26 Agustus 2015

Siapa Yang Bakal Menjadi Petani ?




Ini cerita tentang sebuah keluarga di desa yang asri. Padi-padi di sawah menguning saat musim panen tiba. Namun perlahan-lahan kini, sawah-sawah itu akan menjadi bangunan pabrik-pabrik. Industrialisasi memang selalu memberikan dua dampak, positif dan negatif. Positifnya tentu saja terbukanya lapangan kerja baru. Negatifnya adalah lahan pertanian berkurang. Dan minat bertani pemuda-pemudi generasi-generasi mendatang juga akan berkurang. Ada juga dampak polusi udara dan suara.

Di suatu malam, di rumah keluarga bahagia itu sedang tejadi obrolan panas. Saat cahaya sudah terselimuti gelap. Saat suara serangga malam mulai menyeruak. Adi, anak kedua dari keluarga itu sedang gelisah. Dia yang baru lulus SMA ingin melanjutkan kuliah di bidang Pertanian karena cita-citanya ingin menjadi petani. Namun kedua orang tuanya yang seorang PNS melarangnya. Mereka memaksa Adi untuk memilih kuliah ke fakultas keguruan. Kakak perempuannya yang juga sudah menjadi PNS hanya terdiam.

Bapak : “Kamu masuk saja ke FKIP, terserah mau ngambil jurusan apa.”
Adi : “Tapi Pak, saya ingin melanjutkan ke Fakultas Pertanian, saya pengen jadi petani.”

Bapak : “Kamu ini anak ngeyel, cita-cita macam apa itu jadi petani. Orang-orang pengen jadi guru, jadi dokter, jadi TNI, atau jadi pegawai pemerintah. Kamu malah pengen jadi petani !”
Ibu : “Sudah nurut saja sama bapakmu nak, semua untuk kebaikanmu.”
Adi : “Pak, Bu, selama ini Adi sudah banyak nurut, sekarang Adi pengen melanjutkan kuliah ke hal yang Adi minati.”

Kemarahan Bapak semakin menjadi.
Bapak : “Kamu benar-benar ngeyel, kamu gak bakalan bisa sukses dengan bertani. Bakal miskin kamu seperti petani-petani desa itu !”
Adi mulai berani berbicara dan berargumen.
Adi : “Bapak ini seorang guru, tidak sepantasnya berbicara seperti itu. Ingat  Pak, nasi yang ada di meja makan kita ini, yang kita makan setiap hari itu hasil jerih payah para petani.”

Bapak : “Jangan sok menceramahi Bapak, ingat siapa yang bakal biayain kuliah kamu. Jangan melawan. Kamu masuk saja ke FKIP.”
Adi : “Pak, Adi gak minat jadi guru. Adi gak minat jadi PNS. Adi ingin berwirausaha dari bertani Pak. Siapa yang akan menggarap sawah warisan Kakek kalau bukan Adi ?”

Bapak : “Kamu gak usah garap sawah, belajar saja yang rajin. Setelah lulus kita jual saja sawah warisan itu untuk biaya kamu supaya diterima jadi PNS !”
Adi : “Bapak ini apa-apaan, Adi gak suka masuk PNS dengan cara seperti itu.”

Bapak : “Kamu manut saja sama Bapak, biar hidupmu enak seperti kakakmu itu !”
Adi : “Pak, zaman sekarang sudah jarang ada pemuda yang mau bertani. Terus siapa yang bakal menjadi petani ? Siapa yang bakal menghasilkan beras untuk kita makan sehari-hari ?”

Bapak : “Jangan kamu pikirkan soal itu, biar itu jadi urusan Negara. Kamu pikirkan saja hidupmu sendiri biar sukses. Kalau kamu gak mau nurut, biayai saja kuliahmu sendiri.
Ibu : “Pak, sudah pak. Jangan terlalu keras sama Adi.”
Kakak : “Sudahlah pak, biarkan Adi memilih jalannya, apa pun yang dia minati.”

Adi : “Baiklah pak, Adi akan membiayai kuliahku sendiri.”

Suasana hening dan tegang. Adi masuk kamar dan mengemasi pakaiannya. Bapak, Ibu dan Kakak masih duduk terdiam di meja makan.
Lalu Adi keluar dengan membawa tas ranselnya. Dia pamit untuk pergi ke Jogja mengejar impiannya untuk menjadi petani.
Sementara Bapaknya masih teguh dengan pendiriannya.
Ibu dan kakak Adi memeluknya sambil menangis.

