― Agustinus Wibowo, Garis Batas:
Hari ini tiba-tiba saja aku ingin pergi, ya pergi saja. Ingin kembali merasakan atmosfer jalanan. Mungkin Karena pengaruh dari banyaknya masalah yang sedang ada. Langsung ku packing ransel kecilku, sleeping bag yang paling penting kubawa. Entah akan tidur dimana, tak jadi soal. aku merindukan sebuah perjalanan, itu saja.
Aku menuju ke jalan raya, tujuanku kali ini adalah kota
Blora. Kota kecil di jalur pantura Jawa Tengah. Mungkin bagi kebanyakan orang
kota ini tak istimewa. Tapi bagi sebagian orang lain, Blora adalah kota yang
istimewa. Kota kelahiran sang penulis ternama, yang membuat Indonesia dikenal
bangsa-bangsa lain lewat dunia sastra. Pramoedya Ananta Toer terlahir di kota
kecil ini. Karya-karyanya tak lekang oleh waktu. Dibaca dari masa ke masa, oleh
generasi ke generasi.
Satu lagi keistimewaan kota Blora. Budaya ngopi di pedalaman
desanya. Dan kopi santan khasnya, itu yang membuatku ingin menjejakkan kaki ke
Blora.
Kulangkahkan kakiku menuju jalan raya. Ternyata bis jurusan
Blora sedang mogok beroperasi karena BBM naik. Hanya ada bis kecil sampai
daerah Gemolong, terpaksa aku naik. Bis berhenti dan aku langsung masuk ke
dalam. Dan ternyata di dalam berdiri seseorang yang aku kenal. Seseorang yang
pernah menjadi bagian dari kisah hidupku. Aku tak pernah menyangka kami bakal
dipertemukan di dalam bis ini. Di antara desak-desakan para penumpang, diantara
bau keringat ibu-ibu yang pulang dari pasar. Diantara bau parfum ibu-ibu
pekerja pabrik, diantara tawa pelajar-pelajar pulang sekolah yang saling
berebut tempat di dalam bis. Pertemuan yang tanpa terencana, tidak ada yang kebetulan, maktub. Entah apa maksud
Tuhan, yang pasti setiap pertemuan akan memberikan pelajaran. Kami pun saling
menyapa, walaupun dalam keadaan berdiri di dalam bis yang sesak,
“eh,gimana kabar ? baru pulang kerja ?” aku memulai percakapan.
“Iya, kamu sendiri mau kemana ? kuk gak kerja.” Dia masih seperti dulu, akrab.
“Aku bolos kerja, mau ke Blora. Gimana kabar suami dan anakmu ?” pertanyaan basa-basi yang sebenarnya tak ingin kutanyakan.
“oh,mau gak masuk kerja berapa hari? Ngapain ke Blora? Alhamdulillah keluargaku sehat. Kamu kapan mau nikah ?” dia mengakhiri pertanyaannya dengan senyuman,yang masih tetap sama seperti dulu.
“Cuma sehari, mau ke tempat kakakku, soal itu entahlah.” Aku menjawab sekenanya, lalu kami sama-sama terdiam.
Pikiranku masih bertanya-tanya,”apa maksud dari pertemuan ini?” Ah,mungkin hanya kebetulan belaka. Mungkin dia juga tidak terlalu memikirkan hal ini. Bis melaju dengan cepat, kenek dan beberapa pelajar bergelantungan di pintu bis. Lalu dia meminta pada kenek untuk berhenti di sebuah perempatan.
“aku turun duluan ya, kamu hati-hati.” Pamitnya padaku.
“iya, terimakasih.” Aku memandanginya turun bis, entah kapan kami bertemu lagi. Mungkin juga kami tidak akan bertemu lagi. Setiap kisah dalam hidup kita, pasti ada hikmahnya. Tergantung bagaimana kita menyikapinya.
“eh,gimana kabar ? baru pulang kerja ?” aku memulai percakapan.
“Iya, kamu sendiri mau kemana ? kuk gak kerja.” Dia masih seperti dulu, akrab.
