Ini cerita tentang sebuah keluarga di desa yang asri. Padi-padi di sawah menguning saat musim panen tiba. Namun perlahan-lahan kini, sawah-sawah itu akan menjadi bangunan pabrik-pabrik. Industrialisasi memang selalu memberikan dua dampak, positif dan negatif. Positifnya tentu saja terbukanya lapangan kerja baru. Negatifnya adalah lahan pertanian berkurang. Dan minat bertani pemuda-pemudi generasi-generasi mendatang juga akan berkurang. Ada juga dampak polusi udara dan suara.
Di suatu malam, di rumah keluarga bahagia itu sedang tejadi
obrolan panas. Saat cahaya sudah terselimuti gelap. Saat suara serangga malam
mulai menyeruak. Adi, anak kedua dari keluarga itu sedang gelisah. Dia yang
baru lulus SMA ingin melanjutkan kuliah di bidang Pertanian karena cita-citanya
ingin menjadi petani. Namun kedua orang tuanya yang seorang PNS melarangnya.
Mereka memaksa Adi untuk memilih kuliah ke fakultas keguruan. Kakak
perempuannya yang juga sudah menjadi PNS hanya terdiam.
Bapak : “Kamu masuk saja ke FKIP, terserah mau ngambil
jurusan apa.”
Adi : “Tapi Pak, saya ingin melanjutkan ke Fakultas Pertanian, saya pengen jadi petani.”
Adi : “Tapi Pak, saya ingin melanjutkan ke Fakultas Pertanian, saya pengen jadi petani.”
Bapak : “Kamu ini anak ngeyel, cita-cita macam apa itu jadi
petani. Orang-orang pengen jadi guru, jadi dokter, jadi TNI, atau jadi pegawai
pemerintah. Kamu malah pengen jadi petani !”
Ibu : “Sudah nurut saja sama bapakmu nak, semua untuk kebaikanmu.”
Adi : “Pak, Bu, selama ini Adi sudah banyak nurut, sekarang Adi pengen melanjutkan kuliah ke hal yang Adi minati.”
Ibu : “Sudah nurut saja sama bapakmu nak, semua untuk kebaikanmu.”
Adi : “Pak, Bu, selama ini Adi sudah banyak nurut, sekarang Adi pengen melanjutkan kuliah ke hal yang Adi minati.”
Kemarahan Bapak semakin menjadi.
Bapak : “Kamu benar-benar ngeyel, kamu gak bakalan bisa sukses dengan bertani. Bakal miskin kamu seperti petani-petani desa itu !”
Adi mulai berani berbicara dan berargumen.
Adi : “Bapak ini seorang guru, tidak sepantasnya berbicara seperti itu. Ingat Pak, nasi yang ada di meja makan kita ini, yang kita makan setiap hari itu hasil jerih payah para petani.”
Bapak : “Kamu benar-benar ngeyel, kamu gak bakalan bisa sukses dengan bertani. Bakal miskin kamu seperti petani-petani desa itu !”
Adi mulai berani berbicara dan berargumen.
Adi : “Bapak ini seorang guru, tidak sepantasnya berbicara seperti itu. Ingat Pak, nasi yang ada di meja makan kita ini, yang kita makan setiap hari itu hasil jerih payah para petani.”
Bapak : “Jangan sok menceramahi Bapak, ingat siapa yang
bakal biayain kuliah kamu. Jangan melawan. Kamu masuk saja ke FKIP.”
Adi : “Pak, Adi gak minat jadi guru. Adi gak minat jadi PNS. Adi ingin berwirausaha dari bertani Pak. Siapa yang akan menggarap sawah warisan Kakek kalau bukan Adi ?”
Adi : “Pak, Adi gak minat jadi guru. Adi gak minat jadi PNS. Adi ingin berwirausaha dari bertani Pak. Siapa yang akan menggarap sawah warisan Kakek kalau bukan Adi ?”
Bapak : “Kamu gak usah garap sawah, belajar saja yang rajin.
Setelah lulus kita jual saja sawah warisan itu untuk biaya kamu supaya diterima
jadi PNS !”
Adi : “Bapak ini apa-apaan, Adi gak suka masuk PNS dengan cara seperti itu.”
Adi : “Bapak ini apa-apaan, Adi gak suka masuk PNS dengan cara seperti itu.”
Bapak : “Kamu manut saja sama Bapak, biar hidupmu enak
seperti kakakmu itu !”
Adi : “Pak, zaman sekarang sudah jarang ada pemuda yang mau bertani. Terus siapa yang bakal menjadi petani ? Siapa yang bakal menghasilkan beras untuk kita makan sehari-hari ?”
Adi : “Pak, zaman sekarang sudah jarang ada pemuda yang mau bertani. Terus siapa yang bakal menjadi petani ? Siapa yang bakal menghasilkan beras untuk kita makan sehari-hari ?”
Bapak : “Jangan kamu pikirkan soal itu, biar itu jadi urusan
Negara. Kamu pikirkan saja hidupmu sendiri biar sukses. Kalau kamu gak mau
nurut, biayai saja kuliahmu sendiri.
Ibu : “Pak, sudah pak. Jangan terlalu keras sama Adi.”
Kakak : “Sudahlah pak, biarkan Adi memilih jalannya, apa pun yang dia minati.”
Ibu : “Pak, sudah pak. Jangan terlalu keras sama Adi.”
Kakak : “Sudahlah pak, biarkan Adi memilih jalannya, apa pun yang dia minati.”
Adi : “Baiklah pak, Adi akan membiayai kuliahku sendiri.”
Suasana hening dan tegang. Adi masuk kamar dan mengemasi
pakaiannya. Bapak, Ibu dan Kakak masih duduk terdiam di meja makan.
Lalu Adi keluar dengan membawa tas ranselnya. Dia pamit untuk pergi ke Jogja mengejar impiannya untuk menjadi petani.
Sementara Bapaknya masih teguh dengan pendiriannya.
Ibu dan kakak Adi memeluknya sambil menangis.
Lalu Adi keluar dengan membawa tas ranselnya. Dia pamit untuk pergi ke Jogja mengejar impiannya untuk menjadi petani.
Sementara Bapaknya masih teguh dengan pendiriannya.
Ibu dan kakak Adi memeluknya sambil menangis.
Adi : “Adi pamit ibu, kakak, doain Adi bisa kuliah sambil
bekerja di Jogja.”
Ibu : “Kamu hati-hati nak, doa ibu selalu menyertaimu.”
Kakak : “Hati-hati Di.”
Ibu : “Kamu hati-hati nak, doa ibu selalu menyertaimu.”
Kakak : “Hati-hati Di.”
Itulah sedikit cerita, yang mungkin sangat jarang kita
temui. Negara yang dulu bangga menyebut diri sebagai negeri agraris, kini
seolah kehilangan jati dirinya.
Di zaman dan peradaban yang serba canggih seperti sekarang, masih adakah pemuda yang bercita-cita ingin menjadi petani ?
Semoga saja masih ada.
Di zaman dan peradaban yang serba canggih seperti sekarang, masih adakah pemuda yang bercita-cita ingin menjadi petani ?
Semoga saja masih ada.
Dini hari, 26/08/2015