Adi : “Adi pamit ibu, kakak, doain Adi bisa kuliah sambil bekerja di Jogja.”
Ibu : “Kamu hati-hati nak, doa ibu selalu menyertaimu.”
Kakak : “Hati-hati Di.”

Itulah sedikit cerita, yang mungkin sangat jarang kita temui. Negara yang dulu bangga menyebut diri sebagai negeri agraris, kini seolah kehilangan jati dirinya.
Di zaman dan peradaban yang serba canggih seperti sekarang, masih adakah pemuda yang bercita-cita ingin menjadi petani ?
Semoga saja masih ada.

Dini hari, 26/08/2015



18 Agustus 2015

Semesta




Semesta

Kubiarkan angin menggoyahkan langkahku
Kubiarkan udara dingin menusuk tulangku
Kubiarkan bara api menghangatkanku
Kubiarkan gelap menyelimutiku
Kubiarkan bulan dan bintang melenakanku
Kubiarkan malam melelapkanku
Kubiarkan suara ranting memenuhi telingaku
Kubiarkan pagi meyegarkanku
Kubiarkan cahaya matahari menyilaukan mataku
Kubiarkan debu masuk ke paru-paruku
Kubiarkan tanah mengotori pakaianku
Kubiarkan air sungai mengalir di tubuhku
Kubiarkan terik siang membakar kulitku
Kubiarkan semesta merasuk ke dalam jiwaku

Malam, 17/08/2015

17 Agustus 2015

Merah-Putih Di Tengah Keindahan





Merah-Putih Di Tengah Keindahan

Angin kering Pulau Sumbawa menghantam tubuh
Debu-debu berterbangan menyapu wajah
Muka kusam penuh senyuman
Pakaian dekil penuh kenangan

Sepanjang mata memandang hamparan rerumputan kering
Membentang jauh berbatasan dengan lautan
Sapi dan kerbau berlarian
Kuda –kuda liar menyebrang

Bis tua menyusuri jalan tanah berliku
Dinakhodai sopir handal yang sudah ditempa oleh  waktu
Aku duduk penuh takjub di atas bis tua itu
Terguncang tubuhku memandang langit biru

Diantara biji-biji kopi yang mulai memerah
Berjalan disambut keramahan dan saling bertegur sapa
Anak-anak dengan seragam Putih-Merah berlarian
Dengan sandal jepit menuju tempat pendidikan

Aku menghirup udara kebebasan alam ini
Jauh dari hiruk pikuk kota yang penuh ambisi
Aku melihat Merah-Putih robek menantang angin
Di tengah-tengah keindahan negeri

Sumbawa-NTB,2012

11 Agustus 2015

Kini Hal Baik Malah Ditertawakan

Ini tentang hal kecil dalam kehidupan. Yang mungkin sering kita jalani atau temui sehari-hari. Waktu terus bergerak maju. Alam berubah sesuai zaman dan perilaku manusia. Sedangkan manusianya sendiri akan terus berubah sesuai bergeraknya waktu.

Ini tentang kebaikan-kebaikan atau kebenaran-kebenaran kecil yang kini hampir sudah tidak dipedulikan. Tentang perilaku baik atau benar yang kini malah ditertawakan.

Pernah sebuah pengalaman menyadarkanku akan hal itu.
Di Taman Nasional Gunung Bromo, tempat wisata yang selalu ramai oleh wisatawan lokal maupun mancanegara. Tak peduli di hari-hari biasa pengunjung tetap ada. Apalagi di hari libur nasional yang panjang, pengunjung akan membludak. Di pagi hari,ketika wisatawan berkerumun sedang menunggu matahari terbit di Bukit Mentigan. Di antara wajah-wajah penuh harap menanti sang Raja Pagi. Menunggu sinarnya menghangatkan bumi. Aku melihat sepasang turis manca yang terlihat bingung. Si Wanita membawa wadah Pop Mie(maaf menyebut merk) yang sudah kosong selesai dia makan. Sementara Si Lelaki terlihat bingung seperti mencari sesuatu tempat. Aku memperhatikan dari belakang mereka. Lalu Si Wanita itu mengantongi bekas wadah mie yang sudah kosong itu. Dia memasukkan wadah mie(boleh kita sebut sampah) itu ke dalam saku celana cargonya. Aku berpikir, "Hebat benar perilaku bule itu, mungkin hal itu sudah menjadi budaya di negaranya. Dia rela mengantongi sampah itu karena tidak menemukan tempat sampah." Sementara orang di sampingku, yang ternyata dia orang Pribumi melihat kejadian itu dia malah tertawa kecil. Sunggingan bibirnya terlihat seprti orang jijik dengan hal itu. Dan tak jauh dari tempatku berdiri juga banyak wadah mie yang bergelatak di tanah. Aku bertanya-tanya, "Kenapa kita sebagai tuan rumah malah tidak peduli dengan lingkungan kita, sementara tamu-tamu asing itu lebih peduli ? Dan tragisnya kita malah menertawakan mereka."

