9 Desember 2014

Ruang Perpustakaan



"Dunia itu seperti buku. Jika tidak bepergian, kau hanya membaca satu halaman saja." (Gola Gong)

Sebuah truk menepi di depan terminal kota kecil. Rizki turun dari belakang bak truk pasir berwarna kuning itu. Dia mengarah ke kaca sopir lalu melambaikan tangan kanannya sambil berteriak,
“Terima kasih banyak Pak.” Teriakan pemuda itu membangunkan kenek truk yang tidur di kursi sebelah sopir.
Pak Sopir truk itu pun menurunkan sedikit kaca pintu truknya. Pak sopir dan kenek mambalas lambaian tangan Rizki sambil berucap,
“Sama-sama Nak, lembo ade.” Lalu jendela ditutup dan truk itu melanjutkan perjalanan.
Rizki hanya tersenyum memandangi truk yang kembali melaju itu.


Ini adalah perjalanan petualangan Rizki. Dia berangkat dari rumahnya di pulau seberang sekitar dua minggu yang lalu. Melakukan perjalanan darat, dengan kereta api, bis, angkot, bahkan truk. Dia singgah di beberapa kota yang dia lewati. Menikmati kota-kota yang baru pertama kali dia lihat. Rizki adalah pemuda yang tak lulus sekolah tingkat SMA, dia tak punya ijazah. Umurnya kini 20an tahun. Di tempat asalnya dia bekerja serabutan. Dari kuli pabrik, kerja di catering, cleaning service di mall, menjadi pelayan di toko kue, berjualan pakaian pernah dia jalani. Dan sekarang pekerjaan terakhirnya adalah sebagai tukang parkir di pasar dekat rumahnya.Dia masih terus mencari apa sebenarnya perannya di bumi ini. Terus mencari jalannya, berharap menemukan takdir sejatinya. Dengan pendidikannya yang pas-pasan, sejak tak lulus sekolah dia mulai suka membaca buku. Dia sering mendatangi perpustakaan umum di kotanya untuk meminjam buku secara gratis. Dia paling suka buku-buku tentang perjalanan atau petualangan, entah fiksi atau pun non fiksi. Tapi dia juga tak segan membaca buku-buku bertema lain. Di tempat asalnya, ketika libur bekerja dia suka bepergian bersama temannya atau kadang sendirian. Naik gunung, camping di pantai, atau sekedar bermain-main ke kota tetangga, nongkrong di alun-alun kota menikmati malam. Membaur bersama masyarakatnya. Itulah kegemarannya. Dan perjalanan ini sudah lama dia impikan. Ini adalah kali pertama perjalanannya keluar pulau. Bahkan dia sempat muntah-muntah di dalam kapal very penyeberangan. Pengalaman pertamanya naik kapal membuatnya mabuk laut. Kini dia berada di sebuah pulau yang baru pertama kali dia pijak. Melihat pemandangan alam yang berbeda. Mendengarkan bahasa daerah yang berbeda pula.


Rizki naik delman menuju alun-alun kota bersama beberapa penumpang. Dia merasakan hatinya berisi bermacam rasa, senang, semangat, kesepian, sedih, semua bercampur. Melihat-lihat suasana kota dan mendengarkan percakapan ibu-ibu yang sepertinya pulang dari belanja.
“Ini alun-alun Nak, turun disini ?” pak kusir memberi tahu Rizki.
“oh, iya pak disini saja.” Jawab Rizki sambil mengambil ransel hijaunya.
“Permisi Bu.” Sapa Rizki melewati penumpang lain untuk turun.
“Silahkan Nak.” Jawab salah satu ibu dengan ramah.
 
Rizki memandang alun-alun yang tidak terlalu luas itu. Lapangan hijau kecokelatan di tengahnya di kelilingi pohon-pohon yang sedikit kering karena musim kemarau. Pedagang-pedagang menjajakan makanan atau pun minuman di tepi jalan dengan gerobak dagangan dan kursi-kursi plastik.
Siang menjelang sore itu alun-alun belum begitu ramai. Hanya terlihat beberapa pasangan remaja dan kelompok orang yang jajan atau pun sekedar duduk-duduk. Rizki berjalan-jalan memutari alun-alun yang tak besar itu. Matanya tertuju pada sebuah gedung perpustakaan kota. Kakinya dengan pasti dia langkahkan kesana.


