Barusan ngopi sama teman sambil ngobrol-ngobrol. Ada sebuah obrolan yang menarik bagiku.
Dia
bercerita tentang kakaknya yang baru saja melahirkan. Ketika aku tanya nama
keponakannya yang baru lahir itu, dia lupa namanya karena namanya lumayan
panjang, lalu dia mlah bertanya padaku.
- "Kang, kenapa orang zaman dulu
memberi nama anak-anaknya pendek misal kaya aku cuma Purwanto gitu ? Beda sama
orang-orang zaman sekarang, memberi nama anak-anaknya panjang-panjang."
Aku
terdiam, ngopi dulu sambil mikir. Hal itu memang benar, orang zaman
dulu memberi nama anaknya pendek-pendek, orang zaman sekarang panjang. Aku
yakin semua memberi nama anaknya dengan arti yang baik. Tak mungkin orang tua memberi nama anaknya dengan arti yang jelek. Akhirnya aku punya
sebuah jawaban.
+ "Memang sekarang banyak hal semacam itu, kalau kita
mau memikirkan hal itu lebih jauh,mungkin itu sebuah cerminan kehidupan
zaman dulu dengan zaman sekarang, orang zaman dulu memberi nama anaknya
pendek, itu cerminan kehidupan mereka yang sederhana. Orang zaman sekarang
memberi nama anaknya panjang, itu mungkin cerminan kehidupan orang
zaman sekarang yang suka berlebihan. Tapi mau nama panjang atau pendek, yang
penting arti dan maksudnya bagus. Toh nanti kita akan memanggil anak kita
paling dengan satu kata/nama juga kan. Jadi menurutku lebih baik memberi nama
anak kita tidak usah panjang-panjang. Pikir lebih jauh lah, itu akan merepotkan anak
kita sendiri kelak, mungkin."
Ya, itu hanya sebuah pendapat menurut pemikiran sederhanaku. Kita semua bebas memilih mau memberi nama anak dengan pendek atau panjang. Yang penting adalah bagaimana kita mendidik anak kita kelak.
Lanjut ngopi....
"Setiap perjalanan adalah kelahiran. Setiap catatan adalah mozaik diri kita. Dan biarkan setiap kata menemukan takdirnya."
Perjalanan Halaman
29 September 2015
22 September 2015
Kaum Buruh
Kehidupanku tak bisa lepas dari profesi buruh. Suka atau tidak, inilah hidup yang harus aku lewati. Tulisan ini aku dedikasikan untuk semua kawan-kawan kaum buruh yang pernah aku kenal dalam hidupku dan juga yang tidak pernah aku kenal.
Semangat baik....
Semangat baik....
Kaum Buruh
Hei kaum buruh...
Pagi kau kepalkan tekad
Untuk memutar roda hidup
Pagi kau kepalkan tekad
Untuk memutar roda hidup
Hei kaum buruh…
Terkadang siang kau jadikan malam
Untuk tetap membanting tulang
Terkadang siang kau jadikan malam
Untuk tetap membanting tulang
Hei kaum buruh…
Kau pekerja keras
Dalam kehidupan yang semakin memanas
Kau pekerja keras
Dalam kehidupan yang semakin memanas
Hei kaum buruh…
Kau disanjung
Sebagai penyangga ekonomi negeri
Tapi kesejahteraanmu terlupakan
Dilupakan…
Kau disanjung
Sebagai penyangga ekonomi negeri
Tapi kesejahteraanmu terlupakan
Dilupakan…
Hei kaum buruh…
Teruslah bekerja untuk kehidupan
Tak usah pedulikan janji-janji
Tak usah harapkan pemerintah negeri ini
Teruslah bekerja untuk kehidupan
Tak usah pedulikan janji-janji
Tak usah harapkan pemerintah negeri ini
14/09/2015
"Semangat kerja adalah daya hidup. Dan jika orang tidak suka bekerja, sebenarnya dia sedang berjabatan tangan dengan maut." (Pramoedya Ananta Toer)
"Semangat kerja adalah daya hidup. Dan jika orang tidak suka bekerja, sebenarnya dia sedang berjabatan tangan dengan maut." (Pramoedya Ananta Toer)
15 September 2015
Suara Angin
Matahari mulai condong ke barat. Tapi teriknya masih terasa
menyengat. Para pekerja mulai berantrian keluar dari gerbang pabriknya.