“Aku bolos kerja, mau ke Blora. Gimana kabar suami dan anakmu ?” pertanyaan basa-basi yang sebenarnya tak ingin kutanyakan.
“oh,mau gak masuk kerja berapa hari? Ngapain ke Blora? Alhamdulillah keluargaku sehat. Kamu kapan mau nikah ?” dia mengakhiri pertanyaannya dengan senyuman,yang masih tetap sama seperti dulu.
“Cuma sehari, mau ke tempat kakakku, soal itu entahlah.” Aku menjawab sekenanya, lalu kami sama-sama terdiam.
Pikiranku masih bertanya-tanya,”apa maksud dari pertemuan ini?” Ah,mungkin hanya kebetulan belaka. Mungkin dia juga tidak terlalu memikirkan hal ini. Bis melaju dengan cepat, kenek dan beberapa pelajar bergelantungan di pintu bis. Lalu dia meminta pada kenek untuk berhenti di sebuah perempatan.
“aku turun duluan ya, kamu hati-hati.” Pamitnya padaku.
“iya, terimakasih.” Aku memandanginya turun bis, entah kapan kami bertemu lagi. Mungkin juga kami tidak akan bertemu lagi. Setiap kisah dalam hidup kita, pasti ada hikmahnya. Tergantung bagaimana kita menyikapinya.
Aku behenti di perempatan Gemolong, sebuah daerah yang tak
terlalu besar. Dari sini sudah tidak ada bis, Blora masih sekitar 80km. Langit
sore terlihat mulai gelap. Satu-satunya solusi adalah menumpang truk. Aku
mencoba dengan mengacungkan jempol pada truk-truk yang lewat. Beberapa truk
tidak merespon sama sekali dan tetap melaju kencang. Beberapa memberi tanda
menolak karena bak terisi muatan. Tapi akhirnya sebuah truk mau berhenti.
“numpang ke Blora boleh pak?” teriakku pada sopir truk.
“ayo naik saja, tapi Cuma sampai Purwodadi.”
“oke,gapapa pak.” Aku langsung naek ke dalam bak truk.
Truk ini mngkin habis mengantar genting, bekas pecahan-pecahannya masih tersisa. Aku bersyukur masih ada sopir truk yang baik hati dan peduli pada orang yang tak dia kenal di jalanan. Satu pelajaran aku dapatkan walau perjalanan baru dimulai.
“numpang ke Blora boleh pak?” teriakku pada sopir truk.
“ayo naik saja, tapi Cuma sampai Purwodadi.”
“oke,gapapa pak.” Aku langsung naek ke dalam bak truk.
Truk ini mngkin habis mengantar genting, bekas pecahan-pecahannya masih tersisa. Aku bersyukur masih ada sopir truk yang baik hati dan peduli pada orang yang tak dia kenal di jalanan. Satu pelajaran aku dapatkan walau perjalanan baru dimulai.
Sudah lama aku tidak melakukan perjalanan seperti ini.
Menumpang truk. Sampai di Purwodadi aku turun. Disini aku bertemu beberapa
pemuda yang pulang sekolah dan akan mencari tumpangan truk juga ke Blora.
Setelah beberapa saat menunggu dan bertanya ke beberapa truk yang berhenti saat
lampu merah. Akhirnya selepas maghrib kami mendapat tumpangan truk, lalu
beberapa orang bapak-bapak berlarian ingin ikut menumpang. Di dalam bak truk
aku mengobrol dengan salah satu dari bapak-bapak itu.
“Dari mana pak ?” tanyaku basa-basi untuk memulai, karena dalam perjalanan berusahalah menjadi orang yang terbuka.
“Pulang kerja mas. Lha sampean dari mana?” jawab bapak itu sambil menawarkan rokok.
Aku menolak rokoknya,karena memang aku tidak merokok.
“Kerja dimana pak? Saya dari Solo mau ke Blora pak.”
“Kerja bangunan di Solo mas.” Bapak itu menyulut rokoknya.
