Aku ingin sedikit bercerita tentang suatu hal yang aku
peroleh dari perjalananku kemarin. Mungkin ini bukan sebuah pengalaman seru,
menarik ataupun menakjubkan. Tapi bagiku ini adalah pengalaman yang
mengesankan.
Minggu lalu aku beserta dua orang kawan berkunjung ke kota
Tasikmalaya. Menikmati udara dingin di gunungnya, sembari bermelankolis
memandangi city light kota itu dari ketinggian. Bercakap menciptakan keakraban
dengan warganya. Menyambung tali silaturahmi dan menambah saudara, sungguh
kebaikan dalam perjalanan yang tak terduga. Lalu berjalan-jalan di kota Tasik
yang rapi dan bersih.
Selama berjalan-jalan di kota inilah aku memperoleh
pengalaman melihat beberapa adegan kehidupan yang dipertontonkan Semesta
padaku. Adegan-adegan yang kulihat ini kurasa memiliki benang merah yang sama.
Saling terkait satu sama lain. Karena aku percaya sesuatu yang terjadi itu
tidak ada yang kebetulan, maka aku percaya Semesta memperlihatkan adegan-adegan
itu padaku agar aku belajar sesuatu dari situ.
Pertama, ketika aku dan kawan berjalan menuju Masjid Agung
Kota. Di trotoar jalan depan masjid ada
seorang ibu tua duduk, kepalanya ditutup kain untuk menghindari panasnya terik
matahari. Di depannya, seorang anak laki-laki yang mungkin berumur sekitar 5
tahun tertidur beralaskan sebuah kain. Entah itu anaknya atau cucunya,atau
siapanya aku tak tahu. Di depannya, lalu-lalang orang yang lewat, seolah tak
melihat keberadaan ibu dan anak itu. Termasuk diriku, yang hanya lewat berlalu
sambil melirik keadaan mereka. Aku merasa berdosa pada diriku sendiri. Sampai kami
tiba di masjid dan beristirahat. Aku berpikir, bodohnya aku mengabaikan
kesempatan untuk membalas kebaikan Semesta padaku selama ini. Pasti aku akan
menyesal dan merasa tidak tenang karena mengabaikannya. Akhirnya aku memilih
mengambil sebuah keputusan kecil.
Kedua, masih di sekitaran Masjid Agung. Ketika aku beristirahat
di serambi masjid besar dan megah itu. Masjid yang bersih dan terlihat rapi.
Banyak orang-orang yang memanfaatkan serambi dan halaman masjid itu untuk
beristirahat. Di halaman masjid, di sebelah pohon yang rindang duduk seorang
ibu dan anak laki-lakinya yang mungkin berumur 7 tahunan. Mereka duduk
membelakangiku yang berada di serambi masjid. Sehingga aku leluasa melihat
tanpa sepengetahuan mereka. Ibu itu membuka bungkusan plastik yang dibawanya.
Mengeluarkan isinya yang ternyata seragam sekolah SD putih-merah, terlihat
masih baru. Aku yakin ibu itu sehabis membelikan perlengkapan sekolah untuk
anak laki-laki yang duduk disebelahnya itu. Anak itu terlihat senang, sedang
mematut topi merah yang biasa untuk upacara di hari senin. Setelah itu dia
mematut topi pramukanya, lalu memberikannya pada ibunya sambil tersenyum. Aku
memberitahukan adegan itu pada Awan, kawan perjalananku. Awan ikut memandangi adegan
itu,lalu dia berucap “Aku kangen ibuku mas.” Awan memang akrab memanggilku
mas. Dia yang hidup merantau di ibukota sering merasakan kerinduan pada ibunya
yang berada jauh di Solo.
Ketiga, aku sudah berpisah dengan dua orang kawan
perjalananku. Mereka pulang ke tanah perantauannya. Sedangkan aku akan kembali
ke Solo dengan kereta api. Kereta masih
berangkat sekitar tengah malam. Aku menunggu di stasiun , duduk di kursi kayu
menyandarkan tubuh yang kelelahan dan mengantuk. Lalu datang tiga orang
keluarga kecil, laki-laki berambut gondrong dengan topi merah, menyandang tas
daypack Deuter warna biru. Perempuan berhijab hijau, dengan ransel
Deuter merah. Lalu seorang anak perempuan dengan tubuh yang lumayan padat, kulit
kehitaman dan berambut ikal, dia pun menggendong sebuah ransel kecil Deuter juga. Alamak, pikirku “ini benar-benar
keluarga pendaki atau traveller, apalah sebutannya.” Mereka mengambil tempat
duduk di depanku. Aku sedang tidak berminat membuka obrolan karena tubuh dan
pikiranku yang lelah. Mereka pun merasa asik satu sama lain. Perempuan,yang aku
yakin dia adalah seorang ibu itu mengobrol dengan anak perempuannya. Aku yang
duduk di belakannya, tanpa disebut 'nguping' pun aku mendengar obrolan mereka.
