Berawal dari ketidakmampuanku menahan diri. Aku menanyakan
suatu hal yang dianggap sepele ke seorang teman di tengah malam melalui sms.
Dan jawaban yang aku dapat seolah menusuk ke sendi-sendi tulangku sampai terasa
ngilu. “Hah, tengah malam bangunin orang
tidur hanya untuk membahas hal sesepele ini ! Tolong, aku sekarang sudah kerja,
kalau malam itu waktunya istirahat tidur. Jangan sms2 lagi tengah malam,
kecuali urusan nyawa. Suara dering smsmu sangat mengganggu…..”
Ya, memang apa yang aku tanyakan hanya hal sepele. Aku sadar itu adalah 100% kesalahanku sampai temanku marah dengan nada yang sedikit membentak. Aku hanya bisa berkata meminta maaf, maaf, dan maaf.
Ya, memang apa yang aku tanyakan hanya hal sepele. Aku sadar itu adalah 100% kesalahanku sampai temanku marah dengan nada yang sedikit membentak. Aku hanya bisa berkata meminta maaf, maaf, dan maaf.
Dari hal itu aku belajar mengenal diriku sendiri. Aku
menyadari bahwa ternyata aku belum bisa bersabar. Kenapa tidak menunggu sampai
pagi untuk bertanya atau mengirim sms ke seseorang. Tengah malam saatnya orang
beristirahat aku memaksa bertanya dengan mengrim sms. Saat itu yang aku rasa
hanya ketidaksabaran untuk segera tahu jawaban dari hal yang aku pertanyakan. Ketidaksabaran menyebabkan ketidaktenangan.
Dan ketidaktenangan menimbulkan kegelisahan. Sedangkan kegelisahan adalah
pengejawantahan dari ketidakbahagiaan. Dari situ aku menyimpulkan, ternyata aku
belum bisa menciptakan kebahagiaan di dalam diri.
“Dini hari, saat keheningan di luar menyatu dengan gemuruh di kepala.” Kata Eko Wustuk di buku Dua Senja Pohon Tua. Di saat dini hari memang kegelisahan-kegelisahan sering muncul di pikiranku.
“Dini hari, saat keheningan di luar menyatu dengan gemuruh di kepala.” Kata Eko Wustuk di buku Dua Senja Pohon Tua. Di saat dini hari memang kegelisahan-kegelisahan sering muncul di pikiranku.
Kejadian kemarin malam memberikanku pelajaran berharga.
Seperti ungkapan “Setiap tempat adalah
sekolah dan setiap orang adalah guru.” Malam kemarin temanku menjadi guruku dalam
belajar mengenali diri. Belajar mengerti bagaimana seharusnya aku menahan dan
mengendalikan diri. Belajar bersabar. Aku masih harus terus belajar.
Dan dari diri temanku aku juga menemukan sebuah pelajaran. Dari caranya menanggapi smsku, nada kemarahan yang terbaca. Bahkan ada satu sms yang ditulis dengan huruf kapital semua. Itu menandakan emosi yang sedang meninggi. Padahal dia baru terbangun dari tidurnya karena suara dering pesan yang masuk di HPnya. Mungkin karena aku membangunkannya di tengah malam dan pertanyaanku yang dia anggap sepele itu membuat api amarah langsung tercipta di dalam dirinya. Mungkin juga ditambah dia dalam kondisi lelah karena seharian bekerja dan dia membutuhkan waktu istirahat.
Dan dari diri temanku aku juga menemukan sebuah pelajaran. Dari caranya menanggapi smsku, nada kemarahan yang terbaca. Bahkan ada satu sms yang ditulis dengan huruf kapital semua. Itu menandakan emosi yang sedang meninggi. Padahal dia baru terbangun dari tidurnya karena suara dering pesan yang masuk di HPnya. Mungkin karena aku membangunkannya di tengah malam dan pertanyaanku yang dia anggap sepele itu membuat api amarah langsung tercipta di dalam dirinya. Mungkin juga ditambah dia dalam kondisi lelah karena seharian bekerja dan dia membutuhkan waktu istirahat.
Ketika menerima kemarahan dari temanku itu, aku langsung
teringat dengan seorang kawan lama. Namanya Pak Agung, dia tinggal di Jogja. Dia
banyak menjalani hidupnya di jalanan. Menggeluti kehidupan malam sebagai tukang
parkir di sebuah warnet 24 jam. Tapi kini kabarnya dia menjadi petugas keamanan
di sebuah hotel mewah di dekat Tugu Jogja. Tapi walaupun sering menjalani
hidupnya di jalan, itu malah membentuk karakternya yang selalu tenang dan
selalu ramah pada semua orang. Bagiku itu membenarkan ungkapan “Setiap tempat adalah sekolah dan setiap
orang adalah guru.” Pak Agung pasti banyak belajar dari orang-orang dalam
kehidupannya di jalanan. Aku pun banyak belajar darinya. Sewaktu aku mengais
rezeki di Jogja, aku sering bertemu dan bercengkerama dengannya. AKu melihat
sendiri bagaimana tindak tanduknya, sopan santunnya, dan ketenangannya dalam
menghadapi segala macam keadaan. Pernah aku melihatnya dimarahi oleh seorang
pemilik motor yang diparkirkannya, tetapi dia tetap meladeni kemarahan orang
itu dengan tenang bahkan sopan menjawab orang itu dengan bahasa Jawa halus. Aku
belajar darinya bahwa “Mudah marah dan
emosi itu adalah akibat dari kurangnya pengendalian diri. Dan juga
ketidaktenangan dalam diri. Ketidaktenangan itu juga sebuah manifestasi dari
ketidakbahagiaan.” katanya. Aku berpikir, mungkin temanku juga
belum mampu menciptakan kebahagiaan di dalam dirinya.
Seperti kata orang bijak
bahwa kebahagiaan itu tidak bisa dicari, tapi bisa diciptakan. Entahlah,
mungkin kami memang masih harus terus belajar untuk bisa menciptakan kebahagiaan
di dalam diri masing-masing. Karena orang yang bahagia pastilah juga adalah
orang yang tenang dan mampu mengendalikan diri. Pak Agung yang murah senyum,
yang selalu terlihat bahagia. Dia juga adalah salah satu guruku dalam memperoleh ilmu kehidupan. Walaupun aku
belum mampu menjalankan ilmu yang aku dapat darinya itu.
Dini hari, 10/09/2015
bersama Pak Agung |