Terlihat wajah-wajah lelah setelah berpeluh keringat. Tapi dibalik wajah-wajah lelah
itu terselip keceriaan. Rasa ceria atas sebuah kerinduan pada rumah. Merindukan
anak, istri, atau suami. Setiap hari rutinitas itu berjalan. Setiap hari lelah
demi lelah dilalui. Setiap hari kerinduan demi kerinduan ditambal sulam. Kaum
pekerja yang selalu berusaha bersemangat menjalani kehidupannya. Walau tak bisa
dipungkiri hari-harinya dibalut dengan keluhan-keluhan, entah tentang
permasalahan hidup yang mana. Sudah menjadi kodrat manusia tak bisa lepas dari
mengeluh. Tapi mereka juga selalu berusaha tak lepas dari rasa syukur.
Motor-motor mulai dinyalakan. Suara bisingnya masuk ke semua
telinga. Debu-debu dari lantai parkiran pun terangkat menyatu dengan udara. Terhirup
masuk oleh hidung sampai ke paru-paru. Masker digunakan untuk sedikit
mengurangi polusi udara yang terhirup. Hanya ada satu sepeda yang bersandar di
tembok parkiran. Ya, itu sepedaku. Hanya aku sendiri yang bersepeda di pabrik
ini. Semua memilih menggunakan sepeda motor. Aku tak peduli orang berpikir apa
tentangku. Sepeda bukan hanya sekedar hobi atau gaya hidup bagiku. Aku berusaha
menjadikan sepeda sebagai bagian dari hidupku. Jalan hidup.
Aku mulai mengayuh sepedaku. Keluar gerbang pabrik, naik ke
aspal jalanan, diantara sepeda motor yang saling berebut untuk duluan.
Kendaraan lain seperti bus, truk, mobil pribadi juga ikut dalam kompetisi jalan
raya ini. Semua seolah ingin saling mendahului. Seolah-olah mereka berlari
mengejar waktu. Melihat kendaraan-kendaraan di jalan raya dari atas sepeda, aku
berpikir “manusia ingin menjalani waktu secepatnya
dan terburu-buru”. Kadang ketika bekerja aku juga merasa ingin waktu kerja
segera selesai. Itu pun bagian dari pikiran manusia yang ingin menjalani waktu
secepatnya. Menginginkan waktu segera berlalu. Bukankah dengan berpikir seperti
itu berarti aku sama saja menginginkan segera mendekat pada waktu kematian ?
Karena semakin cepat waktu berlalu, semakin cepat kehidupan dijalani, berarti
kita semakin dekat pada kematian. Apa yang sudah aku siapkan untuk menyambut
kematian ? Ah, bekalku masih sangat kurang. Baiklah, aku harus mulai belajar
menjalani waktu dengan sebaik-baiknya. Sekarang tak perlu lagi menginginkan
waktu segera cepat berlalu. Tak perlu terburu-buru seolah-olah kita bisa
mengejar waktu.
Aku kayuh pedal sepedaku pelan-pelan. Melewati jalan aspal
yang bergelombang. Melewati padatnya jalan di depan pabrik rokok yang seperti
pasar tumpah. Penjual-penjual sayuran dan kebutuhan pokok lainnya berjualan
tepat di tepi jalan. Aku berhenti sejenak memberi kesempatan pada ibu-ibu
pekerja pabrik rokok untuk menyebrang. Colt elf dan bus yang mangkal membuat
jalanan macet. Mereka menunggu rezeki yang datang dengan perantara para pekerja
pabrik yang akan menggunakan jasanya. Semua dalam hidup ini memang saling
berkaitan. Seperti ada benang merah tak kasat mata yang mengaitkan kehidupan
satu sama lain. Setelah sekitar lima belas menit bersepada, aku sampai di
rumah.
