat-sekat "perbedaan" yang membelenggu kemuliaan sifat seseorang. semua yang ada di sekelilingku adalah "guru" bagiku (aku tidak berkata "pembimbing").

                                                                                                             --Untuk Para Pencari Kualitas Diri--
                                                                                                                         "suara" 25 May 2011

15 Februari 2015

Terminal


Jangan jangan pagi kau hadirkan 
Biarkan malam terus berjalan
Jangan jangan mentari kau terbitkan
Jangan jangan pagi kau datangkan 

Kumohon dan aku harapkan 
Jangan jangan mentari kau terbitkan
Dengarlah Tuhan apa yang dibisikkan

Berandal malam di bangku terminal
 (Iwan Fals - Berandal Malam di Bangku Terminal)


Beberapa hari ini, beberapa minggu ini, aku menghabiskan hari-hariku di sebuah terminal. Terminal bus kecil, yang hanya beroperasi di waktu siang sampai sore. Hanya ada beberapa angkutan desa, beberapa elf, dan sesekali bus antar kota yang singgah. Segelintir penumpang yang menunggu bus datang. Terminal menjadi titik pemberangkatan, entah kemana tujuan. Dan mungkin juga menjadi titik awal seseorang untuk mengejar impan. Terminal juga menjadi tempat pertemuan dan perpisahan. Dijemput dan menjemput seseorang, keluarga, teman, sahabat, kekasih, orang-orang yang saling menunggu dan ditunggu. Terminal menjadi saksi segala macam pertemuan dan perpisahan.

Terminal kecil ini kini menjadi tempatku berkumpul dengan kawan-kawanku. Kami yang sering dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Masyarakat yang hanya mau melihat dengan kacamatanya sendiri. Kami mencoba tak peduli dengan pandangan-pandangan masyarakat tentang kami. Disini kami membangun kebersamaan, diantara bisingnya kendaraan. Diantara celoteh-celoteh sopir angkutan dan elf. Diantara aroma alkohol murahan yang mereka tenggak. Diantara ribut-ribut pasangan suami-istri warung es yang saling memergoki diantara mereka saling selingkuh. Dintara perselingkuhan-perselingkuhan lain yang terjadi di terminal ini. Diantara bau tumpukan sampah yang seharusnya bukan tempat sampah. Diantara kelakuan pemuda-pemudi yang memanfaatkan nuansa gelap terminal ini untuk berpacaran. Diantara semua itu kami direndahkan oleh manusia-manusia yang merasa derajatnya lebih tinggi. Di terminal ini kami mencoba belajar menyerap semua pertunjukan kehidupan yang setiap hari dipertontonkan.

Disini kami mulai merajut impian, tentang desa tempat tinggal kami. Impian kecil yang ingin kami lakukan bersama-sama. Tentang masalah yang tak bisa diselesaikan oleh manusia-manusia yang merasa kaum intelektual di desa kami.  Mereka yang merasa hidupnya sudah berguna, padahal jika mau bertanya pada hati mereka yang paling dalam sendiri, mengabdi hanyalah sebuah tameng untuk mendapatkan pekerjaan yang mapan, status sosial yang diinginkan, dan keamanan finansial. Tapi memang kami tak bisa lepas dari kehidupan masyarakat, dengan segala tetek bengeknya. Biarkan saja kami dipandang rendah. Pelan-pelan, dari langkah-langkah kecil kami akan bergerak untuk sedikit membuat perubahan. Sedikit demi sedikit berusaha merubah pandangan masyarakat tentang orang-orang seperti kami. Sulit memang, tapi semua harus dicoba. Karena hidup tanpa impian sama saja membunuh diri sendiri sebelum mati. Impian kawan-kawan itu tentang 'sampah masyarakat'.

Terminal bus Gondangrejo
15/02/2015
SB

11 Januari 2015

Teratai dalam Lumpur (Thich Nhat Hanh)

Manfaat penderitaan merupakan sesuatu yang nyata. Tanpa penderitaan tidak ada kebahagiaan. Tanpa lumpur tidak akan ada bunga teratai. Apabila kamu tahu bagaimana menderita, maka tidak perlu takut dengan penderitaan. Dan ketika kamu bersikap demikian, maka kamu tidak begitu menderita lagi. Dan dari penderitaan, sekuntum bunga kebahagiaan akan merekah.

19 Desember 2014

Blora 2



Selepas isya aku akhirnya sampai di kota Blora. Berjalan kaki melewati pasar kota. Masih ada beberapa toko yang buka. Banyak juga penjual makanan di trotoar jalan. Menuju alun-alun kota, letaknya tak jauh dari pasar. Saat itu jalanan sangat ramai dan padat karena sedang ada Haul Sunan Pojok yang makamnya berada di selatan alun-alun. Banyak peziarah dari dalam ataupun luar kota yang datang. Sunan Pojok yang nama aslinya adalah Surobahu Abdul Rohim,beliau adalah perwira perang dari Mataram-Yogyakarta yang ditugaskan ke Tuban untuk melawan VOC. Dalam tugasnya beliau juga menyebarkan agama islam. Dalam perjalanan sekembalinya dari Tuban, beliau sakit dan akhirnya meninggal di Blora.

