Tentang
Teman Perjalanan
Ini tentang perjalananku ke Bromo pada libur lebaran lalu. Tulisan ini aku buat untuk mengabadikan kebaikan dua orang teman di perjalanan itu.
Cerita ini dimulai ketika aku berniat mendaki gunung Argopuro. Aku berangkat sendirian dari kota Solo menuju Probolinggo dengan naik kereta api Logawa. Setelah sekitar 8 jam perjalanan,akhirnya jam 5 sore kereta tiba di stasiun kota Probolinggo. Stasiunnya tidak terlalu besar,hanya ada dua kios warung makan yang ramai sore itu oleh para penjemput penumpang kereta. Tetapi letak stasiun itu sangat strategis berada di tengah kota Probolinggo,berhadapan dengan alun2 kota dan masjid agung. Aku keluar stasiun disambut oleh para tukang becak dengan logat bicara bahasa maduranya. Ada dua jenis becak yang digunakan di kota ini,yaitu becak kayuh dan becak motor. Tetapi aku tidak ingin menggunakan keduanya,aku lebih memilih menggunakan angkot untuk menuju pul bis Akas. Di dalam angkot aku bertemu dengan dua orang turis dari Italia yang mengajakku ngobrol sedikit. Mereka naik kereta yang sama denganku dari Surabaya,tujuan mereka ingin melihat keindahan pegunungan Bromo. Pertemuan dengan turis itu membuatku berpikir,mereka yang orang asing datang jauh-jauh ke Indonesia ingin melihat Bromo,sedangkan aku yang orang Indonesia sendiri malah belum pernah kesana. Aku jadi ingin melihat Bromo secara langsung,bukan Cuma di layar TV.
Ini tentang perjalananku ke Bromo pada libur lebaran lalu. Tulisan ini aku buat untuk mengabadikan kebaikan dua orang teman di perjalanan itu.
Cerita ini dimulai ketika aku berniat mendaki gunung Argopuro. Aku berangkat sendirian dari kota Solo menuju Probolinggo dengan naik kereta api Logawa. Setelah sekitar 8 jam perjalanan,akhirnya jam 5 sore kereta tiba di stasiun kota Probolinggo. Stasiunnya tidak terlalu besar,hanya ada dua kios warung makan yang ramai sore itu oleh para penjemput penumpang kereta. Tetapi letak stasiun itu sangat strategis berada di tengah kota Probolinggo,berhadapan dengan alun2 kota dan masjid agung. Aku keluar stasiun disambut oleh para tukang becak dengan logat bicara bahasa maduranya. Ada dua jenis becak yang digunakan di kota ini,yaitu becak kayuh dan becak motor. Tetapi aku tidak ingin menggunakan keduanya,aku lebih memilih menggunakan angkot untuk menuju pul bis Akas. Di dalam angkot aku bertemu dengan dua orang turis dari Italia yang mengajakku ngobrol sedikit. Mereka naik kereta yang sama denganku dari Surabaya,tujuan mereka ingin melihat keindahan pegunungan Bromo. Pertemuan dengan turis itu membuatku berpikir,mereka yang orang asing datang jauh-jauh ke Indonesia ingin melihat Bromo,sedangkan aku yang orang Indonesia sendiri malah belum pernah kesana. Aku jadi ingin melihat Bromo secara langsung,bukan Cuma di layar TV.
bersama pemuda-pemuda Bremi |
Malam pertama di Probolinggo aku
menginap di pul bis Akas,aku tidur di dalam bis. Paginya jam 6 bis yang akan
membawaku ke daerah Bremi berangkat. Bremi adalah sebuah desa di lereng gunung
Argopuro. Sesampainya di desa itu aku melapor ke kantor polisi Sektor Krucil
untuk keperluan mendaki gunung,tapi aku tidak diberi ijin karena aku hanya
seorang diri. Akhirnya aku hanya diberi ijin untuk camping di danau Taman
Hidup. Perlu waktu 4 jam untuk sampai di danau itu dengan berjalan kaki,aku
berjalan seorang diri. Sampai d danau aku bertemu dengan beberapa pemuda lokal
yang sedang berkemah dan memancing. Akhirnya aku menghabiskan malam keduaku
dengan berkemah di tepi danau Taman Hidup. Menikmati malam yang terang dengan
keindahan bintang-bintangnya. Bercengkrama dengan pemuda-pemuda lokal itu
ditemani api unggun dan kopi. Aku merasa menjadi orang asing disini,karena
mereka lebih sering berbicara dengan bahasa daerah Madura,tetapi keakraban
tetap terjalin.