Setiap hari sepulang kerja. Setiap sore selepas menjalankan
ritual ketaatan. Kegiatanku adalah bersih-bersih rumah orang tuaku. Menyapu
luar dan dalam. Sekarang musim kemarau masih berjalan. Hampir setiap siang
sampai sore angin berhembus menerbangkan debu-debu dan daun-daun kering. Setiap
hari aku harus berhadapan dengan angin saat menyapu halaman rumah. Kadang
amarahku muncul ketika harus menyapu melawan arah angin. Atau ketika menyapu
tiba-tiba angin berhembus, kembali membuat halaman berantakan.
Sore ini saat aku harus kembali menghadapi hal itu, aku mencoba menggunakan
kegilaanku untuk berbicara dengan angin. Karena kadang kita perlu kegilaan
untuk menemukan sebuah kewarasan.
“Hei angin, kenapa kau selalu datang menggangu pekerjaanku ?” tanyaku sambil berkacak pinggang dan sapu teracung ke atas.
Tenang. Tenang beberapa saat. Lalu terasa angin berhembus. Dan terdengar sebuah suara.
“Kau merasa terganggu dengan kehadiranku ?” angin bersuara menjawab pertanyaanku.
Aku kaget, ternganga. Sapuku akhirnya terjatuh. Aku diam. Diam. Aku mengumpulkan keberanian untuk menjawab.
“Iya, kau selalu menggangguku setiap hari.” aku menjawab dengan ucapan yang sedikit gugup.
Angin kembali berhembus. Daun-daun yang kusapu kembali berserakan.
“Aku selalu hadir bukan bermaksud mengganggumu, tapi aku bermaksud memberimu pelajaran. Kenapa kau tidak mengerti ? Apa rasa irimu terhadapku membuatmu luput memahami kehadiranku ?” hardik angin padaku.
Aku tertegun mendapat pertanyaan yang menohok itu. Aku akui selama ini aku iri pada angin. Ternyata angin tahu hal itu.
“Ya, aku memang iri padamu. Kau bebas terbang kemanapun, ke segala penjuru arah sesukamu.” aku tertunduk mengakui hal itu.
“Aku memang diberi kebebasan oleh Maha Pencipta untuk terbang kemanapun aku suka. Aku juga diberi kesempatan untuk memberi kesegaran kepada manusisa di saat mereka kegerahan. Bahkan aku diberi kepercayaan untuk berperan dalam terciptanya hujan. Dan aku terkadang juga diberi amanat untuk menyampaikan teguranNYA. Aku berperan dalam terciptanya musibah. Tak perlu kau iri padaku atas semua hal itu. Kita mempunyai peran masing-masing di dalam kehidupan.” Angin mulai berbicara panjang lebar. Semilir hembusannya yang lembut kini terasa menyejukkan. Aku merasa tidak terganggu lagi oleh kehadirannya. Pikiranku bertanya-tanya, ”Lalu apa peranku dalam kehidupan ini ?”. Aku ingin menanyakannya kepada angin, tapi kuurungkan niat itu. Akan aku cari sendiri jawabannya.
“Lalu apa yang bisa aku pelajari darimu wahai angin ?” tanyaku penasaran.
Angin kembali berhembus lembut.
“Kau ingat setiap kali menyapu melawan arah angin ? Debu-debu dan daun kering yang susah payah kau sapu akan kembali berantakan ke belakang. Tapi meskipun demikian kau tetap menyapu, pelan-pelan sampai selesai dan halaman rumahmu bersih. Dari situ sebenarnya kau sedang belajar tentang kesabaran dan tekad.”
Suasana tenang, hening tak ada angin. Aku mengangguk pelan. Aku baru menyadari hal itu. “Hal sepele seperti itu ternyata menyimpan pelajaran berharga tentang kesabaran dan tekad.” pikirku.
Lalu kembali terasa angin berhembus dari belakangku. Kembali terdengar sebuah suara.
