15 September 2015

Suara Angin



Matahari mulai condong ke barat. Tapi teriknya masih terasa menyengat. Para pekerja mulai berantrian keluar dari gerbang pabriknya. Terlihat wajah-wajah lelah setelah berpeluh keringat. Tapi dibalik wajah-wajah lelah itu terselip keceriaan. Rasa ceria atas sebuah kerinduan pada rumah. Merindukan anak, istri, atau suami. Setiap hari rutinitas itu berjalan. Setiap hari lelah demi lelah dilalui. Setiap hari kerinduan demi kerinduan ditambal sulam. Kaum pekerja yang selalu berusaha bersemangat menjalani kehidupannya. Walau tak bisa dipungkiri hari-harinya dibalut dengan keluhan-keluhan, entah tentang permasalahan hidup yang mana. Sudah menjadi kodrat manusia tak bisa lepas dari mengeluh. Tapi mereka juga selalu berusaha tak lepas dari rasa syukur.

Motor-motor mulai dinyalakan. Suara bisingnya masuk ke semua telinga. Debu-debu dari lantai parkiran pun terangkat menyatu dengan udara. Terhirup masuk oleh hidung sampai ke paru-paru. Masker digunakan untuk sedikit mengurangi polusi udara yang terhirup. Hanya ada satu sepeda yang bersandar di tembok parkiran. Ya, itu sepedaku. Hanya aku sendiri yang bersepeda di pabrik ini. Semua memilih menggunakan sepeda motor. Aku tak peduli orang berpikir apa tentangku. Sepeda bukan hanya sekedar hobi atau gaya hidup bagiku. Aku berusaha menjadikan sepeda sebagai bagian dari hidupku. Jalan hidup.

Aku mulai mengayuh sepedaku. Keluar gerbang pabrik, naik ke aspal jalanan, diantara sepeda motor yang saling berebut untuk duluan. Kendaraan lain seperti bus, truk, mobil pribadi juga ikut dalam kompetisi jalan raya ini. Semua seolah ingin saling mendahului. Seolah-olah mereka berlari mengejar waktu. Melihat kendaraan-kendaraan di jalan raya dari atas sepeda, aku berpikir “manusia ingin menjalani waktu  secepatnya dan terburu-buru”. Kadang ketika bekerja aku juga merasa ingin waktu kerja segera selesai. Itu pun bagian dari pikiran manusia yang ingin menjalani waktu secepatnya. Menginginkan waktu segera berlalu. Bukankah dengan berpikir seperti itu berarti aku sama saja menginginkan segera mendekat pada waktu kematian ? Karena semakin cepat waktu berlalu, semakin cepat kehidupan dijalani, berarti kita semakin dekat pada kematian. Apa yang sudah aku siapkan untuk menyambut kematian ? Ah, bekalku masih sangat kurang. Baiklah, aku harus mulai belajar menjalani waktu dengan sebaik-baiknya. Sekarang tak perlu lagi menginginkan waktu segera cepat berlalu. Tak perlu terburu-buru seolah-olah kita bisa mengejar waktu.

Aku kayuh pedal sepedaku pelan-pelan. Melewati jalan aspal yang bergelombang. Melewati padatnya jalan di depan pabrik rokok yang seperti pasar tumpah. Penjual-penjual sayuran dan kebutuhan pokok lainnya berjualan tepat di tepi jalan. Aku berhenti sejenak memberi kesempatan pada ibu-ibu pekerja pabrik rokok untuk menyebrang. Colt elf dan bus yang mangkal membuat jalanan macet. Mereka menunggu rezeki yang datang dengan perantara para pekerja pabrik yang akan menggunakan jasanya. Semua dalam hidup ini memang saling berkaitan. Seperti ada benang merah tak kasat mata yang mengaitkan kehidupan satu sama lain. Setelah sekitar lima belas menit bersepada, aku sampai di rumah.

Setiap hari sepulang kerja. Setiap sore selepas menjalankan ritual ketaatan. Kegiatanku adalah bersih-bersih rumah orang tuaku. Menyapu luar dan dalam. Sekarang musim kemarau masih berjalan. Hampir setiap siang sampai sore angin berhembus menerbangkan debu-debu dan daun-daun kering. Setiap hari aku harus berhadapan dengan angin saat menyapu halaman rumah. Kadang amarahku muncul ketika harus menyapu melawan arah angin. Atau ketika menyapu tiba-tiba angin berhembus, kembali membuat halaman berantakan.
 