Rizki masuk ke gedung itu. Seorang petugas berada di belakang meja kerjanya yang berada di sebelah pintu masuk. Bapak tua berkaca mata dengan rambut yang mulai memutih. Berbaju batik dengan corak yang baru pertama kali Rizki lihat. Gambarnya seperti rumah panggung dengan atap kubah. “Mungkin itu batik khas daerah ini” pikir Rizki. Bapak itu sedang membaca koran. Rizki mendatanginya dan menyapanya.
“Selamat siang Pak.”
“Siang.” Bapak itu menjawab, sambil meletakkan koran ke meja. Dipandanginya Rizki lekat-lekat. Orang di depannya itu terlihat asing baginya. Pemuda dengan wajah hitam kemerahan tersengat matahari, jenggot yang sedikit mulai tumbuh, rambut panjang sebahu. Dengan baju motif kotak-kotak warna cokelat, celana panjang jeans kusam yang memiliki tambalan di bagian lutut kanannya, memakai sepatu yang kelihatan kotor, sambil menggendong ransel hijau berdebu.
“Ada yang bisa saya bantu ?” tanya bapak itu ke Rizki dengan tatapan menyelidik.
“Saya ingin melihat buku-bku disini pak, boleh kah ?” tanya Rizki berusaha menyembunyikan rasa tidak enaknya karena dipandangi dengan tatapan seperti itu.
“Tentu saja boleh, tapi isi buku tamu dulu. Dan tasnya ditaruh saja di dekat pintu.” Kata bapak itu sambil menunjuk sebelah pintu.
“Iya Pak, terima kasih.” Rizki mengambil buku tamu dan mengisinya, lalu menyerahkannya kembali ke Bapak penjaga perpustakaan.
Bapak itu terlihat kaget membaca buku tamunya. “Kamu berasal dari...” bapak itu menyebut sebuah kota yang berada jauh di seberang pulau.
“Iya Pak.” Jawab Rizki sambil tersenyum.
“Sedang apa di kota ini ?” Bapak itu mulai ramah.
“Sedang bepergian saja pak. Main, saya ingin melihat-lihat kota lain.” Rizki menjelaskan sekenanya.
“Dasar anak muda, masih kuliah atau sudah bekerja?” Bapak itu ingin tau lebih banyak.
Pertanyaan itu selalu membuat Rizki minder. Dalam perjalanannya ini dia sudah sering mengalami penilaiain jelek dari orang yang dia temui setelah mereka tau kalau Rizki tidak tamat SMA dan hanya bekerja sebagai tukang parkir. Tapi dia sudah mulai terbiasa dengan hal itu dan tidak ingin terlalu memikirkannya.
“Saya tidak kuliah Pak, bahkan tidak lulus SMA, saya bekerja.” Jawab Rizki sedikit acuh.
Bapak itu pun diam. Tiba-tiba Rizki punya sebuah pertanyaan, dia pun langsung bertanya ke bapak itu karena dia yakin bapak itu pasti bisa menjawabnya.
“Oia pak, boleh saya bertanya ?”
“Tentu saja boleh. Mau nanya apa ?” jawabnya sambil membenarkan kacamatanya.
“Kata lembo ade itu artinya apa pak ? selama perjalanan kesini saya sering mendengar kata itu diucapkan oleh orang-orang, bahkan pernah ditujukan ke saya juga.” Rizki meletakkan tas ranselnya.
“oohh...” bapak itu tersenyum,”begini, kata lembo ade itu seperti istilah atau bisa disebut kata bijak di daerah sini. Kata itu memiliki banyak makna yang sangat penting dan berharga bagi masyarakat disini. Lembo itu artinya luas, lapang, besar, tinggi, atau pun sabar. Sedangkan ade itu berarti hati atau bisa juga wibawa. Jika kata itu digabung, masyarakat disini memaknainya bisa berarti sabar, atau untuk memberi semangat, bahkan bisa juga diartikan sebagai doa atau harapan. Kata itu memiliki makna yang sangat dalam, mungkin sudah sejak nenek moyang dulu. Makanya kata itu sering diucapkan oleh masyarakat disini, mungkin sebagai bentuk kearifan lokal.” Jelas bapak itu.
“ooohhh, begitu pak.” Rizki mengangguk, mencoba memahami penjelasan itu. Lalu pamit untuk melihat-lihat buku.


Ruang perpustakaan itu hanya satu lantai. Sepi, tidak ada pengunjung yang datang.  Rak-rak berjajar rapi terisi buku-buku yang berdebu, kelihatan jarang dibersihkan. Di pojok-pojok ruangan terlihat sedikit jaring laba-laba yang menggantung. Cat dinding perpustakaan itu juga sudah mulai kusam. Ada beberapa kursi dan meja kosong yang juga berdebu. Rizki berjalan diantara rak-rak itu melihat-lihat buku disitu. Dia mengambil sebuah buku, judul buku itu aneh baginya, The Alchemist. Sampulnya juga menarik, gambarnya beberapa ekor domba dan seorang bersorban memegang burung elang yang mengepakkan sayapnya. Rizki duduk di sebuah kursi, dia terus memandangi buku itu, lalu membukanya. Debu yang berada dibuku itu menyatu dengan udara di depan wajahnya. Rizki membuka halaman demi halamannya, mambacanya secara acak. Rizki hanyut dalam bacaannya.


