Aku teringat,
pernah ada seorang teman karib berkata padaku, “mbak, tapi kakakku gak sekolah (kuliah) lho.. dia Cuma mondok. Apa mbak Weni mau kenal ma dia?”.
Minder berkenalan (mengenalkan) karena “gak sekolah” ???!!!
pernah ada seorang teman karib berkata padaku, “mbak, tapi kakakku gak sekolah (kuliah) lho.. dia Cuma mondok. Apa mbak Weni mau kenal ma dia?”.
Minder berkenalan (mengenalkan) karena “gak sekolah” ???!!!
Hahahaha… ada ada aja. Sepertinya ada yang masih kurang “pas” dalam cara berfikir (pandang) masyarakat kita yang mempengaruhi “kepercayaan diri” seseorang.
Apa si artinya DERAJAT sekolah? Gak sekolah, sekolah tapi gak lulus, lulusan TK, SD, SMP, SMP, SMA, S1, S2,S3…. Begitu pentingkah tingkatan-tingkatan itu dipertanyakan dalam suatu hubungan pertemanan (atau hubungan personal apa pun)? Heuleh..heuleh.. kayak mau “ngelamar” kerja aja.
Mari kita telusuri lebih dalam.
Memang sekolah itu penting bagi orang-orang yang mau berpikir untuk mengembangkan dan menyalurkan pemikiran-pemikirannya.
Berpikir itu suatu keharusan.
Tapi untuk menjadi orang-orang yang berpikir gak harus di sekolah juga (lebih tepatnya: gak harus berkriteria memenuhi jenjang tertentu dengan bukti selembar ijazah).
Sekolah itu cuma salah satu cara. Orang yang kuliah pun belum tentu dia termasuk orang-orang yang berpikir.
Tinggal diri kita masing-masing memaknai sekolah itu sebagai apa, mau mengembangkan dan menyalurkan pemikiran-pemikiran kita melalui apa, sekolah kah? nyantri kah? atau langsung terjun ke masyarakat untuk belajar kehidupan (tanpa antara) ?
Dalam sudut pandangku, yang mengutamakan DERAJAT seseorang (lebih tepatnya KUALITAS diri) hanya dari ijazah (semata), mereka itulah manusia-manusia yang kurang berpikir (hehe.. maaf, pikiran kritis mulai kambuh).
Itu Cuma ideologi kelas “ebi” eh kelas “teri” yang ditanamkan (entah siapa yang menanam) melalui pemahaman yang salah mengenai pembeda tingkatan status sekolah (pada akhirnya tingkat status sosial).
Bagiku, esensi lebih penting dari sekedar cashing ;-) tidak memungkiri, cashing turut mendukung tapi bukan suatu “keutamaan”.
Cara berpikir dan pemikiran-pemikirannya, proses pendewasaan yang dilalui, kemauan untuk terus belajar memperbaiki diri (perbaikan dalam hal esensi hati dan pikir), kemauan untuk terus menggali dan mengusung makna dan manfaat kehidupan ini, bagiku itu semua yang lebih penting.. itulah sebuah esensi dari suatu “eksistensi kedirian” yang membedakan "kualitas diri" seseorang.
Sekali lagi, tingkatan sekolah hanya salah satu alat untuk mempermudah/membantu dalam pencapaian jenjang "keilmuan" sebagai sebuah proses yang bertahap.
Terakhir, aku tidak melirik tingkatan sekolah, tingkatan intelegensia, tingkatan kecantikan, tingkatan ketampanan, tingkatan kebaikan/keburukan sebagai sebuah "patokan" dalam memilih teman karena aku inigin memperbaiki diri dengan berteman dengan bermacam-macam orang agar ku semakin paham sekat-sekat "perbedaan" yang membelenggu kemuliaan sifat seseorang. semua yang ada di sekelilingku adalah "guru" bagiku (aku tidak berkata "pembimbing").
--Untuk Para Pencari Kualitas Diri--
"suara" 25 May 2011
Apa si artinya DERAJAT sekolah? Gak sekolah, sekolah tapi gak lulus, lulusan TK, SD, SMP, SMP, SMA, S1, S2,S3…. Begitu pentingkah tingkatan-tingkatan itu dipertanyakan dalam suatu hubungan pertemanan (atau hubungan personal apa pun)? Heuleh..heuleh.. kayak mau “ngelamar” kerja aja.
Mari kita telusuri lebih dalam.
Memang sekolah itu penting bagi orang-orang yang mau berpikir untuk mengembangkan dan menyalurkan pemikiran-pemikirannya.
Berpikir itu suatu keharusan.
Tapi untuk menjadi orang-orang yang berpikir gak harus di sekolah juga (lebih tepatnya: gak harus berkriteria memenuhi jenjang tertentu dengan bukti selembar ijazah).
Sekolah itu cuma salah satu cara. Orang yang kuliah pun belum tentu dia termasuk orang-orang yang berpikir.
Tinggal diri kita masing-masing memaknai sekolah itu sebagai apa, mau mengembangkan dan menyalurkan pemikiran-pemikiran kita melalui apa, sekolah kah? nyantri kah? atau langsung terjun ke masyarakat untuk belajar kehidupan (tanpa antara) ?
Dalam sudut pandangku, yang mengutamakan DERAJAT seseorang (lebih tepatnya KUALITAS diri) hanya dari ijazah (semata), mereka itulah manusia-manusia yang kurang berpikir (hehe.. maaf, pikiran kritis mulai kambuh).
Itu Cuma ideologi kelas “ebi” eh kelas “teri” yang ditanamkan (entah siapa yang menanam) melalui pemahaman yang salah mengenai pembeda tingkatan status sekolah (pada akhirnya tingkat status sosial).
Bagiku, esensi lebih penting dari sekedar cashing ;-) tidak memungkiri, cashing turut mendukung tapi bukan suatu “keutamaan”.
Cara berpikir dan pemikiran-pemikirannya, proses pendewasaan yang dilalui, kemauan untuk terus belajar memperbaiki diri (perbaikan dalam hal esensi hati dan pikir), kemauan untuk terus menggali dan mengusung makna dan manfaat kehidupan ini, bagiku itu semua yang lebih penting.. itulah sebuah esensi dari suatu “eksistensi kedirian” yang membedakan "kualitas diri" seseorang.
Sekali lagi, tingkatan sekolah hanya salah satu alat untuk mempermudah/membantu dalam pencapaian jenjang "keilmuan" sebagai sebuah proses yang bertahap.
Terakhir, aku tidak melirik tingkatan sekolah, tingkatan intelegensia, tingkatan kecantikan, tingkatan ketampanan, tingkatan kebaikan/keburukan sebagai sebuah "patokan" dalam memilih teman karena aku inigin memperbaiki diri dengan berteman dengan bermacam-macam orang agar ku semakin paham sekat-sekat "perbedaan" yang membelenggu kemuliaan sifat seseorang. semua yang ada di sekelilingku adalah "guru" bagiku (aku tidak berkata "pembimbing").