Beberapa hari lalu aku dengan beberapa teman berkunjung ke
Astana Giribangun, tempat pemakaman keluarga presiden kedua Indonesia Bapak
Soeharto. Sebenarnya kami tidak ada niat untuk berziarah, Kami hanya main-main
setelah berkunjung dari Candi Sukuh, kebetulan kami semua belum pernah ke
Astana Giribangun, jadilah kami kesana sekedar ingin tahu seperti apa makam
presiden kedua negeri ini.
Sesampainya disana aku kagum, komplek pemakaman dibangun diatas sebuah bukit di area tanah yang sangat luas. Disediakan tempat parkir yang cukup luas juga. Setelah memasuki area Astana Giribangun aku tambah takjub, sama sekali tak terasa nuansa tempat pemakaman yang seperti biasa kulihat di desaku. Yang aku lihat malah sebuah bangunan yang menyerupai istana. Bangunan megah yang pastinya terbuat dari bahan-bahan pilihan. Aku tak habis pikir, ada makam yang seperti ini (jujur,baru pertama kali melihat makam semegah ini).
Sesampainya disana aku kagum, komplek pemakaman dibangun diatas sebuah bukit di area tanah yang sangat luas. Disediakan tempat parkir yang cukup luas juga. Setelah memasuki area Astana Giribangun aku tambah takjub, sama sekali tak terasa nuansa tempat pemakaman yang seperti biasa kulihat di desaku. Yang aku lihat malah sebuah bangunan yang menyerupai istana. Bangunan megah yang pastinya terbuat dari bahan-bahan pilihan. Aku tak habis pikir, ada makam yang seperti ini (jujur,baru pertama kali melihat makam semegah ini).
Aku berpikir, Pak Soeharto ini semasa hidupnya sudah duduk
di singgasana presiden Negara ini puluhan tahun. Keluarganya pun bergelimang
harta. Apakah beliau masih kurang puas dengan apa yang dimilikinya semasa hidup
? Sampai ketika meninggal pun keluarganya harus mempunyai makam yang layaknya
istana ? Ah, aku tak habis pikir. Bahkan hampir di tiap sudut di dalam bangunan
itu dipajang foto-fotonya yang disertai kata-kata biijaknya. Aku merasa
kata-kata bijak itu seolah hanya bualan saja, tidak sesuai dengan kenyataannya.
Mungkin untuk orang-orang yang mencintai tahta dan harta semasa hidupnya,
mereka merasa layak mendapatkan kemegahan ketika mati.
Aku ingin bercermin pada Astana Giribangun itu, untuk diriku
pribadi.
Bagiku, tak perlu lah bangunan makam semegah itu. Toh orang yang dikubur tak bisa melihatnya, pun tak bisa menikmati kemegahan bangunan kuburnya.
Bagiku, tak perlu lah bangunan makam semegah itu. Toh orang yang dikubur tak bisa melihatnya, pun tak bisa menikmati kemegahan bangunan kuburnya.
Ini wasiat untuk anakku.
"Anakku, kelak jika aku mati. Kuburlah aku dengan cara yang sederhana, sesederhana hidupku.
Hidupku yang terbiasa bekerja keras, berpeluh keringat.
Hidupku yang tak mengharapkan kemewahan dan kemegahan.
Hidupku yang berusaha berbahagia dengan cara sederhana.
Anakku, kelak jika aku mati,
Biarkan kuburku tetap terkena panasnya sinar matahari.
Biarkan kuburku tetap tersiram air hujan.
Biarkan tanah kuburku tetap terlihat.
Agar kelak jika kau berziarah ke kuburku.
Kau ingat dari mana asalmu."
"Anakku, kelak jika aku mati. Kuburlah aku dengan cara yang sederhana, sesederhana hidupku.
Hidupku yang terbiasa bekerja keras, berpeluh keringat.
Hidupku yang tak mengharapkan kemewahan dan kemegahan.
Hidupku yang berusaha berbahagia dengan cara sederhana.
Anakku, kelak jika aku mati,
Biarkan kuburku tetap terkena panasnya sinar matahari.
Biarkan kuburku tetap tersiram air hujan.
Biarkan tanah kuburku tetap terlihat.
Agar kelak jika kau berziarah ke kuburku.
Kau ingat dari mana asalmu."
00.41 , Kamis, 07 Mei 2015 (SB)