“Oh,lagi ada proyek di daerah mana Pak?” aku terus bertanya.
“Di kampus Sebelas Maret mas.” Hembusan asap rokok bapak itu menguap ke udara.
“Lha ini tadi sampai Purwodadi naik apa pak? Kan bis lagi pada mogok.” Tanyaku penasaran.
“Naik taksi dari terminal Solo mas.”
“Wah,berapa ongkosnya pak ?” aku tambah penasaran.
“270rb mas, enam orang, tadi bareng orang Semarang juga, ya mau gimana lagi mas, pengen pulang kangen rumah sama keluarga.” Bapak itu menghembuskan asap rokoknya lagi.
“iya pak,untung naik berenam ya pak.”
Truk terus melaju dalam jalanan yang gelap. Melewati perkebunan-perkebunan jati. Banyak jalan yang rusak, terasa dari guncangan truk. Obrolan kami terhenti, bapak itu asyik dengan rokoknya. Aku melamun dengan bermacam pikiran.
Bapak itu,hidupnya mungkin keras setiap hari. Bekerja dari satu proyek ke proyek bangunan lain. Kulitnya hitam terbakar matahari. Entah keluhan terucap atau tidak. Entah ucapan syukur keluar atau tidak dari mulutnya. Mungkin bagi bapak itu, dengan tetap menjalani kehidupannya yang seperti itu adalah sebuah ungkapan rasa syukur. Rasa syukur yang tak perlu terucap, tapi benar-benar dihayati. Aku teringat kakak laki-lakiku, aku teringat bapakku. Mereka pekerja keras yang mengungkapkan rasa syukur dengan perbuatan nyata, tetap menjalani hidupnya. Di dalam bak truk, mataku terasa sembab. Aku merasa menjadi manusia yang kurang bersyukur.
“Dari mana pak ?” tanyaku basa-basi untuk memulai, karena dalam perjalanan berusahalah menjadi orang yang terbuka.
“Pulang kerja mas. Lha sampean dari mana?” jawab bapak itu sambil menawarkan rokok.
Aku menolak rokoknya,karena memang aku tidak merokok.
“Kerja dimana pak? Saya dari Solo mau ke Blora pak.”
“Kerja bangunan di Solo mas.” Bapak itu menyulut rokoknya.
“Oh,lagi ada proyek di daerah mana Pak?” aku terus bertanya.
“Di kampus Sebelas Maret mas.” Hembusan asap rokok bapak itu menguap ke udara.
“Lha ini tadi sampai Purwodadi naik apa pak? Kan bis lagi pada mogok.” Tanyaku penasaran.
“Naik taksi dari terminal Solo mas.”
“Wah,berapa ongkosnya pak ?” aku tambah penasaran.
“270rb mas, enam orang, tadi bareng orang Semarang juga, ya mau gimana lagi mas, pengen pulang kangen rumah sama keluarga.” Bapak itu menghembuskan asap rokoknya lagi.
“iya pak,untung naik berenam ya pak.”
Truk terus melaju dalam jalanan yang gelap. Melewati perkebunan-perkebunan jati. Banyak jalan yang rusak, terasa dari guncangan truk. Obrolan kami terhenti, bapak itu asyik dengan rokoknya. Aku melamun dengan bermacam pikiran.
Bapak itu,hidupnya mungkin keras setiap hari. Bekerja dari satu proyek ke proyek bangunan lain. Kulitnya hitam terbakar matahari. Entah keluhan terucap atau tidak. Entah ucapan syukur keluar atau tidak dari mulutnya. Mungkin bagi bapak itu, dengan tetap menjalani kehidupannya yang seperti itu adalah sebuah ungkapan rasa syukur. Rasa syukur yang tak perlu terucap, tapi benar-benar dihayati. Aku teringat kakak laki-lakiku, aku teringat bapakku. Mereka pekerja keras yang mengungkapkan rasa syukur dengan perbuatan nyata, tetap menjalani hidupnya. Di dalam bak truk, mataku terasa sembab. Aku merasa menjadi manusia yang kurang bersyukur.