14 Juli 2013

Bersepeda dan Mendaki Gunung Ungaran



1 Juli 2013, pagi-pagi aku dan Danu sudah sibuk mengecek sepeda butut kami. Memperbaiki rem, menyiapkan kunci-kunci dan alat camping yang akan kami bawa. Siangnya kami masih punya urusan masing-masing  yang harus diselesaikan, jadi kami putuskan untuk berangkat sore. Siang itu hujan turun sangat deras. Kami sempat berunding jadi berangkat atau tidak. Lalu kami putuskan tetap berangkat setelah hujan reda. Ketika menunggu hujan tiba-tiba ada sms masuk, dari Fahri, pemuda sekampungku yang juga suka bersepeda dan naik gunung. Dia pengen ikut. Sore itu kami bertiga kumpul di rumahku dan selepas ashar kami berangkat bersepeda menuju Gunung Ungaran.

Kami start dari titik 0 KM yaitu rumahku di desa Tuban Kidul, Gondangrejo, Karanganyar. Jarak sampai ke basecamp Gunung Ungaran entah berapa kilometer. Kami sengaja tidak mencari tahu tentang hal itu. Kami ingin menikmati petualangan ini dengan bebas, tanpa memikirkan berapa jauh jarak yang mesti kami tempuh. Dari bersepeda di jalanan kampung, jalan raya, tengah kota sampai ke pegunungan, terus hiking merambah hutan sampai puncak gunung.

Kami awali kayuhan melewati desa-desa dari Klayutan menuju Keden sampai daerah Kacangan. Kurang lebih 1 jam kami bersepeda di bawah langit mendung dan disuguhi pula tanjakan-tanjakan. Kami akan mengambil jalur alternatif dari Kacangan menuju Salatiga. Setelah break kami melanjutkan perjalanan ke arah barat melewati Pasar Kacangan. Jalan semakin menanjak ke arah Klego. Kami hanya sanggup mengayuh sepeda pelan-pelan. Magrib kami sampai di perempatan Karanggede. Di sini kami mencari masjid untuk solat.

Selepas magrib kami melanjutkan perjalanan ke arah Tingkir. Langit sudah mulai gelap. Kami pun segera memasang lampu di sepeda. Kami memilih bersepeda di malam hari untuk menghindari sengatan matahari. Jalan raya menuju Tingkir lumayan gelap karena di kanan-kiri jalan banyak pepohonan yang rimbun. Keluar masuk daerah pemukiman lalu persawahan. Tanjakan silih berganti menyambut kami. Di malam hari yang dingin keringat kami tetap mengucur deras. Jika tak mampu mengayuh di tanjakan, kami terpaksa menuntun sepeda. Begitulah cara kami menikmati perjalanan.

Kami sempat istirahat di sebuah masjid untuk solat isya dan juga mengisi bekal air minumdari galon yang disediakan di masjid. Sekitar pukul 21.00 kami sampai di pertigaan Tingkir. Kami ambil arah kanan ke jalan raya Salatiga-Semarang. Kami kegirangan tiba di sini, sebab menuju kota Salatiga jalanan nyaris menurun terus. kami tidak perlu mengayuh pedal sama sekali untuk sampai ke kota. Melihat kanan kiri mencari warung makan yang sekiranya cocok dengan kantong kami. Akhirnya di Jalan Sukowati kami menjumpai warung tenda yang masih menjual sepiring nasi sayur hanya dengan harga lima ribu rupiah. Harga murah tapi cukup membuat kami kenyang dan bisa mengganti energi kami yang sudah banyak terkuras. Selesai makan kami mengayuh sepeda ke alun-alun kota Salatiga yang asri. Kami sempat menonton pagelaran wayang kulit yang diadakan Polres Salatiga dalam rangka memperingati hari Bhayangkara.

Malam itu kami berencana untuk mencari tempat menginap, tapi bukan hotel tentunya. Kami kembali menyusuri jalan raya Salatiga-Semarang, bersaing dengan truk dan bis malam antar kota. Kami diuntungkan oleh jalanan yang menurun. Sampai akhirnya di daerah Tuntang kami menemukan masjid untuk tempat bermalam. 

2 Juli 2013 usai solat subuh kami berkemas untuk melanjutkan perjalanan. Langit masih gelap, kami kembali menyusuri jalan raya arah Semarang. Selepas Tuntang kami melewati perkebunan coklat sampai masuk daerah Bawen, lalu melewati kawasan industri dengan hiruk pikuk para karyawan pabrik. Kami terus berpacu di antara kendaraan-kendaraan besar di jalan raya. Di sebuah pertigaan kami belok kiri dengan jalan menanjak terus ke arah Pasar Jimbaran. Pagi itu kami hanya sarapan beberapa potong roti dan sarapan tambahannya adalah tanjakan-tanjakan yang ‘gila’. Kami kebanyakan hanya mampu menuntun sepeda. Sampai di Pasar Jimbaran penderitaan belum usai. Untuk sampai di basecamp Gunung Ungaran kami masih harus melalui jalan naik terus ke atas dari Pasar Jimbaran ke Sidomukti. Di jalan ini kami tak sanggup lagi mengayuh. Air minum menjadi kebutuhan pokok yang harus selalu ada.