Suasana alun-alun kota ramai. Keasrian tempat ini mungkin membuat masyarakat senang berkunjung. Pedagang-pedagang juga tertata rapi, jadi tidak ada kesan semrawut. Aku menuju masjid raya kota Blora yang berada tepat di sebelah barat alun-alun. Bangunan luar masjid terlihat moderen. Tapi ketika kita masuk ke dalam, menapak ubinnya, melihat kusen pintu, dan menatap pilar-pilar beserta atap masjid, kita akan tau bahwa masjid ini benar-benar masjid yang sangat tua. Mungkin sudah mengalami berkali-kali renovasi, tetapi ada beberapa bagian yang tetap sengaja dibiarkan terlihat kuno.

Ada beberapa orang yang tidur di teras masjid. Dari barang bawaan yang mereka bawa, mungkin mereka adalah tunawisma. Bagi mereka masjid adalah pilihan teraman yang bisa mereka jadikan ‘rumah’ dikala malam. Mereka perlu tempat yang aman untuk mengistirahatkan raga dan pikiran setelah sehari yang berulang-ulang ke hari lain mereka bergelut dengan kehidupan di jalan.

Blora, bumi manusia. Di kota mana pun, di daerah manapun, permasalahan hidup pasti ada. Setelah melakukan kewajiban aku keluar masjid menuju alun-alun membaur di tengah hiruk pikuk masyarakat yang menikmati malam. Langit cerah tak ada mendung. Aku mampir ke sebuah warung tenda, semacam angkringan. Sudah ada beberapa pemuda dan seoarng bapak yang duduk di kursi panjang depan gerobak angkringan itu. Aku memesan segelas kopi pada ibu penjual.
“Kopi klothok satu Bu.” Pesanku.
“Iya mas.” Jawab ibu setengah baya itu.

Bapak tua di sebelahku juga sedang menikmati kopinya sambil sesekali menghisap rokok kreteknya. Penampilannya terlihat rapi, berkopyah putih dengan baju koko cokelat muda dan celana hitam bahan halus yang tersetrika. Sendal kulit yang dipakinya juga terlihat mewah, aku memperhatikannya. Kemudian Bapak itu menoleh padaku.
“Sendirian Nak?” tanya bapak itu,sambil membenarkan kopyahnya.
“Iya pak, Bapak juga sendirian?” aku balik bertanya sambil memberi senyum.
“Gak Nak, Bapak sama rombongan dari Semarang, sedang ikut acara Haul Sunan Pojok. Tapi Bapak lagi pengen istirahat nikmati suasana Blora,ngopi di angkringan ini.” Bapak itu menyeruput kopinya pelan.
“Ini mas kopinya.” Ibu penjual menyuguhkan segelas kopi panas.
“Matur suwun Bu.” Jawabku sambil menerima gelas kopi itu.
 
Aku mengambil dua bungkus nasi kucing dan setusuk sate telur puyuh. Makanan sederhana setiap kali dalam perjalanan, karena aku harus berhemat. Dan bagiku makan adalah sekedar memenuhi kebutuhan tubuh. Sederhana saja sudah cukup. Jika aku tidak bisa mengendalikan keinginan soal makan, mungkin kebutuhan makan itu akan berubah menjadi kebutuhan nafsu.
“Makan Pak?” Tawarku pada Bapak di sebelahku. Ya, itu memang sekedar basa-basi,adat menghormati orang di sekitar kita.
“Silahkan Nak.” Bapak itu masih menikmati rokok kretek dan kopinya, sambil sesekali terlibat obrolan dengan Ibu penjual.
Pemuda-pemuda yang di kursi kini turun menggelar tikar di trotoar, main kartu sekedar hiburan.
Makanan sederhana sudah cukup membuat perutku kenyang. Walau kadang ada keinginan untuk makan di sebuah resto atau pun kafe,tapi aku selalu merasa tidak nyaman berada di tempat seperti itu. Tempat-tempat seperti itu seolah menjual kepalsuan. Pelayan resto yang ramah di depan pengunjung, mungkin mengumpat-ngumpat soal pekerjaannya ketika di ruang loker. Koki-koki yang masakannya enak itu, mungkin juga memasak sambil berteriak marah  ke asistennya. Penjaga kasir yang selalu tersenyum ramah ketika kita membayar, mungkin saat tak ada pembeli dia mengomel tentang uang hilang atau kurang yang harus mereka ganti. Ya begitulah, aku pernah menjadi bagian dari kehidupan itu. Memang tak semua tempat seperti itu. Ada pelayan yang benar-benar mengantarkan makanan dengan ikhlas, koki-koki yang memasak dengan kecintaannya pada kuliner, penjaga kasir yang tetap tersenyum walau harus menanggung uang yang hilang. Mereka adalah orang-orang yang sadar akan tugasnya dalam hidup dan mensyukuri kehidupannya.