“Setiap kau selesai menyapu, rumah dan halamanmu sudah bersih. Sesaat kemudian aku akan datang berhembus dan mengotorinya lagi dengan debu-debu dan kotoran yang aku terbangkan. Ambillah hikmah dari hal itu. Dalam hidup, sebagai manusia kau tidak bisa luput dari berbuat salah dan dosa. Kau akan berusaha untuk memperbaikinya, tapi suatu kali kau akan kembali melakukan sebuah kesalahan atau dosa lagi. Itu sudah kodratmu sebagai manusia. Kau jangan lantas berhenti menyapu halaman rumahmu setiap hari. Dan membiarkan debu-debu, daun-daun kering, dan kotoran lainnya menumpuk. Begitupun dengan hidupmu, kau jangan pernah berhenti memperbaiki diri, walau pun kesalahan dan dosa akan kembali kau perbuat. Yang paling penting adalah terus memperbaiki diri. Jangan biarkan kesalahan dan dosa menumpuk di dirimu. Jika kau kembali kotor, bersihkan lagi. Perbaiki diri lagi dan lagi. Seperti itu terus sampai kau tiba pada waktu kematianmu.” suara itu perlahan menjauh. Angin berhembus kencang, debu-debu terangkat. Lalu hembusannya hilang terbang ke langit.
“Hei angin, kenapa kau selalu datang menggangu pekerjaanku ?” tanyaku sambil berkacak pinggang dan sapu teracung ke atas.
Tenang. Tenang beberapa saat. Lalu terasa angin berhembus. Dan terdengar sebuah suara.
“Kau merasa terganggu dengan kehadiranku ?” angin bersuara menjawab pertanyaanku.
Aku kaget, ternganga. Sapuku akhirnya terjatuh. Aku diam. Diam. Aku mengumpulkan keberanian untuk menjawab.
“Iya, kau selalu menggangguku setiap hari.” aku menjawab dengan ucapan yang sedikit gugup.
Angin kembali berhembus. Daun-daun yang kusapu kembali berserakan.
“Aku selalu hadir bukan bermaksud mengganggumu, tapi aku bermaksud memberimu pelajaran. Kenapa kau tidak mengerti ? Apa rasa irimu terhadapku membuatmu luput memahami kehadiranku ?” hardik angin padaku.
Aku tertegun mendapat pertanyaan yang menohok itu. Aku akui selama ini aku iri pada angin. Ternyata angin tahu hal itu.
“Ya, aku memang iri padamu. Kau bebas terbang kemanapun, ke segala penjuru arah sesukamu.” aku tertunduk mengakui hal itu.
“Aku memang diberi kebebasan oleh Maha Pencipta untuk terbang kemanapun aku suka. Aku juga diberi kesempatan untuk memberi kesegaran kepada manusisa di saat mereka kegerahan. Bahkan aku diberi kepercayaan untuk berperan dalam terciptanya hujan. Dan aku terkadang juga diberi amanat untuk menyampaikan teguranNYA. Aku berperan dalam terciptanya musibah. Tak perlu kau iri padaku atas semua hal itu. Kita mempunyai peran masing-masing di dalam kehidupan.” Angin mulai berbicara panjang lebar. Semilir hembusannya yang lembut kini terasa menyejukkan. Aku merasa tidak terganggu lagi oleh kehadirannya. Pikiranku bertanya-tanya, ”Lalu apa peranku dalam kehidupan ini ?”. Aku ingin menanyakannya kepada angin, tapi kuurungkan niat itu. Akan aku cari sendiri jawabannya.
“Lalu apa yang bisa aku pelajari darimu wahai angin ?” tanyaku penasaran.
Angin kembali berhembus lembut.
“Kau ingat setiap kali menyapu melawan arah angin ? Debu-debu dan daun kering yang susah payah kau sapu akan kembali berantakan ke belakang. Tapi meskipun demikian kau tetap menyapu, pelan-pelan sampai selesai dan halaman rumahmu bersih. Dari situ sebenarnya kau sedang belajar tentang kesabaran dan tekad.”
Suasana tenang, hening tak ada angin. Aku mengangguk pelan. Aku baru menyadari hal itu. “Hal sepele seperti itu ternyata menyimpan pelajaran berharga tentang kesabaran dan tekad.” pikirku.