Pengalaman lain lagi, di hari yang lain di jalanan kota Jogja.Di Malioboro yang terkenal itu aku melihat kejadian yang hampir persis. Seorang turis manca, lelaki yang lumayan tua mengantongi botol air mineralnya yang sudah kosong. Aku berpikir "Tidak mungkin dia akan menggunakan botol itu lagi untuk tempat minum." Jelas dia tidak menemukan tempat sampah untuk membuang botol bekasnya itu. Sementara kita sering seenaknya melempar botol bekas air mineral ke jalanan, ke selokan, atau pun ke sungai. Padahal di banyak tempat himbauan untuk "Jangan Membuang Sampah Sembarangan" itu sering kita lihat.

Satu hal lain, ketika aku berniat untuk membuat sebuah rumah baca(perpustakaan sederhana) di rumah. Dengan tujuan untuk menyediakan buku-buku bacaan bagi teman-teman atau orang-orang yang tidak mempunyai akses meminjam buku di perpustakaan resmi(sekolah/universitas). Selain untuk meningkatkan minat baca kedepannya (walaupun sangat susah). Ketika aku mengajukan pendapat itu ke salah seorang temanku. Dia memberikan komentarnya "Lebih baik buka warung saja, menghasilkan uang. Mau nyari apa buka perpustakaan ?" Ungkapnya sambil tertawa,hahaha. Aku pun menanggapinya dengan tertawa,hahaha. Kenapa di zaman sekarang ketika orang mempunyai niat baik atau bahkan menjalankan hal baik malah ditertawakan ? Kenapa di zaman sekarang kebanyakan orientasi hidup seseorang adalah tentang materi (uang dan sebagainya) ?

Satu hal kecil lainnya, ini sering aku alami di tempat kerja. Ruang istirahat yang disediakan untuk karyawan sekarang sudah lebih baik. Daripada dulu tidak disediakan tempat istirahat. Tapi aku heran, ketika diberi peraturan "Sepatu Harap Dilepas" untuk tetap menjaga kebersihan, banyak orang yang tidak peduli dengan hal itu. Awalnya satu-dua orang yang melanggar, lama-kelamaan semakin banyak saja yang tetap memakai sepatunya tanpa peduli untuk menjaga kebersihan tempat istirahat mereka sendiri. Coba kalau hal itu terjadi di rumah mereka, aku yakin mereka juga tidak akan terima jika rumah mereka dikotori. Mungkin itu adalah bukti dari pendapat "Sebuah hal buruk atau salah itu memang mudah sekali menyebar atau ditirukan. Tetapi sebuah hal baik atau benar itu sulit sekali untuk ditularkan. Malah mungkin anda akan ditertawakan ketika melakukan hal baik atau benar itu." Entah apa yang dipikirkan mereka. Setiap kepala memang berbeda-beda pemikiran.


Ya, itu hanya sebagian kisah kecil dalam hidup kita sehari-sehari.
Kita bebas menjalani kehidupan kita. Tapi ingat, "Apa yang kita tanam, itu yang akan kita tuai."


(Ngopi pagi , 09.35, 11/08/2015

4 Agustus 2015

Belajar Bertoleransi

Satu hal yang ingin aku bahas tentang bertoleransi. Ini tentang hal yang sering kita temui sehari-hari. Tentang hal yang banyak dianggap sepele. Ini tentang toleransi dalam merokok. Aku pribadi bukan seorang perokok, tapi banyak waktuku aku lalui di lingkungan para perokok. Disini aku tidak ingin bicara tentang bahaya atau penyakit-penyakit yang disebabkan karena merokok. Aku rasa kita semua sudah tahu dan paham tentang hal itu. Biarlah jadi tugas ahli kesehatan untuk menjelaskan hal-hal semacam itu. Bapakku sendiri seorang perokok dan aku sebagai anak tidak pernah memberinya rokok karena aku tidak ingin meracuni Bapakku sendiri. Walau pun Beliau dengan sadar memilih tetap merokok. Setidaknya hal itu adalah bentuk kepedulianku terhadap Beliau. Karena hal itu aku punya sebuah keinginan untuk menciptakan lingkungan tempat tinggal yang jauh dari asap rokok. Lingkungan hidup yang sehat. Jujur aku tidak bisa melarang bapakku sendiri untuk merokok, karena aku tinggal di rumahnya. Tapi aku akan tetap berusaha.

