19 Desember 2014

Blora 2



Selepas isya aku akhirnya sampai di kota Blora. Berjalan kaki melewati pasar kota. Masih ada beberapa toko yang buka. Banyak juga penjual makanan di trotoar jalan. Menuju alun-alun kota, letaknya tak jauh dari pasar. Saat itu jalanan sangat ramai dan padat karena sedang ada Haul Sunan Pojok yang makamnya berada di selatan alun-alun. Banyak peziarah dari dalam ataupun luar kota yang datang. Sunan Pojok yang nama aslinya adalah Surobahu Abdul Rohim,beliau adalah perwira perang dari Mataram-Yogyakarta yang ditugaskan ke Tuban untuk melawan VOC. Dalam tugasnya beliau juga menyebarkan agama islam. Dalam perjalanan sekembalinya dari Tuban, beliau sakit dan akhirnya meninggal di Blora.

Suasana alun-alun kota ramai. Keasrian tempat ini mungkin membuat masyarakat senang berkunjung. Pedagang-pedagang juga tertata rapi, jadi tidak ada kesan semrawut. Aku menuju masjid raya kota Blora yang berada tepat di sebelah barat alun-alun. Bangunan luar masjid terlihat moderen. Tapi ketika kita masuk ke dalam, menapak ubinnya, melihat kusen pintu, dan menatap pilar-pilar beserta atap masjid, kita akan tau bahwa masjid ini benar-benar masjid yang sangat tua. Mungkin sudah mengalami berkali-kali renovasi, tetapi ada beberapa bagian yang tetap sengaja dibiarkan terlihat kuno.

Ada beberapa orang yang tidur di teras masjid. Dari barang bawaan yang mereka bawa, mungkin mereka adalah tunawisma. Bagi mereka masjid adalah pilihan teraman yang bisa mereka jadikan ‘rumah’ dikala malam. Mereka perlu tempat yang aman untuk mengistirahatkan raga dan pikiran setelah sehari yang berulang-ulang ke hari lain mereka bergelut dengan kehidupan di jalan.

Blora, bumi manusia. Di kota mana pun, di daerah manapun, permasalahan hidup pasti ada. Setelah melakukan kewajiban aku keluar masjid menuju alun-alun membaur di tengah hiruk pikuk masyarakat yang menikmati malam. Langit cerah tak ada mendung. Aku mampir ke sebuah warung tenda, semacam angkringan. Sudah ada beberapa pemuda dan seoarng bapak yang duduk di kursi panjang depan gerobak angkringan itu. Aku memesan segelas kopi pada ibu penjual.
“Kopi klothok satu Bu.” Pesanku.
“Iya mas.” Jawab ibu setengah baya itu.

Bapak tua di sebelahku juga sedang menikmati kopinya sambil sesekali menghisap rokok kreteknya. Penampilannya terlihat rapi, berkopyah putih dengan baju koko cokelat muda dan celana hitam bahan halus yang tersetrika. Sendal kulit yang dipakinya juga terlihat mewah, aku memperhatikannya. Kemudian Bapak itu menoleh padaku.
“Sendirian Nak?” tanya bapak itu,sambil membenarkan kopyahnya.
“Iya pak, Bapak juga sendirian?” aku balik bertanya sambil memberi senyum.
“Gak Nak, Bapak sama rombongan dari Semarang, sedang ikut acara Haul Sunan Pojok. Tapi Bapak lagi pengen istirahat nikmati suasana Blora,ngopi di angkringan ini.” Bapak itu menyeruput kopinya pelan.
“Ini mas kopinya.” Ibu penjual menyuguhkan segelas kopi panas.
“Matur suwun Bu.” Jawabku sambil menerima gelas kopi itu.
 
Aku mengambil dua bungkus nasi kucing dan setusuk sate telur puyuh. Makanan sederhana setiap kali dalam perjalanan, karena aku harus berhemat. Dan bagiku makan adalah sekedar memenuhi kebutuhan tubuh. Sederhana saja sudah cukup. Jika aku tidak bisa mengendalikan keinginan soal makan, mungkin kebutuhan makan itu akan berubah menjadi kebutuhan nafsu.
“Makan Pak?” Tawarku pada Bapak di sebelahku. Ya, itu memang sekedar basa-basi,adat menghormati orang di sekitar kita.
“Silahkan Nak.” Bapak itu masih menikmati rokok kretek dan kopinya, sambil sesekali terlibat obrolan dengan Ibu penjual.
Pemuda-pemuda yang di kursi kini turun menggelar tikar di trotoar, main kartu sekedar hiburan.
Makanan sederhana sudah cukup membuat perutku kenyang. Walau kadang ada keinginan untuk makan di sebuah resto atau pun kafe,tapi aku selalu merasa tidak nyaman berada di tempat seperti itu. Tempat-tempat seperti itu seolah menjual kepalsuan. Pelayan resto yang ramah di depan pengunjung, mungkin mengumpat-ngumpat soal pekerjaannya ketika di ruang loker. Koki-koki yang masakannya enak itu, mungkin juga memasak sambil berteriak marah  ke asistennya. Penjaga kasir yang selalu tersenyum ramah ketika kita membayar, mungkin saat tak ada pembeli dia mengomel tentang uang hilang atau kurang yang harus mereka ganti. Ya begitulah, aku pernah menjadi bagian dari kehidupan itu. Memang tak semua tempat seperti itu. Ada pelayan yang benar-benar mengantarkan makanan dengan ikhlas, koki-koki yang memasak dengan kecintaannya pada kuliner, penjaga kasir yang tetap tersenyum walau harus menanggung uang yang hilang. Mereka adalah orang-orang yang sadar akan tugasnya dalam hidup dan mensyukuri kehidupannya.