Lalu kembali terasa angin berhembus dari belakangku. Kembali terdengar sebuah suara.
“Setiap kau selesai menyapu, rumah dan halamanmu sudah bersih. Sesaat kemudian aku akan datang berhembus dan mengotorinya lagi dengan debu-debu dan kotoran yang aku terbangkan. Ambillah hikmah dari hal itu. Dalam hidup, sebagai manusia kau tidak bisa luput dari berbuat salah dan dosa. Kau akan berusaha untuk memperbaikinya, tapi suatu kali kau akan kembali melakukan sebuah kesalahan atau dosa lagi. Itu sudah kodratmu sebagai manusia. Kau jangan lantas berhenti menyapu halaman rumahmu setiap hari. Dan membiarkan debu-debu, daun-daun kering, dan kotoran lainnya menumpuk. Begitupun dengan hidupmu, kau jangan pernah berhenti memperbaiki diri, walau pun kesalahan dan dosa akan kembali kau perbuat. Yang paling penting adalah terus memperbaiki diri. Jangan biarkan kesalahan dan dosa menumpuk di dirimu. Jika kau kembali kotor, bersihkan lagi. Perbaiki diri lagi dan lagi. Seperti itu terus sampai kau tiba pada waktu kematianmu.” suara itu perlahan menjauh. Angin berhembus kencang, debu-debu terangkat. Lalu hembusannya hilang terbang ke langit.
Langit mulai terlihat jingga. Cahaya matahari terbenam yang
tertutup awan memancarkan keindahan. Aku hanya duduk termangu, termenung oleh
kegilaanku sore ini.
Senja,15/09/2015
10 September 2015
Pelajaran Di Tengah Malam
Berawal dari ketidakmampuanku menahan diri. Aku menanyakan
suatu hal yang dianggap sepele ke seorang teman di tengah malam melalui sms.
Dan jawaban yang aku dapat seolah menusuk ke sendi-sendi tulangku sampai terasa
ngilu. “Hah, tengah malam bangunin orang
tidur hanya untuk membahas hal sesepele ini ! Tolong, aku sekarang sudah kerja,
kalau malam itu waktunya istirahat tidur. Jangan sms2 lagi tengah malam,
kecuali urusan nyawa. Suara dering smsmu sangat mengganggu…..”
Ya, memang apa yang aku tanyakan hanya hal sepele. Aku sadar itu adalah 100% kesalahanku sampai temanku marah dengan nada yang sedikit membentak. Aku hanya bisa berkata meminta maaf, maaf, dan maaf.
Ya, memang apa yang aku tanyakan hanya hal sepele. Aku sadar itu adalah 100% kesalahanku sampai temanku marah dengan nada yang sedikit membentak. Aku hanya bisa berkata meminta maaf, maaf, dan maaf.
Dari hal itu aku belajar mengenal diriku sendiri. Aku
menyadari bahwa ternyata aku belum bisa bersabar. Kenapa tidak menunggu sampai
pagi untuk bertanya atau mengirim sms ke seseorang. Tengah malam saatnya orang
beristirahat aku memaksa bertanya dengan mengrim sms. Saat itu yang aku rasa
hanya ketidaksabaran untuk segera tahu jawaban dari hal yang aku pertanyakan. Ketidaksabaran menyebabkan ketidaktenangan.
Dan ketidaktenangan menimbulkan kegelisahan. Sedangkan kegelisahan adalah
pengejawantahan dari ketidakbahagiaan. Dari situ aku menyimpulkan, ternyata aku
belum bisa menciptakan kebahagiaan di dalam diri.
“Dini hari, saat keheningan di luar menyatu dengan gemuruh di kepala.” Kata Eko Wustuk di buku Dua Senja Pohon Tua. Di saat dini hari memang kegelisahan-kegelisahan sering muncul di pikiranku.
“Dini hari, saat keheningan di luar menyatu dengan gemuruh di kepala.” Kata Eko Wustuk di buku Dua Senja Pohon Tua. Di saat dini hari memang kegelisahan-kegelisahan sering muncul di pikiranku.