Tapi aku tetap lebih suka berada di tempat seperti ini. Berhadapan langsung dengan penjual, mendengarkan langsung obrolannya. Entah saat mereka suka ketika calon presiden jagoannya terpilih. Entah saat mereka marah ketika harga BBM naik. Entah ketika mereka menggerutu karena harga cabai kian mencekik. Setidaknya mereka tidak menutup-nutupi apa yang mereka rasakan. Mereka tidak memberikan senyum palsu. Mereka berani jujur walau dengan senyum getir dan gerutuan. Dan di tempat seperti ini aku juga merasakan tak ada batas diantara pembeli, semua berbaur, satu kursi, mungkin juga satu tikar. Bebas datang dengan pembawaan dirinya masing-masing. Bebas saling menyapa tanpa pandangan curiga.
“Rumahnya dimana Nak?” Bapak itu bertanya padaku.
“Solo Pak.” Jawabku singkat.
“Oh, disini bekerja?”
“Gak Pak, sedang main ke tempat kerja kakak.”
“Di Solo masih kuliah atau bekerja?”
  Kenapa selalu pertanyaan seperti ini yang kudapat? pikirku.
“Saya gak kuliah Pak, saya kerja dan main-main seperti ini menikmati hidup. Mencari pengalaman-pengalaman hidup di perjalanan pak.” Jawabku sambil bergurau.
“Pilihan yang tepat Nak.” Bapak itu tegas menatapku.
Aku terkejut mendengar kalimatnya, dan hanya diam sambil menyeruput kopi untuk menenangkan diriku.
Bapak itu melanjutkan, “Pengalaman hidup itu adalah pelajaran yang lebih berharga daripada pelajaran-pelajaran di bangku sekolah atau kuliah. Bapak hampir menghabiskan banyak waktu hidup bapak di bangku universitas, belajar dan kini mengajar. Banyak kepalsuan di tempat itu Nak.”
Aku hampir tak percaya, kalau memang Bapak ini seorang akademisi harusnya dia bangga dengan apa yang diraihnya.
“Tapi bukankah ilmu yang Bapak dapat dan ajarkan itu sangat berguna Pak?” tanyaku penasaran.
“Iya memang, tapi kau tak tau Nak?” tanyanya,
“Apa pak?” aku sama sekali tidak tau maksudya.
“Di dunia universitas sekarang, lebih banyak orang yang mengejar gelar daripada mengejar ilmu. Bahkan banyak yang menjadi plagiat dalam karya-karya ilmiah atau skripsinya Nak. Memang banyak juga yang benar-benar niat menuntut ilmu dengan cara yang semestinya. Dan hal lain, Guru-guru di sekolah atau dosen seperti bapak juga tidak sedikit yang mengajar dengan ogah-ogahan. Gaji sudah lebih dari cukup,tapi masih pada merasa kurang,beralasan biaya hidup dan menguliahkan anak semakin tinggi. Apa mereka tidak pernah melihat ke bawah, petani-petani atau buruh-buruh pabrik untuk menyekolahkan anaknya sampai tingkat SMA saja harus gali lubang tutup lubang. Kecuali guru-guru sekolah yang masih WB itu Nak, kasihan mereka. Hal-hal itulah yang membuat Bapak sedih. Mungkin memang harus seperti itulah keadaannya. Keseimbangan, baik-buruk, benar-salah akan selalu ada. Dan pendidikan memang sangat penting Nak, tapi tidak penting formal atau non formal, yang paling penting adalah pendidikan moral.” Bapak itu menghabiskan kopinya.
“Saya gak paham hal-hal seperti itu Pak.” Tukasku sambil tersenyum. Aku tak mau terlibat lebih jauh dalam obrolan yang tak kupahami.
Lalu Bapak itu membayar jajannya dan pamit padaku untuk kembali ke tempat Haul Sunan Pojok. Setelah Bapak itu pergi aku baru sadar, aku lupa tidak berkenalan ataupun sekedar bertanya dimana bapak itu mengajar. Itulah kebiasaan burukku, selalu asyik menikmati obrolan tanpa berkenalan.

Dari angkringan aku menghubungi kakakku. Saat kutelpon, ternyata malam ini dia sedang pulang ke Solo. Memang aku tidak memberi kabar sebelum berangkat kesini. Ini adalah kesalahanku. Aku tak punya teman di kota ini. Aku ingat beberapa tunawisma yang tertidur di masjid. Dan saat ini aku sama seperti mereka, tunawisma. Aku juga membutuhkan tempat untuk istirahat. Dan Dia adalah sebaik-baiknya peneduh bagi hambaNYA yang kesusahan.


(dari pengalaman ke Blora bulan lalu)