Sore ini saat aku harus kembali menghadapi hal itu, aku mencoba menggunakan kegilaanku untuk berbicara dengan angin. Karena kadang kita perlu kegilaan untuk menemukan sebuah kewarasan.
“Hei angin, kenapa kau selalu datang menggangu pekerjaanku ?” tanyaku sambil berkacak pinggang dan sapu teracung ke atas.
Tenang. Tenang beberapa saat. Lalu terasa angin berhembus. Dan terdengar sebuah suara.
“Kau merasa terganggu dengan kehadiranku ?” angin bersuara menjawab pertanyaanku.
Aku kaget, ternganga. Sapuku akhirnya terjatuh. Aku diam. Diam. Aku mengumpulkan keberanian untuk menjawab.
“Iya, kau selalu menggangguku setiap hari.” aku menjawab dengan ucapan yang sedikit gugup.
Angin kembali berhembus. Daun-daun yang kusapu kembali berserakan.
“Aku selalu hadir bukan bermaksud mengganggumu, tapi aku bermaksud memberimu pelajaran. Kenapa kau tidak mengerti ? Apa rasa irimu terhadapku membuatmu luput memahami kehadiranku ?” hardik angin padaku.
Aku tertegun mendapat pertanyaan yang menohok itu. Aku akui selama ini aku iri pada angin. Ternyata angin tahu hal itu.
“Ya, aku memang iri padamu. Kau bebas terbang kemanapun, ke segala penjuru arah sesukamu.” aku tertunduk mengakui hal itu.
“Aku memang diberi kebebasan oleh Maha Pencipta untuk terbang kemanapun aku suka. Aku juga diberi kesempatan untuk memberi kesegaran kepada manusisa di saat mereka kegerahan. Bahkan aku diberi kepercayaan untuk berperan dalam terciptanya hujan. Dan aku terkadang juga diberi amanat untuk menyampaikan teguranNYA. Aku berperan dalam terciptanya musibah. Tak perlu kau iri padaku atas semua hal itu. Kita mempunyai peran masing-masing di dalam kehidupan.” Angin mulai berbicara panjang lebar. Semilir hembusannya yang lembut kini terasa menyejukkan. Aku merasa tidak terganggu lagi oleh kehadirannya. Pikiranku bertanya-tanya, ”Lalu apa peranku dalam kehidupan ini ?”. Aku ingin menanyakannya kepada angin, tapi kuurungkan niat itu. Akan aku cari sendiri jawabannya.
“Lalu apa yang bisa aku pelajari darimu wahai angin ?” tanyaku penasaran.
Angin kembali berhembus lembut.
“Kau ingat setiap kali menyapu melawan arah angin ? Debu-debu dan daun kering yang susah payah kau sapu akan kembali berantakan ke belakang. Tapi meskipun demikian kau tetap menyapu, pelan-pelan sampai selesai dan halaman rumahmu bersih. Dari situ sebenarnya kau sedang belajar tentang kesabaran dan tekad.”
Suasana tenang, hening tak ada angin. Aku mengangguk pelan. Aku baru menyadari hal itu. “Hal sepele seperti itu ternyata menyimpan pelajaran berharga tentang kesabaran dan tekad.” pikirku.
Lalu kembali terasa angin berhembus dari belakangku. Kembali terdengar sebuah suara.
“Setiap kau selesai menyapu, rumah dan halamanmu sudah bersih. Sesaat kemudian aku akan datang berhembus dan mengotorinya lagi dengan debu-debu dan kotoran yang aku terbangkan. Ambillah hikmah dari hal itu. Dalam hidup, sebagai manusia kau tidak bisa luput dari berbuat salah dan dosa. Kau akan berusaha untuk memperbaikinya, tapi suatu kali kau akan kembali melakukan sebuah kesalahan atau dosa lagi. Itu sudah kodratmu sebagai manusia. Kau jangan lantas berhenti menyapu halaman rumahmu setiap hari. Dan membiarkan debu-debu, daun-daun kering, dan kotoran lainnya menumpuk. Begitupun dengan hidupmu, kau jangan pernah berhenti memperbaiki diri, walau pun kesalahan dan dosa akan kembali kau perbuat. Yang paling penting adalah terus memperbaiki diri. Jangan biarkan kesalahan dan dosa menumpuk di dirimu. Jika kau kembali kotor, bersihkan lagi. Perbaiki diri lagi dan lagi. Seperti itu terus sampai kau tiba pada waktu kematianmu.” suara itu perlahan menjauh. Angin berhembus kencang, debu-debu terangkat. Lalu hembusannya hilang terbang ke langit.

Langit mulai terlihat jingga. Cahaya matahari terbenam yang tertutup awan memancarkan keindahan. Aku hanya duduk termangu, termenung oleh kegilaanku sore ini.

Senja,15/09/2015