Kejadian kemarin malam memberikanku pelajaran berharga.
Seperti ungkapan “Setiap tempat adalah
sekolah dan setiap orang adalah guru.” Malam kemarin temanku menjadi guruku dalam
belajar mengenali diri. Belajar mengerti bagaimana seharusnya aku menahan dan
mengendalikan diri. Belajar bersabar. Aku masih harus terus belajar.
Dan dari diri temanku aku juga menemukan sebuah pelajaran. Dari caranya menanggapi smsku, nada kemarahan yang terbaca. Bahkan ada satu sms yang ditulis dengan huruf kapital semua. Itu menandakan emosi yang sedang meninggi. Padahal dia baru terbangun dari tidurnya karena suara dering pesan yang masuk di HPnya. Mungkin karena aku membangunkannya di tengah malam dan pertanyaanku yang dia anggap sepele itu membuat api amarah langsung tercipta di dalam dirinya. Mungkin juga ditambah dia dalam kondisi lelah karena seharian bekerja dan dia membutuhkan waktu istirahat.
Dan dari diri temanku aku juga menemukan sebuah pelajaran. Dari caranya menanggapi smsku, nada kemarahan yang terbaca. Bahkan ada satu sms yang ditulis dengan huruf kapital semua. Itu menandakan emosi yang sedang meninggi. Padahal dia baru terbangun dari tidurnya karena suara dering pesan yang masuk di HPnya. Mungkin karena aku membangunkannya di tengah malam dan pertanyaanku yang dia anggap sepele itu membuat api amarah langsung tercipta di dalam dirinya. Mungkin juga ditambah dia dalam kondisi lelah karena seharian bekerja dan dia membutuhkan waktu istirahat.
Ketika menerima kemarahan dari temanku itu, aku langsung
teringat dengan seorang kawan lama. Namanya Pak Agung, dia tinggal di Jogja. Dia
banyak menjalani hidupnya di jalanan. Menggeluti kehidupan malam sebagai tukang
parkir di sebuah warnet 24 jam. Tapi kini kabarnya dia menjadi petugas keamanan
di sebuah hotel mewah di dekat Tugu Jogja. Tapi walaupun sering menjalani
hidupnya di jalan, itu malah membentuk karakternya yang selalu tenang dan
selalu ramah pada semua orang. Bagiku itu membenarkan ungkapan “Setiap tempat adalah sekolah dan setiap
orang adalah guru.” Pak Agung pasti banyak belajar dari orang-orang dalam
kehidupannya di jalanan. Aku pun banyak belajar darinya. Sewaktu aku mengais
rezeki di Jogja, aku sering bertemu dan bercengkerama dengannya. AKu melihat
sendiri bagaimana tindak tanduknya, sopan santunnya, dan ketenangannya dalam
menghadapi segala macam keadaan. Pernah aku melihatnya dimarahi oleh seorang
pemilik motor yang diparkirkannya, tetapi dia tetap meladeni kemarahan orang
itu dengan tenang bahkan sopan menjawab orang itu dengan bahasa Jawa halus. Aku
belajar darinya bahwa “Mudah marah dan
emosi itu adalah akibat dari kurangnya pengendalian diri. Dan juga
ketidaktenangan dalam diri. Ketidaktenangan itu juga sebuah manifestasi dari
ketidakbahagiaan.” katanya. Aku berpikir, mungkin temanku juga
belum mampu menciptakan kebahagiaan di dalam dirinya.
Seperti kata orang bijak
bahwa kebahagiaan itu tidak bisa dicari, tapi bisa diciptakan. Entahlah,
mungkin kami memang masih harus terus belajar untuk bisa menciptakan kebahagiaan
di dalam diri masing-masing. Karena orang yang bahagia pastilah juga adalah
orang yang tenang dan mampu mengendalikan diri. Pak Agung yang murah senyum,
yang selalu terlihat bahagia. Dia juga adalah salah satu guruku dalam memperoleh ilmu kehidupan. Walaupun aku
belum mampu menjalankan ilmu yang aku dapat darinya itu.