Hari ketiga perjalanan,aku memutuskan untuk turun kembali ke kota Probolinggo. Mungkin memang pertemuanku dengan turis dari Italia itu adalah sebuah pertanda agar aku pergi ke Bromo. Setelah berdesakan di dalam bis yang sama ketika aku berangkat ke Bremi,akhirnya saat magrib aku sampai di terminal bis Bayu Angga Probolinggo. Tukang ojek menawarkan harga 100rb untuk perjalanan sampai pintu gerbang Taman Nasional Bromo Tengger Semeru(TNBTS). Itu bukan pilihan untuk pejalan dengan budget minim sepertiku. Setelah bertanya di pos polisi terminal aku berjalan menuju tempat elf biasa mangkal. Biasanya elf hanya beroperasi sampai jam 4 sore,tapi malam itu aku beruntung masih ada satu elf yang mangkal menunggu penumpang. Sopir menawarkan harga 30rb untuk tiap penumpang jika elf itu terisi penuh maksimal 15 orang. Saat itu baru 2 orang penumpang selain aku. Jika tidak ada penumpang lagi,sopir menawarkan harga carter untuk sampai ke TNBTS sebesar 450rb(musim libur lebaran),atau kami harus memilih menunggu sampai besok pagi di terminal. Aku pamit pada sopir untuk solat dulu di sebuah toko yang sekaligus mempuyai toilet umum dan musola,tapi aku heran karena untuk berwudhu dikenai tarif 2rb. Selesai solat aku bertemu dengan 2 penumpang elf yang lain,Bang Yofan dan Leo. Aku ceritakan tentang musola tadi,Leo yang non muslim berkata “masa mau ketemu Tuhan saja harus bayar?”, “ya itulah warna-warni Indonesia,hehe” balasku. Kemudian kami bertiga membahas soal elf,aku jujur pada mereka budgetku ke TNBTS dari Probolonggo ini hanya 100rb,aku lebih memilih menunggu sampai pagi daripada harus carter elf. Mereka berdua bisa memaklumi keadaanku. Bang Yofan menemui sopir elf untuk menawar harga. Dan akhirnya deal dengan harga 300rb. Aku diam sambil memandang mereka,lalu aku beranikan diri berkata “maaf,aku gak berani ikut karena terlalu mahak buatku”. Hening sejenak, lalu Bang Yofan bilang,”udah ayo ikut berangkat bareng kami,tidak usah dipikir soal biaya”. Aku kembali memandang mereka sambil mengucapkan terima kasih. Aku berpikir “Tuhan memang sengaja mempertemukan kami untuk menjadi teman perjalanan”,karena aku percaya tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Akhirnya malam itu kami berangkat,memembus jalan raya yang mulai sepi menuju pintu TNBTS di daerah Cemoro Lawang.
Hari ketiga perjalanan,aku memutuskan untuk turun kembali ke kota Probolinggo. Mungkin memang pertemuanku dengan turis dari Italia itu adalah sebuah pertanda agar aku pergi ke Bromo. Setelah berdesakan di dalam bis yang sama ketika aku berangkat ke Bremi,akhirnya saat magrib aku sampai di terminal bis Bayu Angga Probolinggo. Tukang ojek menawarkan harga 100rb untuk perjalanan sampai pintu gerbang Taman Nasional Bromo Tengger Semeru(TNBTS). Itu bukan pilihan untuk pejalan dengan budget minim sepertiku. Setelah bertanya di pos polisi terminal aku berjalan menuju tempat elf biasa mangkal. Biasanya elf hanya beroperasi sampai jam 4 sore,tapi malam itu aku beruntung masih ada satu elf yang mangkal menunggu penumpang. Sopir menawarkan harga 30rb untuk tiap penumpang jika elf itu terisi penuh maksimal 15 orang. Saat itu baru 2 orang penumpang selain aku. Jika tidak ada penumpang lagi,sopir menawarkan harga carter untuk sampai ke TNBTS sebesar 450rb(musim libur lebaran),atau kami harus memilih menunggu sampai besok pagi di terminal. Aku pamit pada sopir untuk solat dulu di sebuah toko yang sekaligus mempuyai toilet umum dan musola,tapi aku heran karena untuk berwudhu dikenai tarif 2rb. Selesai solat aku bertemu dengan 2 penumpang elf yang lain,Bang Yofan dan Leo. Aku ceritakan tentang musola tadi,Leo yang non muslim berkata “masa mau ketemu Tuhan saja harus bayar?”, “ya itulah warna-warni Indonesia,hehe” balasku. Kemudian kami bertiga membahas soal elf,aku jujur pada mereka budgetku ke TNBTS dari Probolonggo ini hanya 100rb,aku lebih memilih menunggu sampai pagi daripada harus carter elf. Mereka berdua bisa memaklumi keadaanku. Bang Yofan menemui sopir elf untuk menawar harga. Dan akhirnya deal dengan harga 300rb. Aku diam sambil memandang mereka,lalu aku beranikan diri berkata “maaf,aku gak berani ikut karena terlalu mahak buatku”. Hening sejenak, lalu Bang Yofan bilang,”udah ayo ikut berangkat bareng kami,tidak usah dipikir soal biaya”. Aku kembali memandang mereka sambil mengucapkan terima kasih. Aku berpikir “Tuhan memang sengaja mempertemukan kami untuk menjadi teman perjalanan”,karena aku percaya tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Akhirnya malam itu kami berangkat,memembus jalan raya yang mulai sepi menuju pintu TNBTS di daerah Cemoro Lawang.
