5 November 2014

Kembang Perjalanan



  Siang yang terik di sebuah kota di bumi Pasundan. Aku berada di dalam bis antar kota yang masih berhenti menunggu penumpang datang. Beberapa hari ini pikiran dan perasaanku benar-benar terkuras oleh hal yang harus kuhadapi. Tubuh seakan remuk redam oleh perjalanan ini. Sinar matahari masuk dari kaca jendela bis membuat udara semakin panas. Kubasahi tenggorokanku yang kering dengan air mineral. Air adalah bagian dari surga dunia. Setiap makhluk hidup membutuhkan air. Tapi air di bumi semakin terkuras dan tercemari. Ah, beruntunglah aku masih bisa merasakan segarnya air bersih. Nikmat Tuhan.

   Di sebelahku duduk seorang perempuan muda, dengan jaket biru laut dan berkerudung hitam memangku tas ranselnya. Wajahnya bersih dan terlihat kalem. Mungkin tipikal perempuan sunda, batinku. Kami hanya sama-sama terdiam. Aku termangu tak berani menciptakan sebuah obrolan. Aku hanya bermain-main dengan pikiranku sendiri. Mungkin pengalaman yang kurang mengenakkan yang baru saja aku alami kemarin membuatku minder.
    Lalu seorang bapak tua berkemeja abu-abu dengan gitar yang terlihat sama tuanya masuk ke dalam bis. Rambutnya rata beruban, wajahnya hitam kemerahan tanda terlalu sering tersengat terik matahari. Aku memandanginya dengan seksama, tapi beliau tidak tau. Pikiranku bertanya-tanya, lagu apa gerangan yang akan dimainkannya ? Setelah mengucap salam dan memohon ijin pada penumpang untuk sedikit mengganggu, jari jemari yang mulai keriput itu mulai memetik senar gitarnya. Aku tercenung, tertawa dalam hati,senang demi mendengarkan alunan lagu Manusia Setengah Dewa yang dilantunkan bapak itu. Rasanya petikan gitar itu menjadi penyegar udara di dalam bis yang panas ini. Selesai satu lagu bapak itu melanjutkan dengan tembang Pohon Kehidupan, aku masih mendengarkan dengan antusias.
     Kini aku tak peduli lagi di sebelahku sedang duduk perempuan sunda yang cantik. Aku hanya terfokus mendengarkan harapan dan doa-doa yang didendangkan oleh seorang bapak tua yang hidupnya pasti sudah ditempa oleh kehidupan itu sendiri. Beliau melanjutkan dengan lagu Cemburu,
Setiap orang berharap hidupnya lebih baik
Dari hari ke hari
Dari waktu ke waktu
Setiap orang tak ingin hidupnya menderita
Tentu saja ingin bahagia, tak ingin terhina
........
Ingin bersyukur tapi tak semudah tutur
Ku jalani hidup, yang terasa hanya kewajiban saja
Cemburu pada samudera yang menampung segala
Cemburu pada sang ombak yang selalu bergerak

Aku merasa bis ini berubah menjadi ruang kelas
. Bapak pengamen itu adalah guru
 yang sedang memberi pelajaran pada sang murid. Aku adalah murid
 yang dipertemukan dengannya oleh garis kehidupan. Pelajarannya adalah tentang harapan, kita harus tetap mampu menjaga harapan-harapan walau bagaimanapun keadaan kita. Tentang kehidupan yang harus selalu bergerak, kita tak boleh diam dalam sebuah titik. Atau kita tak boleh terlena oleh keadaan yang kadang membuat kita lupa akan impian-impian kita. Dan tentang doa-doa yang harus selalu kita ucap,jangan pernah bosan. Karena Tuhan juga tidak akan pernah bosan mendengarnya.
Beliau menutup siang yang panas itu dengan lagu Doa. Kemudian mengucap salam dan terima kasih, sambil mengeluarkan bungkus permen bekas. Disodorkannya kepada para penumpang, senyum ramahnya tetap terkembang pada setiap penumpang yang memberi atau pun yang tidak.

   Siang yang panas ini sedikit terisi oleh kesegaran. Petikan gitar, lantunan lagu, harapan dan doa-doa tentang kehidupan. Bis mulai berjalan meninggalkan tempat mangkalnya. Membelah jalanan jalur lintas selatan bumi pasundan.