Dini hari, 10/09/2015
bersama Pak Agung |
8 September 2015
My Life My Adventure (wae lah)
Hal yang sedang ngetrend sekarang adalah traveling dan
backpacking. Pergi ke tempat-tempat wisata yang indah. Berfoto narsis sambil
memperlihatkan tulisan “Indonesia itu
indah” dan bermacam-macam lagi tulisan lainnya. Di zaman sekarang memang
segala kemudahan sudah mendukung untuk berpergian. Segala macam informasi mudah
di dapat. Koneksi pertemanan juga sangat mudah diperoleh, terutama dari media
sosial. Sehingga memudahkan orang-orang yang ingin melakukan perjalanan
traveling atau pun backpacking. Sampai muncullah kata-kata “My Trip My Adventure”. Awalnya dimulai dari sebuah acara
travelling yang populer di telivisi. Dan kini banyak orang yang meniru acara
televisi itu. Setiap kali berpergian selalu menyebut “My Trip My Adventure”. Televisi adalah salah satu media yang
sangat mudah untuk menyebarkan trend. Bahkan sekarang menjamur ke masalah mode,
dari kaos, topi, sampai bermacam-macam barang bertuliskan “My Trip My Adventure”. Apakah itu sebuah gegar budaya ? Entahlah.
Sebelum hal itu, dulu pernah muncul sebuah iklan rokok di
telivisi dengan kata “My Life My
Adventure”. Hal itu juga sempat menjadi trend untuk kalangan petualang.
Memang semua itu bukan sebuah masalah. Kita bebas mengikuti trend atau mode apa saja. Kita bebas melakukan hal apa saja asal bertanggung jawab dengan apa yang kita lakukan dan tidak merugikan orang lain. Yang aku lihat sekarang, masalahnya adalah timbul saling mengolok antara orang-orang yang dianggap kekinian dan orang-orang yang merasa senior dalam dunia traveling, backpacking, atau pun petualangan lainnya. Kenapa kita harus saling mengolok-olok ? Aku yakin pasti semua merasa dan ingin dianggap benar. Bukankah lebih baik kita semua instrospeksi diri masing-masing saja ?
Memang semua itu bukan sebuah masalah. Kita bebas mengikuti trend atau mode apa saja. Kita bebas melakukan hal apa saja asal bertanggung jawab dengan apa yang kita lakukan dan tidak merugikan orang lain. Yang aku lihat sekarang, masalahnya adalah timbul saling mengolok antara orang-orang yang dianggap kekinian dan orang-orang yang merasa senior dalam dunia traveling, backpacking, atau pun petualangan lainnya. Kenapa kita harus saling mengolok-olok ? Aku yakin pasti semua merasa dan ingin dianggap benar. Bukankah lebih baik kita semua instrospeksi diri masing-masing saja ?
Aku pribadi kalau harus memilih dua kata itu,aku akan memilih
“My Life My Adventure”. Bukan
karena alasan macam-macam, tapi karena
memang hidup ini adalah sebuah petualangan. Dimulai sejak kita membuka mata
ketika bangun tidur. Membuka pintu kamar, belum pasti hal apa yang akan kita
dapati. Bisa saja kita dengar kabar, “Kakak baru saja melahirkan, kita punya
ponakan lagi!”. Atau mungkin malah ada kabar, “Kerabat kita meninggal.” Kita
tak kan pernah tahu, hidup penuh ketidakpastian.
Mandi merasakan kesegaran air dari dalam bumi, bukankah itu hal yang sangat menyenangkan ? Berangkat atau pulang kerja, entah dengan sepeda, motor, mobil, bis, atau pun kereta. Kita tak akan pernah tahu apa yang akan kita alami atau temui dalam perjalanan. Menghadapi suka duka dan masalah-masalah pekerjaan. Berpanas-panas di jalanan untuk makan siang atau berhujan-hujan tatkala pulang ke rumah. Menyelesaikan problem-problem dalam keluarga. Membaur dalam kehidupan masyarakat, belajar hidup bersosial. Bukankah semua itu sebuah petualangan hidup yang sesungguhnya ?
