21 Mei 2015

Tulisan Untuk Ibu



Aku ingin sedikit bercerita tentang suatu hal yang aku peroleh dari perjalananku kemarin. Mungkin ini bukan sebuah pengalaman seru, menarik ataupun menakjubkan. Tapi bagiku ini adalah pengalaman yang mengesankan.

Minggu lalu aku beserta dua orang kawan berkunjung ke kota Tasikmalaya. Menikmati udara dingin di gunungnya, sembari bermelankolis memandangi city light kota itu dari ketinggian. Bercakap menciptakan keakraban dengan warganya. Menyambung tali silaturahmi dan menambah saudara, sungguh kebaikan dalam perjalanan yang tak terduga. Lalu berjalan-jalan di kota Tasik yang rapi dan bersih.
Selama berjalan-jalan di kota inilah aku memperoleh pengalaman melihat beberapa adegan kehidupan yang dipertontonkan Semesta padaku. Adegan-adegan yang kulihat ini kurasa memiliki benang merah yang sama. Saling terkait satu sama lain. Karena aku percaya sesuatu yang terjadi itu tidak ada yang kebetulan, maka aku percaya Semesta memperlihatkan adegan-adegan itu padaku agar aku belajar sesuatu dari situ.

Pertama, ketika aku dan kawan berjalan menuju Masjid Agung Kota. Di trotoar jalan depan masjid  ada seorang ibu tua duduk, kepalanya ditutup kain untuk menghindari panasnya terik matahari. Di depannya, seorang anak laki-laki yang mungkin berumur sekitar 5 tahun tertidur beralaskan sebuah kain. Entah itu anaknya atau cucunya,atau siapanya aku tak tahu. Di depannya, lalu-lalang orang yang lewat, seolah tak melihat keberadaan ibu dan anak itu. Termasuk diriku, yang hanya lewat berlalu sambil melirik keadaan mereka. Aku merasa berdosa pada diriku sendiri. Sampai kami tiba di masjid dan beristirahat. Aku berpikir, bodohnya aku mengabaikan kesempatan untuk membalas kebaikan Semesta padaku selama ini. Pasti aku akan menyesal dan merasa tidak tenang karena mengabaikannya. Akhirnya aku memilih mengambil sebuah keputusan kecil.

Kedua, masih di sekitaran Masjid Agung. Ketika aku beristirahat di serambi masjid besar dan megah itu. Masjid yang bersih dan terlihat rapi. Banyak orang-orang yang memanfaatkan serambi dan halaman masjid itu untuk beristirahat. Di halaman masjid, di sebelah pohon yang rindang duduk seorang ibu dan anak laki-lakinya yang mungkin berumur 7 tahunan. Mereka duduk membelakangiku yang berada di serambi masjid. Sehingga aku leluasa melihat tanpa sepengetahuan mereka. Ibu itu membuka bungkusan plastik yang dibawanya. Mengeluarkan isinya yang ternyata seragam sekolah SD putih-merah, terlihat masih baru. Aku yakin ibu itu sehabis membelikan perlengkapan sekolah untuk anak laki-laki yang duduk disebelahnya itu. Anak itu terlihat senang, sedang mematut topi merah yang biasa untuk upacara di hari senin. Setelah itu dia mematut topi pramukanya, lalu memberikannya pada ibunya sambil tersenyum. Aku memberitahukan adegan itu pada Awan, kawan  perjalananku. Awan ikut memandangi adegan itu,lalu dia berucap “Aku kangen ibuku mas.” Awan memang akrab memanggilku mas. Dia yang hidup merantau di ibukota sering merasakan kerinduan pada ibunya yang berada jauh di Solo.

Ketiga, aku sudah berpisah dengan dua orang kawan perjalananku. Mereka pulang ke tanah perantauannya. Sedangkan aku akan kembali ke Solo dengan kereta api.  Kereta masih berangkat sekitar tengah malam. Aku menunggu di stasiun , duduk di kursi kayu menyandarkan tubuh yang kelelahan dan mengantuk. Lalu datang tiga orang keluarga kecil, laki-laki berambut gondrong dengan topi merah, menyandang tas daypack Deuter warna biru. Perempuan berhijab hijau, dengan ransel Deuter merah. Lalu seorang anak perempuan dengan tubuh yang lumayan padat, kulit kehitaman dan berambut ikal, dia pun menggendong sebuah ransel kecil  Deuter juga. Alamak, pikirku “ini benar-benar keluarga pendaki atau traveller, apalah sebutannya.” Mereka mengambil tempat duduk di depanku. Aku sedang tidak berminat membuka obrolan karena tubuh dan pikiranku yang lelah. Mereka pun merasa asik satu sama lain. Perempuan,yang aku yakin dia adalah seorang ibu itu mengobrol dengan anak perempuannya. Aku yang duduk di belakannya, tanpa disebut 'nguping' pun aku mendengar obrolan mereka. Dan menurutku itu sebuah obrolan yang manis, sungguh manis ditambah pelukan sayang ibu itu ke anaknya, lalu menciumi keningnya. Laki-laki, yang aku yakin adalah seorang ayah, dia memotret adegan itu, mungkin untuk mengabadikan kemesraan istri dan anaknya, harta paling berharga yang dia miliki. Aku hanya membatin dan berdoa dalam hati, semoga aku bisa merasakan hal seperti itu kelak. Aku yakin Tuhan Maha Mendengar.

Dari semua hal yang aku lihat itu, jelas ada sebuah benang merah yang mengaitkan peristiwa demi peristiwa. Aku yakin semua peristiwa itu ingin menyampaikan pesan yang sama kepadaku. Ada beberapa hal yang kupikirkan sejak melihat adegan-adegan itu.
Ketika aku menceritakan hal ini pada seorang teman, dia berpendapat “mungkin itu pertanda atau cerminan dirimu bahwa kamu ingin segera menikah, atau itu pesan agar kamu segera menikah.” Sambil tertawa temanku itu berucap, aku pun menanggapinya hanya dengan senyuman dan tertawa dalam hati sambil berucap “aamiin…”
Aku pribadi menanggapi adegan-adegan itu dengan pandangan yang berbeda. Aku berpikir mungkin ini adalah pesan agar aku lebih mendekatkan diri pada keluargaku, terutama ibuku.
“Ibuku yang pendiam. Ibuku yang selalu menungguku pulang dan meyiapkan masakan sederhananya untukku. Aku yang sering meninggalkan rumah untuk naik gunung ataupun sekedar bepergian ke kota-kota lain. Ibuku yang selalu merestui apapun yang kulakukan. Aku tak pernah bisa mengucapkan kata-kata indah “aku sayang ibu” atau “aku mencintaimu ibu” secara langsung. Aku memang pengecut yang hanya berani mengucapkan kata-kata lewat tulisan. Tapi hal-hal kecil yang sering kulakukan, mencium tanganmu setiap kali aku akan pergi, itu adalah bukti rasa sayangku. Ibuku yang aku tak tahu kapan ulang tahunnya, karena tidak ada tanggal lahir di KTPnya. Aku mencintaimu ibu.  Mungkin sekarang aku harus lebih memperbanyak waktu untuk keluarga. Yang aku miliki hanyalah keluarga ini, aku merasa bahagia berada di tengah-tengah keluargaku."

ibu
Setiap perjalanan pasti akan memberikan makna dan pelajaran yang berharga. Tinggal bagaimana kita menyikapi perjalanan itu. Hal-hal sederhana ini pun merupakan sebuah pelajaran berharga.


21/05/2015