Salah satu usahaku adalah menempel poster "Dilarang Merokok" di teras rumah dan sering juga memintanya untuk berhenti merokok. Tapi tetap saja bapakku tak mempedulikannya. Bahkan tamu-tamu yang sering datang ke rumah, entah itu tamu bapakku atau pun tamuku masih sering bertanya "Boleh merokok tidak mas ?". Padahal sudah dengan jelas mereka melihat ada poster "Dilarang Merokok". Aku, demi menghormati tamu sering kali aku membiarkan mereka merokok asalkan ketika sedang tidak ada adik-adikku atau keponakanku yang masih kecil. Aku tidak ingin adik-adikku yang masih kecil itu terjejali asap rokok di usia dini.

Aku heran dengan cara berpikir orang-orang. Ketika mereka bertamu sebagai tamuku, dan mereka melihat poster "Dilarang Merokok" itu, apakah mereka tidak berpikir untuk menghargai si tuan rumah ? Mereka malah bertanya dan meminta kelonggaran untuk merokok padahal mereka tahu si tuan rumah tidak suka dengan asap rokok, kecuali Bapakku. Hal-hal seperti ini tidak hanya terjadi di lingkungan rumah. Di tempat-tempat umum pun sering kali kita temui ketidakpedulian perokok terhadap lingkungan(misal disitu ada peraturan Dilarang Merokok) mereka masih tetap merokok. Bahkan kadang di transportasi umum, ada perokok yang tidak peduli dengan penumpang sebelahnya apakah mereka merasa terganggu dengan asap rokoknya. Tak bisakah kita sedikit menghargai hak-hak orang lain ?

Aku rasa kita semua sudah dewasa dan harusnya juga bisa berpikir dewasa.
Aku punya sebuah pemikiran, ini mungkin sebuah tawaran atau solusi sederhana untuk kita semua.
Aku sendiri sering berkumpul dengan para perokok di lingkungan mana pun. Dan aku tidak pernah melarang mereka merokok atau komplain soal asap rokok mereka walau kadang mereka secara sengaja menghembuskannya ke arahku. Atau bahkan mereka sering meledekku karena sebagai laki-laki aku tidak merokok. Sering kali aku hanya menanggapi ledekan mereka dengan bercanda. Aku selalu mencoba beradaptasi dan bertoleransi dengan lingkungan yang sedang aku kunjungi atau aku tempati(misal lingkungan perokok). Aku selalu berusaha menghargai dan menghormati hak mereka sebagai perokok. Sebaliknya, aku menginginkan hakku untuk menghirup udara bersih itu juga dihargai. Aku tidak menginginkan hal itu di tempat umum, tapi di rumah tempat tinggalku. Aku ingin tamu-tamu yang datang ke rumahku tahu dan mau bertoleransi untuk tidak merokok ketika sedang bertamu di tempatku. Aku sering kali sungkan untuk melarang mereka, makanya aku menempel sebuah poster "Dilarang Merokok". Dengan itu aku ingin teman-teman yang bermain atau bertamu ke rumah menyadari hal itu.  Ketika aku berkumpul di lingkungan perokok aku harus beradaptasi dengan mereka. Ketika Anda berkumpul di lingkungan bukan perokok, tolong bertoleransilah pada mereka.


Aku menulis catatan ini bukan untuk berdebat atau memprovokasi. Aku hanya ingin kita semua mau berusaha menciptakan lingkungan yang sehat, jauh dari asap rokok. Kalau pun kita ingin merokok, kita bisa merokok diluar atau di halaman rumah jauh dari jangkauan keluarga kita. Pikirkan kesehatan istri, anak-anak, atau orang tua kita yang tidak merokok. Perokok pasif lebih besar resiko terganggu kesehatannya bila sehari-hari berkumpul dengan perokok aktif.

Mari sama-sama kita semua belajar bertoleransi. Kita mulai dari hal-hal kecil seperti ini. Jika kita sudah bisa bertoleransi, saling menghargai dan menghormati hak-hak orang lain dalam hal kecil baru kita bisa belajar bertoleransi dalam hal-hal besar. Kita sering berbicara tentang toleransi beragama, berbudaya ataupun bernegara, tapi toleransi dalam hal kecil yang sering dihadapi sehari-hari malah kita sepelekan.
Mari sama-sama belajar. Sekecil apapun toleransi atau kebaikan yang kita lakukan akan berpengaruh memperbaiki keadaan semesta.

Salam beribu cinta...


Malam, 04/08/2015