Mandi merasakan kesegaran air dari dalam bumi, bukankah itu hal yang sangat menyenangkan ? Berangkat atau pulang kerja, entah dengan sepeda, motor, mobil, bis, atau pun kereta. Kita tak akan pernah tahu apa yang akan kita alami atau temui dalam perjalanan. Menghadapi suka duka dan masalah-masalah pekerjaan. Berpanas-panas di jalanan untuk makan siang atau berhujan-hujan tatkala pulang ke rumah. Menyelesaikan problem-problem dalam keluarga. Membaur dalam kehidupan masyarakat, belajar hidup bersosial. Bukankah semua itu sebuah petualangan hidup yang sesungguhnya ?
Untuk yang lebih suka “My
Trip My Adventure”, ya itu bebas-bebas saja. Dengan segala pendapat dan argumennya masing-masing. Kita bebas
memilih jalan. Kita bebas mempunyai pemikiran. Asal kita bisa tetap menjaga
kelestarian bumi tempat tinggal kita ini. Tak perlu kita saling mengolok-olok.
Kita bisa saling mengingatkan dengan cara yang lebih santun.
Selamat berpetualang dalam hidup masing-masing !
6 September 2015
Mengayuh
Kita…
Kawan…
Bukan siapa-siapa
Kita hanya manusia yang diberi anugerah kaki yang sehat
Kawan…
Bukan siapa-siapa
Kita hanya manusia yang diberi anugerah kaki yang sehat
Kita…
Kawan…
Tak mempunyai apa-apa
Kita hanya punya sepeda sederhana
Kawan…
Tak mempunyai apa-apa
Kita hanya punya sepeda sederhana
Kita…
Kawan…
Tak mampu berbuat apa-apa untuk dunia
Kita hanya mampu mengayuh untuk sedikit mengurangi polusi udara
Kawan…
Tak mampu berbuat apa-apa untuk dunia
Kita hanya mampu mengayuh untuk sedikit mengurangi polusi udara
Mengayuh ke tempat kerja
Mengayuh ke angkringan
Mengayuh ke tempat ibadah
Mengayuh untuk desa
Mengayuh untuk udara
Mengayuh untuk jiwa
Mengayuh untuk raga
Mengayuh ke angkringan
Mengayuh ke tempat ibadah
Mengayuh untuk desa
Mengayuh untuk udara
Mengayuh untuk jiwa
Mengayuh untuk raga
Walau kadang dorongan angin melambatkan kayuhanmu
Gelap malam membatasi jarak pandangmu
Jalan menanjak memaksamu menuntun sepedamu
Turunan tajam kadang malah menakutkanmu
Terik mentari tak segan membakar kulitmu
Klakson truk dan bis bagai anjing yang menyalak mengagetkanmu
Gelap malam membatasi jarak pandangmu
Jalan menanjak memaksamu menuntun sepedamu
Turunan tajam kadang malah menakutkanmu
Terik mentari tak segan membakar kulitmu
Klakson truk dan bis bagai anjing yang menyalak mengagetkanmu
Walau peluh membasahi seluruh tubuhmu
Teruslah mengayuh kawan
Karena setiap kayuhanmu adalah kata-kata yang meronta
“Tolong selamatkan udara”
Teruslah mengayuh kawan
Karena setiap kayuhanmu adalah kata-kata yang meronta
“Tolong selamatkan udara”
Mungkin semua itu tak berarti untuk semesta
Tapi kita tahu semua itu tentang jiwa
Tak perlu berusaha menjadi berguna
Terus mengayuh saja untuk bahagia
Tapi kita tahu semua itu tentang jiwa
Tak perlu berusaha menjadi berguna
Terus mengayuh saja untuk bahagia
Senja, 06/09/2015
Foto-foto : Mengayuh ke Curug Gedangsari-Gunung Kidul
Terima kasih Maha Pencipta atas kaki sehat yang Engkau cipta.
Langganan:
Postingan (Atom)