Melewati perkampungan, kebun sayuran dan juga kawasan wisata Umbul Sidomukti yang merupakan sebuah kolam pemandian. Kami masih terus menuntun sepeda. Sampai akhirnya sekitar pukul 10.00 kami tiba di basecamp gunung Ungaran. Kami bisa kembali tertawa setelah tadi dibuat pucat oleh tanjakan-tanjakan. Dari basecamp pemandangan sangat indah. Di kejauhan terlihat Rawapening yang begitu luas dan hamparan kota Ungaran, Bawen, Ambarawa. Di camping ground terlihat beberapa tenda pramuka. Kami langsung menuju ke satu-satunya warung yang ada di basecamp. Penjualnya sepasang kakek-nenek. Teh panas hangat yang disuguhkan langsung menyegarkan kami, ditambah tempe mendoan hangat. Begitu nikmat dimakan saat perut benar-benar merasakan lapar. Dilanjut nasi sayur dan telor dadar, ini baru sarapan yang nyata bagi kami.

Cuaca berkabut sedikit gerimis, lalu hujan turun. Di basecamp kami menyempatkan mandi  dan menyiapkan logistik untuk mendaki ke puncak Ungaran. Untuk mendaki kita harus melapor ke petugas basecamp dengan biaya administrasi 3 ribu per orang. Kita juga akan diberi peta jalur pendakian. Menunggu hujan reda kami tidur-tiduran di dalam basecamp. Setelah cuaca terlihat membaik walaupun masih berkabut. Pukul 13.30 kami mulai mendaki. Sepeda kami titipkan di basecamp. Jalur pendakian terlihat cukup jelas dan banyak petunjuk arah. Treknya pun bervariasi, kadang landai, menurun, medan batuan menanjak. Menyebrang sungai sampai tiba di pos Mawar. Lalu melewati perkebunan kopi kemudian perkebunan teh, setelah itu masuk hutan yang rindang. Medan pendakian gunung Ungaran tidak membosankan. Setelah 2,5 jam mendaki kami akhirnya sampai di puncak.

Selama perjalanan ke puncak kami diguyur hujan sampai badan basah kuyup. Di puncak keadaan berkabut ditambah angin yang membuat kami menggigil. Kami segera mencari tempat untuk mendirikan tenda. Malam itu kami habiskan waktu untuk tidur sepuasnya di puncak gunung Ungaran.

3 Juli 2013, subuh kami bangun. Di luar keadaan tak berubah, berkabut dan berangin. Setelah sarapan kami beranikan diri keluar tenda untuk berkemas. Pukul 06.00 kami meninggalkan puncak Gunung Ungaran untuk turun, masih ditemani kabut yang setia pada kami. Kami harus berhati-hati karna trek masih licin bekas guyuran hujan kemarin. Di sungai kami sempatkan untuk sekedar membasuh muka dengan airnya yang segar. Sungai di tengah hutan tak ubahnya surga bagi kami. Sekitar pukul 08.30 kami sampai di basecamp. Kami mandi kemudian packing dan mengecek sepeda, terutama rem untuk menuruni jalanan dari basecamp ke pasar Jimbaran yang banyak tikungan tajam.

Pukul 10.00 kami mulai duduk kembali di sadel, siap mengayuh. Turunan dan tikungan yang tajam membuat adrenalin terpacu disertai rasa takut. Jalan sempit yang mulai ramai oleh kendaraan para wisatawan membuat kami tambah deg-degan saat berpapasan. Turunan tajam berakhir di Pasar Jimbaran. Lalu kami ambil arah kanan ke Bandungan, berbeda dari jalur berangkat. Pasar Jimbaran-Bandungan kurang lebih 6 KM naik-turun. Di kanan kiri banyak terdapat penginapan dan hotel. Yang paling membuat kami ngos-ngosan adalah saat harus menuntun sepeda di tanjakan panjang sebelum Pasar Bandungan. Di daerah ini kami mampir di rumah keluarga Mas Widya (teman lamaku waktu naek Gunung Slamet dulu). Di sana kami dijamu makan sampai kenyang, tambah dibekali 3 botol minuman oleh Mas Widya.

Pukul 13.00 kami melanjutkan perjalanan. Kurang lebih 10 Km turunan ke arah Pasar Ambarawa. Sepanjang menuruni jalanan berkelok itu kami diguyur hujan. Tanpa kacamata dan masker, air hujan langsung mencucuk wajah. Tapi ini justru menambah seru perjalanan. Sampai di Pasar Ambarawa kami ke arah kiri menuju Bawen. Dari terminal Bawen belok kanan ke arah Salatiga. Sampai di Tuntang sebelum masuk kota Salatiga kami mengambil arah kanan lewat jalan By Pass yang langsung menuju Tingkir. Di By Pass ini jalan naik-turun, sangat menguras tenaga. Sampai akhirnya mentok di pertigaan selatan Tingkir. Kami belok kanan menuju Boyolali. Di jalan raya arah Boyolali ini kami sangat menikmati perjalanan karna banyak turunan. Bahkan selepas kota Boyolali jalan masih terus menurun sampai Kartasura.

Kami sampai di Kartasura sekitar pukul 19.30 mampir di sebuah warung soto yang ternyata harganya terlalu mahal untuk kami. Semoga pengalaman ini cukup satu kali kami alami. Pukul 20.00 kami lanjut menuju pertigaan Kartasura belok kiri menuju Kalioso. Pukul 21.00 akhirnya kami sampai di titik 0 Km lagi, desa Tuban Kidul.

Terwujud juga keinginan kami melakukan perjalanan bersepeda sekaligus mendaki gunung. Sepeda kami memang murah, tapi tekad dan semangat kami untuk mengayuhnya tidak murahan.