Tapi aku tetap lebih suka berada di tempat seperti ini. Berhadapan langsung dengan penjual, mendengarkan langsung obrolannya. Entah saat mereka suka ketika calon presiden jagoannya terpilih. Entah saat mereka marah ketika harga BBM naik. Entah ketika mereka menggerutu karena harga cabai kian mencekik. Setidaknya mereka tidak menutup-nutupi apa yang mereka rasakan. Mereka tidak memberikan senyum palsu. Mereka berani jujur walau dengan senyum getir dan gerutuan. Dan di tempat seperti ini aku juga merasakan tak ada batas diantara pembeli, semua berbaur, satu kursi, mungkin juga satu tikar. Bebas datang dengan pembawaan dirinya masing-masing. Bebas saling menyapa tanpa pandangan curiga.
“Rumahnya dimana Nak?” Bapak itu bertanya padaku.
“Solo Pak.” Jawabku singkat.
“Oh, disini bekerja?”
“Gak Pak, sedang main ke tempat kerja kakak.”
“Di Solo masih kuliah atau bekerja?”
  Kenapa selalu pertanyaan seperti ini yang kudapat? pikirku.
“Saya gak kuliah Pak, saya kerja dan main-main seperti ini menikmati hidup. Mencari pengalaman-pengalaman hidup di perjalanan pak.” Jawabku sambil bergurau.
“Pilihan yang tepat Nak.” Bapak itu tegas menatapku.
Aku terkejut mendengar kalimatnya, dan hanya diam sambil menyeruput kopi untuk menenangkan diriku.
Bapak itu melanjutkan, “Pengalaman hidup itu adalah pelajaran yang lebih berharga daripada pelajaran-pelajaran di bangku sekolah atau kuliah. Bapak hampir menghabiskan banyak waktu hidup bapak di bangku universitas, belajar dan kini mengajar. Banyak kepalsuan di tempat itu Nak.”
Aku hampir tak percaya, kalau memang Bapak ini seorang akademisi harusnya dia bangga dengan apa yang diraihnya.
“Tapi bukankah ilmu yang Bapak dapat dan ajarkan itu sangat berguna Pak?” tanyaku penasaran.
“Iya memang, tapi kau tak tau Nak?” tanyanya,
“Apa pak?” aku sama sekali tidak tau maksudya.
“Di dunia universitas sekarang, lebih banyak orang yang mengejar gelar daripada mengejar ilmu. Bahkan banyak yang menjadi plagiat dalam karya-karya ilmiah atau skripsinya Nak. Memang banyak juga yang benar-benar niat menuntut ilmu dengan cara yang semestinya. Dan hal lain, Guru-guru di sekolah atau dosen seperti bapak juga tidak sedikit yang mengajar dengan ogah-ogahan. Gaji sudah lebih dari cukup,tapi masih pada merasa kurang,beralasan biaya hidup dan menguliahkan anak semakin tinggi. Apa mereka tidak pernah melihat ke bawah, petani-petani atau buruh-buruh pabrik untuk menyekolahkan anaknya sampai tingkat SMA saja harus gali lubang tutup lubang. Kecuali guru-guru sekolah yang masih WB itu Nak, kasihan mereka. Hal-hal itulah yang membuat Bapak sedih. Mungkin memang harus seperti itulah keadaannya. Keseimbangan, baik-buruk, benar-salah akan selalu ada. Dan pendidikan memang sangat penting Nak, tapi tidak penting formal atau non formal, yang paling penting adalah pendidikan moral.” Bapak itu menghabiskan kopinya.
“Saya gak paham hal-hal seperti itu Pak.” Tukasku sambil tersenyum. Aku tak mau terlibat lebih jauh dalam obrolan yang tak kupahami.
Lalu Bapak itu membayar jajannya dan pamit padaku untuk kembali ke tempat Haul Sunan Pojok. Setelah Bapak itu pergi aku baru sadar, aku lupa tidak berkenalan ataupun sekedar bertanya dimana bapak itu mengajar. Itulah kebiasaan burukku, selalu asyik menikmati obrolan tanpa berkenalan.

Dari angkringan aku menghubungi kakakku. Saat kutelpon, ternyata malam ini dia sedang pulang ke Solo. Memang aku tidak memberi kabar sebelum berangkat kesini. Ini adalah kesalahanku. Aku tak punya teman di kota ini. Aku ingat beberapa tunawisma yang tertidur di masjid. Dan saat ini aku sama seperti mereka, tunawisma. Aku juga membutuhkan tempat untuk istirahat. Dan Dia adalah sebaik-baiknya peneduh bagi hambaNYA yang kesusahan.


(dari pengalaman ke Blora bulan lalu)