17 November 2014

Arti Penting Sebuah Gelar (Paulo Coelho)



 Arti Penting Sebuah Gelar

Penggilingan tua milik saya terletak di sebuah desa kecil di Perancis, dijejeri pepohonan yang memisahkannya dengan pertanian di sebelah. Kemarin tetangga saya datang berkunjung. Umurnya pasti sudah sekitar tujuh puluh tahun. Kadang-kadang saya melihat dia dan istrinya bekerja di ladang, dan menurut pendapat saya sudah waktunya mereka pensiun.

Tetangga saya itu orang yang sangat menyenangkan, tetapi dia berkata kepada saya bahwa daun-daun dari pepohonan saya berguguran di atapnya dan saya sebaiknya menebang saja pohon-pohon itu.
Saya terkejut sekali. Bagaimana bisa orang yang sudah seumur hidupnya bekerja begitu dekat dengan Alam, meminta saya menebang pohon-pohon yang memerlukan waktu begitu lama untuk tumbuh, hanya karena sepuluh tahun mendatang pohon-pohon itu mungkin akan menimbulkan masalah pada atap rumahnya.

Saya undang dia minum kopi. Saya katakan bahwa saya akan bertanggung jawab sepenuhnya, dan seandainya suatu hari nanti daun-daun itu(yang tentunya akan hilang tertiup angin dan musim panas) benar-benar menimbulkan kerusakan, saya akan membayar ganti rugi kepadanya supaya dia bisa memasang atap baru. Tetangga saya berkata usulan itu tidak menarik minatnya, dia ingin saya menebang saja pohon-pohon itu. Saya menjadi agak marah, dan saya katakan bahwa lebih baik saya beli saja pertaniannya itu.
“Tanah saya tidak dijual,” sahutnya.
“Tapi dengan uang hasil penjualan itu, anda bisa membeli rumah bagus di kota dan menghabiskan masa tua anda disana bersama istri anda, anda tidak perlu lagi mengalami musim-musim dingin yang berat ataupun gagal panen.”
“Pertanian saya tidak untuk dijual. Saya lahir dan dibesarkan disini, dan saya sudah terlalu tua untuk pindah.”

Dia menyarankan saya memanggil seorang ahli dari kota, untuk menaksir situasinya dan mengambil keputusan, dengan demikian kami sama-sama tidak usah saling mendongkol. Bagaimanapun kami bertetangga.

Setelah dia pergi, reaksi spontan saya adalah mengecapnya sebagai orang yang tidak sensitif dan tidak mempunyai rasa hormat terhadap Bumi. Tetapi kemudian saya penasaran, Kenapa dia tidak mau menjual tanahnya ? Dan menjelang penghujung hari itu, saya sadari penyebabnya : seluruh hidupnya hanya berisi satu cerita, dan tetangga saya tidak mau mengubah cerita itu. Pindah ke kota berarti terjun ke dalam dunia yang masih asing baginya, dunia yang memiliki nilai-nilai berbeda, dan barangkali dia menganggap dirinya sudah terlalu tua untuk itu.

Apakah hanya tetangga saya yang mengalami hal seperti itu ?Tidak, saya pikir hal ini dialami setiap orang. Kadang-kadang kita begitu terikat pada cara hidup kita, sehingga kita menolak sebuah kesempatan yang sangat bagus, hanya karena kita tidak tahu mesti diapakan kesempatan itu. Dalam kasus tetangga saya, pertanian miliknya dan desa tempat tinggalnya adalah satu-satunya tempat yang dia kenal, dan dia tidak mau mengambil risiko-risiko apapun. Sedangkan mengenai orang-orang yang tinggal di kota, mereka semua meyakini bahwa mereka harus mengantongi gelar akademis, menikah, mempunyai anak-anak, menyekolahkan anak-anak mereka sampai menyandang gelar juga, dan seterusnya, dan seterusnya.Tidak ada yang bertanya pada diri sendiri, “Bisakah aku melakukan sesuatu yang beda?”.

Saya ingat, tukang cukur saya bekerja siang malam supaya anak perempuannya bisa lulus universitas dan memperoleh gelar. Akhirnya anak itu lulus, lalu mencari lowongan kerja kemana-mana, dan akhirnya mendapatkan pekerjaan sebagai sekretaris di sebuah pabrik semen. Tetap saja tukang cukur saya berkata dengan sangat bangga, “Anak perempuan saya punya gelar.”

Sebagian besar teman saya, dan sebagian besar anak-anak mereka, juga mempunyai gelar. Tetapi belum tentu mereka berhasil mendapatkan pekerjaan yang mereka inginkan. Sama sekali tidak. Mereka masuk universitas karena seseorang berkata,”pada masa-masa masuk universitas sangatlah penting, bahwa supaya mendapatkan tempat yang mapan di dunia, orang mesti mempunyai gelar.” Dengan demikian, dunia kehilangan kesempatan untuk memiliki orang-orang yang sebenarnya adalah tukang-tukang kebun yang hebat, tukang-tukang roti, pedagang-pedagang barang antik, pematung-pematung, dan penulis-penulis. Barangkali inilah saatnya untuk merenungkan kembali keadaan tersebut. Para dokter, insinyur, ilmuwan, dan pengacara memang perlu belajar di universitas, tetapi apakah setiap orang juga perlu berbuat demikian? Biarlah bait-bait puisi Robert Frost ini memberikan jawabannya:

Dua jalan bercabang di dalam hutan, dan aku....
Kupilih jalan yang jarang ditempuh,
Dan perbedaannya besar sungguh.

Itu sekedar penutup untuk cerita tentang tetangga saya. Juru taksir itu datang dan saya tercengang ketika dia memberitahukan bahwa menurut aturan hukum Prancis, sebatang pohon harus berjarak setidaknya tiga meter dari properti lain. Pohon-pohon saya jaraknya hanya dua meter, jadi semuanya harus ditebang.


(Seperti Sungai Yang Mengalir-Paulo Coelho)