Dan menurutku itu sebuah obrolan yang manis, sungguh manis ditambah pelukan sayang
ibu itu ke anaknya, lalu menciumi keningnya. Laki-laki, yang aku yakin adalah
seorang ayah, dia memotret adegan itu, mungkin untuk mengabadikan kemesraan
istri dan anaknya, harta paling berharga yang dia miliki. Aku hanya membatin
dan berdoa dalam hati, semoga aku bisa merasakan hal seperti itu kelak. Aku yakin
Tuhan Maha Mendengar.
Dari semua hal yang aku lihat itu, jelas ada sebuah benang
merah yang mengaitkan peristiwa demi peristiwa. Aku yakin semua peristiwa itu
ingin menyampaikan pesan yang sama kepadaku. Ada beberapa hal yang kupikirkan
sejak melihat adegan-adegan itu.
Ketika aku menceritakan hal ini pada seorang teman, dia berpendapat “mungkin itu pertanda atau cerminan dirimu bahwa kamu ingin segera menikah, atau itu pesan agar kamu segera menikah.” Sambil tertawa temanku itu berucap, aku pun menanggapinya hanya dengan senyuman dan tertawa dalam hati sambil berucap “aamiin…”
Ketika aku menceritakan hal ini pada seorang teman, dia berpendapat “mungkin itu pertanda atau cerminan dirimu bahwa kamu ingin segera menikah, atau itu pesan agar kamu segera menikah.” Sambil tertawa temanku itu berucap, aku pun menanggapinya hanya dengan senyuman dan tertawa dalam hati sambil berucap “aamiin…”
Aku pribadi menanggapi adegan-adegan itu dengan pandangan yang berbeda. Aku
berpikir mungkin ini adalah pesan agar aku lebih mendekatkan diri pada
keluargaku, terutama ibuku.
“Ibuku yang pendiam. Ibuku yang selalu menungguku pulang dan meyiapkan masakan sederhananya untukku. Aku yang sering meninggalkan rumah untuk naik gunung ataupun sekedar bepergian ke kota-kota lain. Ibuku yang selalu merestui apapun yang kulakukan. Aku tak pernah bisa mengucapkan kata-kata indah “aku sayang ibu” atau “aku mencintaimu ibu” secara langsung. Aku memang pengecut yang hanya berani mengucapkan kata-kata lewat tulisan. Tapi hal-hal kecil yang sering kulakukan, mencium tanganmu setiap kali aku akan pergi, itu adalah bukti rasa sayangku. Ibuku yang aku tak tahu kapan ulang tahunnya, karena tidak ada tanggal lahir di KTPnya. Aku mencintaimu ibu. Mungkin sekarang aku harus lebih memperbanyak waktu untuk keluarga. Yang aku miliki hanyalah keluarga ini, aku merasa bahagia berada di tengah-tengah keluargaku."
“Ibuku yang pendiam. Ibuku yang selalu menungguku pulang dan meyiapkan masakan sederhananya untukku. Aku yang sering meninggalkan rumah untuk naik gunung ataupun sekedar bepergian ke kota-kota lain. Ibuku yang selalu merestui apapun yang kulakukan. Aku tak pernah bisa mengucapkan kata-kata indah “aku sayang ibu” atau “aku mencintaimu ibu” secara langsung. Aku memang pengecut yang hanya berani mengucapkan kata-kata lewat tulisan. Tapi hal-hal kecil yang sering kulakukan, mencium tanganmu setiap kali aku akan pergi, itu adalah bukti rasa sayangku. Ibuku yang aku tak tahu kapan ulang tahunnya, karena tidak ada tanggal lahir di KTPnya. Aku mencintaimu ibu. Mungkin sekarang aku harus lebih memperbanyak waktu untuk keluarga. Yang aku miliki hanyalah keluarga ini, aku merasa bahagia berada di tengah-tengah keluargaku."
ibu |
Setiap perjalanan pasti akan memberikan makna dan pelajaran
yang berharga. Tinggal bagaimana kita menyikapi perjalanan itu. Hal-hal
sederhana ini pun merupakan sebuah pelajaran berharga.
21/05/2015