Malam itu sekitar pukul 8 malam,
Cemoro Lawang masih ramai. Hiruk pikuk wisatawan yang baru tiba. Mobil-mobil
jeep yang mangkal. Pedagang-pedagang kupluk dan sarung tangan yang menyambut
para wisatawan dengan menawarkan dagangannya. Satu lagi, pedagang bakso malang
. Leo memesan 3 mangkok untuk kami, sangat cocok dalam udara dingin yang mulai
merambat. Aku ngobrol-ngobrol dengan pedagang bakso malang itu. Bertanya
tentang spot-spot yang bagus di Bromo, dan rute untuk pejalan kaki atau
treking. Setelah menghabiskan bakso malang sampai bersih,kami menuju pos
restribusi untuk membayar tiket masuk kawasan TNBTS. Setiap wisatawan lokal
dikenakan biaya masuk sebesar Rp 27.500,-. Lalu kami mencari tempat untuk
camping, Bang Yofan dan Leo membatalkan rencananya untuk menginap di hotel.
Mereka lebih memilih ikut aku bermalam dengan tenda. Ketika kutanya Leo kapan
terakhir camping, jawabannya adalah “saat Persami(perkemahan sabtu-minggu)
waktu SMA”, sontak kami tertawa bersama-sama..haha. Petugas loket menyarankan
kami untuk camping di area camping ground di belakang hotel Lava View. Berjalan
sekitar 10 menit ke arah kiri dari pintu gerbang Cemoro Lawang. Malam itu kami
membuka tenda di sebuah bukit. Menghabiskan malam dibalut udara dingin
pegunungan Bromo. Di depan tenda kami hotel berbintang yang megah,di dalamnya
pasti ada penghangat ruangan. Orang-orang berkantong tebal menginap
disana,banyak juga turis-turis asing. Aku seorang pejalan dengan budget
minim,bergelung dengan sleeping bag di dalam tenda. Di luar hujan gerimis
bersuara.
Kita tak pernah tau apa yang akan
kita temui dalam sebuah perjalanan. Aku hanya mengalir, melangkah kemana pun.
Bang Yofan dan Leo, sebelumnya kami tidak saling kenal. Bertemu tanpa sengaja
di sebuah terminal. Kini di TNBTS kami menghabiskan waktu bersama. Menikmati
segelas kopi hitam bergantian. Menanti matahari pagi di bukit Mentigan. Melihat
wajah-wajah asing yang tak aku kenal. Berjalan kaki di bawah terik matahari
yang menyengat melewati lautan pasir untuk ke puncak Bromo. Menempuh jalur
trekking untuk menuju puncak Pananjakan. Aku yakin hanya kami saat itu yang
berjalan kaki dari Cemoro Lawang ke Pananjakan. Kebanyakan orang menggunakan
jeep, mobil pribadi atau motor. Menginap di mushola,menahan dinginnya
Pananjakan semalaman. Bangun pagi untuk menanti sunrise dan lukisan alam Bromo
bersama wisatawn lainnya. Menjalin keakraban dengan wisatawan-wisatawan lain,
entah itu ibu-ibu, gadis tour guide, turis asing. Mendengarkan cerita tentang
suku Tengger dari seorang anak asli Tengger yang berdagang sarung tangan sambil
membawa kucingya yang gemuk dan lucu bernama Tuti.
Perjalananku ke Bromo memang penuh
dengan kejutan dari Tuhan. Bertemu teman perjalanan yang baik. Yang terus
mentraktirku sampai kami berpisah di alun-alun kota Probolinggo. Aku merasakan
ketulusan mereka. Pelukan persahabatan yang mereka berikan. Aku akan terus
mengingat kebaikan mereka. “maka nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan”,
Semua itu adalah garisNYA.
Leo-Bang Yofan-aku |