Dua jam kemudian.
Bapak penjaga perpustakaan menghampiri Rizki, duduk di kursi seberang mejanya. Bapak itu membuka percakapan.
“Apa kau merasakan buku-buku disini merasa kesepian ?” Tanya bapak itu dengan wajah muram.
“Saya tidak mengerti Pak, memang kenapa buku-buku disini merasa kesepian ?” tanya Rizki ke Bapak itu.
“Disini jarang ada yang menyentuh mereka, apalagi yang membuka halaman-halamannya untuk membaca.” Bapak itu mulai menjelaskan.
“Oh,kenapa itu menjadi hal yang menyedihkan buat mereka ?” Rizki mulai menanggapi percakapan dengan serius.
“Aku tau kau suka membaca, tapi apa kau tidak tau kalau buku juga memiliki tugas di dunia ini?” Bapak itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Memang apa tugas buku-buku itu ?” Rizki penasaran.
“Buku juga memiliki dharma, setiap buku akan merasa dia melakukan dharmanya dengan baik jika dibaca oleh manusia. Dan semakin banyak tangan yang membuka halaman demi halamannya, buku itu akan lebih bahagia. Sudah hampir setahun tidak ada yang membaca buku yang kau pegang itu Nak.” Bapak itu terlihat sedih.
“Oh begitu, kini aku mengerti kesedihan buku-buku ini, dan mungkin juga menjadi kesedihan Bapak.” Rizki mulai memahami.
“Minat baca di daerah masih sangat kecil Nak. Orang-orang kota memberi buku kesini sekedar memberi, tidak disertai dengan aksi yang berkelanjutan untuk meningkatkan minat baca di daerah. Memang di sekolah-sekolah kini juga banyak perpustakaan-perpustakaan, tapi anak-anak lebih menyukai permaianan-permainan online di warnet. Hanya sedikit yang menyukai buku. Apa yang salah dengan negara kita ini Nak?” Nada suara Bapak itu seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Rizki hanya terdiam mendengarkan.
“Di kota-kota besar, bahkan sekarang sudah merambah ke daerah-daerah kecil, setiap kali diselenggarakan pesta demokrasi yang mereka sebut pemilu selalu banyak kampanye-kampanye yang menghabiskan biaya berjuta-juta bahkan bermilyar-milyar. Demi untuk meraih jabatan-jabatan yang mereka inginkan. Bukankah mereka para intelek yang berpendidikan tinggi, dimana jiwa-jiwa mulia mereka ? Hilang ditelan zaman ? Negara ini pun mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk melancarkan pemilu itu. Bukankah lebih baik jika dana-dana itu digunakan untuk kampanye-kampanye meningkatkan minat baca ? Terutama di daerah-daerah kecil seperti disini ? Tidakkah mereka berpikir, ribuan buku-buku di negara mereka merana kesepian ?” keluhan Bapak itu kian bertambah.
 
Rizki masih tetap terdiam, bingung, melamun membayangkan nasib beribu-ribu buku yang kesepian.

Lalu Bapak itu berdiri.
“Nak, perpustakaan mau tutup, sudah jam setengah empat.” Bapak penjaga perpustakaan mengingatkan Rizki. Lalu meninggalkannya ke meja kerja di dekat pintu perpustakaan.
Rizki kaget oleh panggilan itu, buku di tangannya jatuh ke lantai. Dan dia pun tersadar dari lamunannya. Rizki masih memikirkan keluhan Bapak itu. Dia ambil buku itu dari lantai lalu menaruhnya ke rak.

Rizki berjalan ke depan ruang perpustakaan itu. Mengambil tas ranselnya, lalu menemui bapak penjaga perpustakaan.
“Pak, saya pamit dulu.” Rizki mencoba tersenyum.
“Melanjutkan perjalanan kemana Nak ?” tanya bapak itu sambil mengemasi tas kerjanya.
“Ingin ke desa Pancasila Pak.” Jawab Rizki sambil mengulurkan tangan.
“Lembo ade Nak.” Bapak itu menjabat tangan Rizki dengan senyuman ramah.
"Lembo ade Pak." Rizki membalas senyuman itu, lalu keluar perpustakaan. Melangkahkan kaki melanjutkan perjalanannya.

(SB-09/12/14)